Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni
Berkali-kali Umar bin Abdul Aziz berusaha memejamkan
matanya. Namun, tetap saja ia tak bisa tidur. Ia diliputi kegelisahan yang amat
sangat. Ia sedang memikirkan siapa yang akan ia pilih menjadi hakim Bashrah,
keesokan harinya.
Saat itu pilihannya hanya tertuju pada dua orang yang
sama-sama kredibel, memiliki pemahaman agama yang baik, tegar dalam menegakkan
kebenaran, memiliki pemikiran cemerlang dan jeli memandang sesuatu. Umar bin
Abdul Aziz terus menimbang mana di antara keduanya yang terbaik. Namun, setiap
kali mendapatkan kelebihan pada salah satu di antara keduanya dalam satu hal,
ia juga menemukan kelebihan lain pada sosok satunya lagi dalam hal berbeda.
Keesokan harinya, Umar bin Abdul Aziz memanggil gubernur
Irak, Adi bin Artha‘ah yang saat itu sedang berada di Damaskus. Umar berkata,
“Wahai Adi, pertemukanlah Iyas bin Muawiyah al-Muzanni dan Qasim bin Rabi’ah
al-Haritsi. Ajaklah bicara keduanya mengenai Bashrah, lalu pilihlah salah
seorang dari mereka sebagai hakim.”
Selanjutnya, Adi bin Artha‘ah mempertemukan Iyas dan
Qasim. Di hadapan keduanya, Adi berkata, “Amirul mukminin menyuruhku mengangkat
salah seorang dari Anda berdua untuk menjadi hakim di Bashrah. Bagaimana
pendapat kalian?”
Iyas bin Muawiyah dan Qasim bin Rabi’ah, masing-masing
saling mempersilakan seraya menyebutkan bahwa kawannya lebih berhak daripada
dirinya dengan jabatan ini dan menyinggung keutamaan, ilmu dan fiqih serta
hal-hal lainnya. Intinya keduanya berusaha menolak.
Adi berkata, “Anda berdua tak boleh meningalkan majlisku
ini kecuali kalau sudah ada keputusan.”
Iyas bin Muawiyah berkata, “Tanyakanlah kepada dua orang
ahli fiqih Irak, yaitu Hasan Bashri dan Muhammad bin Sirin tentang saya dan
Qasim. Keduanya bisa membedakan antara kami berdua.”
Sebelumnya Qasim lebih sering mengunjungi kedua ahli
fiqih itu. Sedangkan Iyas tidak ada hubungan sama sekali dengan keduanya. Qasim
tahu bahwa Iyas sebenarnya ingin agar dirinya (Qasim) yang menjadi hakim
Bashrah.
Mengetahui siasat Iyas tersebut, Qasim buru-buru berkata,
“Wahai Adi, jangan tanyakan lagi kepada siapa pun tentangku dan dia. Demi Allah
Yang Tidak ada Tuhan yang haq selain Dia, Iyas adalah orang yang lebih faham
tentang agama dan lebih mengerti tentang peradilan daripadaku. Jika aku berdusta
dalam sumpahku ini, engkau tak boleh menunjukku sebagi hakim, karena saya sudah
melakukan kebohongan. Jika aku berkata jujur, maka engkau juga tak boleh
menunjuk orang yang kurang keutamaannya padahal ada orang yang lebih utama
darinya!”
Iyas menoleh ke arah gubernur dan berkata kepadanya,
“Wahai gubernur, sesungguhnya Allah telah menghadirkan seseorang untuk engkau
jadikan sebagai hakim. Namun engkau menghentikannya di pinggir neraka Jahannam,
lalu dia berusaha menyelamatkan dirinya dengan sumpah palsunya yang senantiasa
dia mohonkan agar Allah mengampuninya dan dia dapat selamat dari apa yang dia
takutkan.”
Adi berkata kepadanya, “Orang yang memiliki pemahaman
sepertimu ini amat pantas untuk dijadikan hakim.” Kemudian ia menunjuknya
sebagai hakim Bashrah.
Kenyataan hari ini sangat berbalik dengan apa yang
dialami Umar bin Abdul Aziz. Kalau Khalifah Bani Umayyah yang dijuluki Khalifah
ar-Rasyidah Kelima itu bingung untuk menentukan mana yang terbaik di antara
yang baik, maka hari ini sebaliknya. Kita dihadapkan pada pilihan: memilih yang
paling sedikit buruknya di antara orang-orang buruk. Inilah kenyataan hari ini.
Akibatnya, yang terpilih bukanlah orang baik sebab mereka
dipilih dari orang yang memang tidak baik. Inilah bedanya kenyataan sekarang dengan
keadaan di masa Rasulullah saw. Seperti yang terjadi dengan Umar bin Abdul
Aziz, para sahabat Rasulullah saw tak merasa kesulitan mencari khalifah
pengganti beliau. Kalaupun mendapat
kesulitan, mereka susah memilih yang terbaik di antara orang-orang baik.
Hampir seluruh para sahabat Rasulullah berada di atas
rata-rata baik. Kendati mereka menjalani hidup dengan ragam profesi, tapi
kemampuan mereka berada di atas rata-rata. Di antara mereka banyak yang jadi
pedagang, guru, atau prajurit perang. Tapi mereka hapal al-Qur’an, rajin shalat
tahajud dan gemar berinfak.
Generasi seperti inilah yang harus kita siapkan. Tentunya
tanpa harus meninggalkan bidang-bidang penting lainnya. Dengan kata lain,
sebelum menjadi dokter, insinyur atau pejabat apa pun, mereka harus dibekali
nilai-nilai Islam yang baik. Dengan demikian, ketika menduduki jabatan
tertentu, mereka sudah siap.
Pelajaran lain yang menarik untuk diteladani adalah sikap
Iyas bin Muawiyah dan Qasim bin Rabi’ah. Keduanya berusaha menghindari jabatan
dan saling mempersilakan orang lain. Padahal, jabatan yang ditawarkan kepada
keduanya termasuk posisi empuk dan basah. Hakim!
Teramat berbeda dengan fenomena hari ini dimana
orang-orang berlomba memperebutkan jabatan. Bahkan, untuk mendapatkan jabatan
tak jarang yang sampai menyingkirkan orang lain.
Sosok seperti Iyas bin Muawiyah dan Qasim bin Rabi’ah tak
lahir secara tiba-tiba. Untuk mendapatkan sosok seperti mereka, diperlukan
kerja keras yang berkelanjutan. Di sinilah peran kaderisasi menjadi amat penting.
Pemimpin adil dan bijaksana, serta tokoh berilmu tapi tawadhu’ tak mungkin
“disulap” dalam hitungan hari atau bulan.
Iyas bin Muawiyah yang lahir pada 46 H di kawasan
Yamamah, sengaja pindah bersama keluarganya ke Bashrah. Di kota itu Iyas
dibesarkan di tengah-tengah para ulama. Di usia yang masih kecil, Iyas biasa
pulang pergi ke Damaskus untuk menimba ilmu kepada para sahabat dan tabiin.
Saat itu, ketika memasuki Damaskus, umurnya belum mencapai baligh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar