Oleh: Hepi Andi Bastoni
Instagram: @hepiandibastoni
Begitu mendengar nama harum Said bin Musayyab, Walid bin Abdul Malik pun tertarik. Walid bin Abdul Malik yang saat itu merupakan putra mahkota yang kelak menjadi khalifah ketujuh Bani Umayyah, bermaksud menikahkan salah seorang putranya dengan putri Said bin Musayyab. Namun, sangat disayangkan, keinginan Walid bin Abdul Malik, ditolak oleh Said bin Musayyab. Padahal, kekuasaan Bani Umayyah kala itu hampir mencapai puncaknya. Menjadi besan putra mahkota kerajaan tentu sangat menggiurkan bagi kebanyakan orang.
Tapi tidak demikian bagi Said bin Musayyab. Ia menolak lamaran pihak kerajaan dan memiilih menikahkan putrinya dengan seorang rakyat jelata penuntut ilmu bernama Abu Wada‘ah. Beberapa orang tentu sangat menyayangkan keputusan Said bin Musayyab. Orang-orang terdekatnya, bahkan menyesalkan mengapa sang ulama tak mau menerima lamaran calon khalifah, Walid bin Abdul Malik.
Menghadapi beragam pertanyaan yang ditujukan padanya, tokoh tabiin yang sempat bertemu dengan beberapa sahabat Nabi itu menjawab, “Putriku adalah amanat di atas pundakku. Aku mengambil tindakan ini demi kemaslahatannya. Jika dia pindah ke istana Bani Umayyah, kemudian dikelilingi perabot mewah, para pembantu dan dayang-dayang, lalu suatu saat nanti dia akan menjadi istri khalifah, bagaimana kira-kira nasib agamanya?”
Memang, tak mudah meneladani sikap Said bin Musayyab ini. Ketika peluang untuk mendekati kekuasaan datang, ia justru menghindar. Padahal, kalau mau, ia akan menjadi orang penting di istana. Bagaimana tidak, putrinya akan menjadi menantu putra mahkota yang kelak akan menjadi orang nomor satu di pemerintahan Bani Umayyah. Menurut anggapan banyak orang, jika Said menerima lamaran Walid bin Abdul Malik, kedudukannya akan meningkat. Dalam posisinya sebagai orang yang sangat dekat dengan lingkaran istana, tentu taraf kehidupannya pun akan berbeda.
Tapi tidak bagi Said. Seperti jawabannya ketika ditanya, ia tak mau menjatuhkan diri dalam kungkungan kemewahan yang penuh godaan. Ia tak mau mengorbankan masa depan agamanya. Keteguhan memegang prinsip ini, tentu tak lahir begitu saja. Ia ditempa oleh ketekunan ibadah, kemapanan ilmu dan kedekatan terhadap sang Pencipta.
Sejak kecil Said bin Musayyab sudah berazam untuk berkhidmat pada ilmu pengetahuan. Ia seorang tabiin yang menimba ilmu langsung dari istri dan para sahabat Rasulullah saw, seperti Abdullah bin Abbas, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib dan Shuhaib ar-Rumi. Karenanya, tak mengherankan kalau etika dan tingkah lakunya tercermin seperti yang dicontohkan para sahabat Nabi. Merekalah orang yang zuhud terhadap kehidupan duniawi, tapi kaya dengan ilmu pengetahuan.
Prinsip itu sangat bertolak belakang dengan sikap hidup mereka yang mengaku ulama saat ini. Alih-alih menolak menjadi orang dekat istana, mereka malah sengaja “melacurkan” diri pada kekuasaan. Mereka tak peduli walau harus mengorbankan ideologi dan prinsip.
Terbukanya keran kebebasan di negeri ini, membuka peluang siapa pun untuk masuk dalam lingkaran istana. Dalam situasi ini, tak sedikit di antara ulama yang mengubah profesinya, meninggalkan medan dakwah dan melenggang ke gelanggang kekuasaan.
Hal ini akan berdampak minimal pada dua hal. Pertama, berkurangnya independensi ulama. Terlalu dekatnya para ulama dengan kekuasaan, akan menyebabkan berkurangnya keberanian mereka mengemukakan kebenaran. Inilah yang dikhawatirkan Said bin Musayyab. Ia takut, kalau dirinya menjalin hubungan kekeluargaan langsung dengan pihak istana, independensinya akan berkurang.
Kedua, gelimang harta sering melalaikan orang dari ibadah kepada Allah. Tak sedikit orang yang semula rajin mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, ketika terjun ke panggung kekuasaan berubah. Jangankan mengerjakan amalan sunnah, ibadah wajib pun kerap diabaikan. Ini yang ditakuti oleh Said bin Musayyab. Ia khawatir kedekatannya dengan kekuasaan akan melalaikan dirinya dan keluarganya dari ibadah pada Allah.
Apalagi, Said bin Musayyab dikenal sebagai seorang tabiin yang ahli ibadah. Ia hampir tak pernah meniggalkan puasa Nabi Daud di siang hari, dan selalu melakukan shalat tahajud di waktu malam. Dia pernah menunaikan ibadah haji sampai empat puluh kali. Ia tak pernah ketinggalan takbiratul ihram dalam shalat berjamaah selama empat puluh tahun. Selama itu juga ia tak pernah melihat tengkuk seseorang pada waktu shalat, karena selalu berada di shaf terdepan dalam shalat berjamaah.
Seorang penduduk Madinah pernah mengatakan tentang dirinya, “Dia adalah orang yang menjadikan dunia sebagai kendaraan menuju akhirat dan membeli yang abadi dengan yang fana untuk diri dan keluarganya. Demi Allah, dia bukan tidak mau menikahkan putrinya dengan putra khalifah, atau memandangnya tidak berimbang, tapi hanya khawatir putrinya akan tertimpa fitnah keduniaan.”
Tentu, kekuasaan tak selalu dihindari. Dalam keadaan tertentu kekuasaan justru harus didekati. Kekuasaan tak boleh juga kosong dari orang-orang baik. Tapi, berapa banyak orang yang mampu bertahan terhadap godaan kekuasaan. Karenanya, Rasulullah saw tak selalu mengabulkan permohonan para sahabatnya untuk memegang jabatan tertentu. Sebab, tak semua orang mampu mengendalikannya.
Karenanya, di tengah beragam godaan duniawi, para ibu harus rajin melahirkan sosok seperti Said bin Musayyab. Sosok yang berilmu, tapi tetap zuhud terhadap dunia. Orang seperti inilah yang akan menjaga kaum Muslimin dari jeratan nafsu duniawi yang terus menggoda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar