Oleh: Hepi Andi Bastoni
Instagram: @hepiandibastoni
Jum’at, pekan pertama Shafar 99 H di Dabiq, Suriah.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik terbaring lemas di peristirahatannya. Saat
itu, ditemani Raja’ bin Haywah, seorang penasihatnya, sang khalifah sedang
beristirahat menanti kedatangan pasukannya yang sedang berperang melawan
tentara Romawi. Khalifah Sulaiman bertekad takkan kembali ke Damaskus sebelum
pasukannya datang.
Dalam masa penantian itu, ia terserang sakit keras. Merasa
ajalnya sudah dekat, Khalifah Kedelapan Bani Umayyah itu segera menulis surat
wasiat penyerahan khilafah pada anaknya, Ayyub yang usianya saat itu masih
sangat muda.
Mengetahui isi surat wasiat tersebut, Raja’ bin Haywah
segera berkata, “Perbuatan yang bisa menjaga seseorang di akhirat nanti dan
melepaskan tanggung jawabnya kepada Allah adalah hendaknya ia menyerahkan
khilafah pada orang yang shalih. Putra Amirul Mukminin masih terlalu muda. Saya
khawatir ia takkan mampu menerima anugerah ini nanti. Belum ada bukti bahwa ia
mampu melaksanakan tugas ini dengan baik.”
“Lalu, bagaimana pendapat Anda tentang putra saya Daud?”
tanya sang Khalifah.
“Dia sekarang tidak ada, dan tidak diketahui kabarnya.
Dia berperang bersama tentara kaum Muslimin di Konstantinopel. Kita tidak tahu
apakah ia masih hidup atau sudah meninggal,” ujar Raja’.
Khalifah Sulaiman sempat menyebutkan beberapa nama.
Namun, Raja’ bin Haywah tidak setuju. Ketika sang Khalifah menyebutkan nama
Umar bin Abdul Aziz, Raja’ berkata, “Demi Allah, saya mengenalnya sebagai orang
yang mempunyai kelebihan, kecerdasan dan keshalihan.”
“Anda benar. Hanya saja saya khawatir kalau mengangkatnya
sebagai khalifah, saudara-saudara saya tentu takkan setuju,” ujar Khalifah
Sulaiman.
“Angkat salah seorang dari mereka sebagai khalifah
pengganti Umar bin Abdul Aziz nanti,” saran Raja’ bin Haywah.
Khalifah Sulaiman setuju. Ia pun menulis surat wasiat
pengangkatan Umar bin Abdul Aziz sebagai penggantinya dan Yazid bin Abdul Malik
pengganti Umar kelak.
Sejarah membuktikan, pilihan Raja’ bin Haywah tak
meleset. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Daulat Umayyah mengalami
kegemilangan, sehingga para ahli sejarah menjuluki Umar bin Abdul Aziz dengan
Khalifah Rasyidah Kelima setelah Ali bin Abi Thalib.
Sejarah memerlukan sosok seperti Raja’ bin Haywah.
Kekuasaan bukanlah sesuatu yang harus dijauhi oleh para ulama. Bahkan, pada
saat-saat tertentu para ulama dan ahli agama harus mendekat. Jika tidak, para
penguasa justru akan didekati oleh orang-orang yang tidak baik.
Peranan ini memang tak mudah dilakukan. Berada dalam
lingkaran kekuasaan berarti harus siap menghadapi beragam godaan. Tak hanya
godaan harta tapi juga jabatan. Kekuasaan adalah daerah basah, sumber segala
godaan harta dan jabatan. Kekuasaan adalah tempat para politikus bermain. Di
sinilah dua kubu—kebenaran dan kebatilan—bertarung. Di sini tak hanya
pertahanan seseorang menjaga kepribadiannya ditantang, tapi juga bagaimana ia
bisa mewarnai lingkaran kekuasaan itu sendiri dengan nilai-nilai kebaikan.
Berada di lingkaran kekuasaan tak hanya butuh kejujuran,
keshalihan pribadi, dan kekuatan mempertahankan prinsip. Tapi juga diperlukan
kemampuan membuat orang lain jujur, shalih dan teguh pendirian.
Di sinilah idealisme dan realitas bertarung. Mereka yang
berada di lingkaran kekuasaan, tak hanya harus tetap memegang teguh
idealismenya, tapi juga tetap harus melihat realita. Di sinilah kesulitan
menemukan puncaknya. Benturan antara idealisme dan realitas kadang begitu keras
seolah tak bisa dipadukan. Keduanya ibarat minyak dan air yang tak mungkin
disatukan. Harus ada yang dikalahkan.
Sekali lagi, di sinilah sulitnya. Mengorbankan idealisme
berarti melacurkan diri pada kezaliman. Mengorbankan realita berarti membiarkan
diri hancur bersama idealisme.
Jika sudah memasuki wilayah ini, yang dibutuhkan dari
seorang ulama tak hanya fatwa fiqih dakwah, tapi juga fatwa fiqih siyasah
(politik). Yang diperlukan tak hanya kemampuan berijtihad menemukan
jawaban atas persoalan, tapi juga kemampuan menyampaikan jawaban itu sesuai
dengan kebutuhan, keadaan dan tempat.
Apa yang dilakukan Raja’ bin Haywah memberikan pelajaran
berarti bagi kita. Ia tak hanya mampu memilih siapa yang pantas diangkat
sebagai pengganti khalifah, tapi juga bisa meyakinkan khalifah terhadap sosok yang
ia pilih. Untuk sampai pada titik itu bukan gampang. Selain dua putra sang
Khalifah—Ayyub dan Daud—ada juga dua saudaranya—Yazid dan Hisyam yang juga
merasa pantas jadi calon khalifah. Namun dengan kemampuannya, Raja’ berhasil
melobi Khalifah Sulaiman untuk mengangkat Umar bin Abdul Aziz.
Seharusnya, di antara para ulama ada yang masuk ke
lingkaran kekuasaan. Bukan untuk turut mencicipi kenikmatan kekuasaan itu
sendiri, tapi menjaga pemegang kekuasaan agar tetap berada dalam rel kebenaran.
Jika tidak, akan ada orang-orang yang tidak baik yang akan mendorong pemegang
kekuasaan untuk berbuat jauh lebih buruk lagi.
Namun demikian, berada di luar kekuasaan dan menjadi
oposan juga bukan pilihan buruk. Para ulama salaf justru lebih banyak yang
melakukan peran ini. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya. Ia lahir pada 164
Hijriyah dan hidup di masa Daulat Abbasiyah. Pada masa pemerintahan al-Makmun,
Khalifah Ketujuh Daulat Abbasiyah, terjadi fitnah Khuluqul Qur’an.
Penguasa memaksakan doktrin bahwa al-Qur’an itu makhluk yang berarti bisa benar
dan bisa juga salah. Paham ini dilanjutkan penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim.
Siapa pun yang menolak paham ini akan disiksa.
Imam Ahmad termasuk di antara mereka yang menolak. Walau
harus mendekam dalam penjara, ia tak mengubah pendiriannya. Bahkan, ketika
pedang Khalifah al-Mu’tashim nyaris menebas lehernya, ia tetap tak bergeming,
berada dalam oposisi kekuasaan pemerintah kala itu.
Begitulah sikap para ulama. Dengan risiko apa pun mereka
berani mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim. Persis seperti yang
disabdakan Rasulullah saw dalam haditsnya, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di
depan penguasa zalim," (HR Ahmad, Ibn Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar