Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni
Suatu hari Abdul Malik bin Marwan, khalifah Kelima Daulah Umayyah mengutus asy-Sya’bi, seorang tabiin di masanya, menemui Raja Romawi. Setelah tiba, asy-Sya’bi segera menemui sang raja dan mendengarkan serta memperhatikan yang disampaikannya. Asy-Sya’bi pun menyampaikan pesan sang Khalifah kepadanya dengan kemampuan diplomasi yang tinggi. Raja Romawi begitu kagum dengan ketajaman berpikirnya dan heran akan keluasan pandangan serta kemampuan menjelaskannya. Atas kelebihannya itu, Raja Romawi meminta agar menetap beberapa hari di istananya.
Namun asy-Sya’bi menolak. Setelah sedikit memaksa, akhirnya sang raja mengizinkannya kembali ke Damaskus. Sebelum meninggalkan istana, Raja Romawi bertanya, “Apakah engkau dari keluarga kerajaan?”
“Bukan, saya hanya salah seorang dari kaum Muslimin,” jawab asy-Sya’bi.
Setelah sang raja Romawi memberikan izin untuk kembali, ia berkata kepada asy-Sya’bi, “Kalau engkau sudah kembali menemui khalifah Abdul Malik, sampaikan kepadanya semua yang ingin diketahuinya. Lalu berikan surat ini kepadanya.”
Setelah asy-Sya’bi kembali ke Damaskus, ia langsung menemui Abdul Malik dan memberitahukan semua yang dilihat dan didengarnya serta menjawab semua yang ditanyakan kepadanya. Ketika Amirul Mukminin bangkit akan pergi, ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Raja Romawi menitipkan surat kepada saya untukmu.” Lalu ia menyerahkan surat itu kepada khalifah dan berlalu dari hadapannya.
Setelah Abdul Malik membacanya, ia berkata kepada beberapa pesuruhnya, “Panggil asy-Sya’bi dan suruh menghadapku.” Lalu para pesuruh itu memanggil asy-Sya’bi.
“Apakah engkau tahu isi surat ini, wahai asy-Sya’bi?” tanya khalifah setelah asy-Sya’bi menghadap.
“Tidak, wahai Amirul Mukminin,” jawab asy-Sya’bi cepat.
“Raja Romawi menulis surat kepada saya yang isinya seperti berikut. Aku sangat heran kepada orang Arab. Mengapa mereka mengangkat orang lain sebagai raja, bukan pemuda ini (maksudnya asy-Sya’bi)?”
Dengan segera asy-Sya’bi menjawab, “Dia (Raja Romawi) berkata seperti itu karena tak mengetahui Amirul Mukminin secara langsung. Seandainya dia melihatmu secara langsung, wahai Amirul Mukminin, tentu dia takkan berkata seperti itu.”
“Apakah kamu tahu, untuk apa Raja Romawi menulis surat begini kepadaku?”
“Tidak, wahai Amirul Mukminin,” jawab asy-Sya’bi polos.
“Sebenarnya dia menulis kepadaku seperti itu karena ingin menghasutku untuk membencimu. Dia ingin menyuruhku untuk membunuh dan melenyapkanmu,” kata Abdul Malik.
Peristiwa yang dialami asy-Sya’bi dan Abdul Malik bin Marwan dalam kisah di atas menggambarkan betapa musuh kaum Muslimin tak pernah diam. Mereka tak mau melihat adanya jalinan erat antara ulama dan umara. Pada kisah di atas, Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah umara sedangkan Amir bin Syurahbil al-Himyari adalah seorang ulama. Antara keduanya terjalin hubungan erat.
Keadaan itu tentu saja tak menyenangkan hati Raja Romawi. Apalagi setelah ia mengetahui watak dan kadar keilmuan asy-Sya’bi yang kala itu sangat berperan bagi Abdul Malik dalam menentukan kebijakan. Dalam suratnya itu, Raja Romawi mempunyai dua target. Pertama, seandainya surat itu dibaca oleh asy-Sya’bi, tentu akan membuat sang ulama bangga diri dan merasa “besar” di depan khalifahnya. Namun, target ini tak tercapai karena asy-Sya’bi tak membuka surat, tapi langsung menyerahkannya pada sang khalifah.
Kedua, seandainya surat itu dibaca oleh sang khalifah, tentu akan menimbulkan rasa dengki di hatinya dan ada kemungkinan muncul keinginan untuk melenyapkan asy-Sya’bi dari lingkungan istana. Namun, lagi-lagi terget ini gagal. Khalifah Abbul Malik bukanlah orang yang mudah diadu domba. Selain itu, ia juga sudah sangat mengetahui watak asy-Sya’bi sehingga tak perlu ada yang dikhawatirkan.
Di era sekarang ulama (baca: orang yang mempunyai latar belakang ilmu syariah) sudah banyak yang duduk di kursi parlemen, tuntutan agar hubungan antara ulama dan umara dipererat, kian dibutuhkan. Untuk itu, kematangan berpikir para ulama dan umara sangat dituntut.
Eratnya hubungan antara ulama dan umara ini menjadi momok menakutkan bagi musuh-musuh Islam. Mereka sangat khawatir, jika dua pihak ini bergandengan tangan, akan mempersulit gerak mereka. Sebaliknya, bagi umat Islam, terjalinnya hubungan antara ulama dan umara secara baik merupakan modal utama melakukan pembangunan. Karenanya, sejarah kejayaan umat Islam tak bisa dilepaskan begitu saja dengan keeratan jalinan ulama dan umara.
Baik di masa pemerintahan Daulat Umayyah maupun Abbasiyah, hubungan ulama dan umara berjalan baik. Para khalifah kedua kerajaan itu, biasa memanggil ulama untuk minta nasihat. Sebaliknya, para ulamanya pun tak segan-segan memberikan nasihat pada para penguasa.
Adanya para ulama yang bisa mendampingi umara tak lahir begitu saja. Ia dibesarkan oleh iklim ilmu dan lingkungan yang baik. Asy-Sya’bi, tabiin yang lahir di Kufah enam tahun setelah khalifah Umar bin Khaththab wafat ini, merupakan pembelajar yang luar biasa. Meskipun lahir dan dewasa di Kufah, namun Madinah al-Munawarah menjadi dambaan hatinya.
Asy-Sya’bi diberi kemudahan oleh Allah untuk bertemu dengan lima ratus sahabat Rasulullah saw. Ia meriwayatkan hadits dari sebagian besar para sahabat senior, seperti Ali bin Abi Thalib, Saad bin Abi Waqqash, Zaid bin Tsabit, Ubadah bin Shamit, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Said al-Khudhri, Nu’man bin Basyir, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Adi bin Hatim, Abu Hurairah, Aisyah, dan lain-lain.
Asy-Sya’bi sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia mempunyai halaqah (majelis pengajian) di Masjid Kufah. Para pengikutnya mengelilinginya secara berkelompok. Para sahabat Rasulullah yang masih hidup kala itu sering menghadiri majelisnya. Abdullah bin Umar pernah hadir. Ketika itu, asy-Sya’bi menceritakan beberapa peperangan dalam Islam secara rinci di depan para jamaahnya. “Saya benar-benar telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri sebagian yang diceritakannya. Saya mendengarkannya langsung dengan kedua telinga saya, tetapi dia tetap lebih baik daripada saya dalam menceritakannya,” ujar Abdullah bin Umar.
Gambaran di atas membuktikan keluasan ilmu asy-Sya’bi dan ketajaman ingatannya. Ulama seperti inilah yang bisa menjadi pendamping para penguasa. Ia lahir dan besar bersama ilmu dan pengetahuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar