Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-0-1945-60
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal
1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar
Romawi, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan
tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Kata Masehi digunakan umat Kristen awal untuk
menetapkan hari kelahiran Yesus yang dalam bahasa latin disebut Anno Domini
(AD) yang berarti “Tahun Tuhan Kita” atau Common Era/CE (Era Umum)
untuk era Masehi, dan Before Christ/BC (sebelum
[kelahiran Kristus) atau Before Common Era / BCE
(Sebelum Era Umum).
Sebagian besar orang non-Kristen biasanya
mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen
tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai
diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8.
Semula biarawan Katolik, Dionisius Exoguus
pada tahun 527 M ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun
dengan titik tolak tahun kelahiran Yesus. Mula-mula
dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun
pendirian Roma.
Awalnya penghitungan hari Orang Romawi terbagi
dalam 10 bulan (kecuali Januari dan Februari). Persis dengan pemberian nama
hari, pemberian nama bulan pada tarikh yang kemudian
menjadi penghitungan hari Masehi ini ada kaitannya dengan dewa bangsa Romawi.
Bulan Martius mengambil nama Dewa Mars, bulan Maius mengambil nama Dewa Maia
dan bulan Junius mengambil nama Dewa Juno.
Sedang nama-nama Quintrilis, Sextrilis,
September, October, November dan December diambil berdasarkan angka urutan
susunan bulan. Quntrilis berarti bulan kelima, Sextilis bulan keenam, September
bulan ketujuh, October bulan kedelapan dan December bulan kesepuluh.
Aprilis diambil dari kata Aperiri, sebutan
untuk cuaca yang nyaman di dalam musim semi. Berdasarkan nama-nama tersebut di
atas, tampak¸bahwa di zaman dahulu permualaan penanggalan Masehi jatuh pada
bulan Maret.
Penanggalan yang terdiri atas 10 bulan
kemudian berkembang menjadi 12 bulan. Berarti ada tambahan 2 bulan, yaitu
Januarius dan Februarius. Januarius adalah nama dewa Janus. Dewa ini berwajah
dua, menghadap ke muka dan ke belakang, hingga dapat memandang masa lalu dan
masa depan. Karenanya Januarius ditetapkan sebagai bulan pertama. Februarius
diambil dari upacara Februa, yaitu upacara semacam bersih kampung atau ruwatan
untuk menyambut kedatangan musim semi. Dengan ini Februarius menjadi bulan yang
kedua, sebelum musim semi datang pada bulan Maret.
Awalnya bulan-bulan terdahulu letaknya dalam
penanggalan baru menjadi tergeser dua bulan, dan susunannya menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius,
3) Martius, 4) Aprilis,
5) Maius, 6) Junius,
7) Quintrilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October,
11) November dan 12) December.
Ketika Julius Caesar berkuasa, ia menerima
anjuran para ahli perbintangan Mesir untuk memperpanjang tahun 46 SM menjadi
445 hari dengan menambah 23 hari pada bulan Februari dan menambah 67 hari
antara bulan November dan December. Setelah kembali ke Roma, Julis Caesar
mengeluarkan maklumat penting dan berpengaruh luas hinga kini yakni penggunaan
sistem matahari dalam sistem penanggalan seperti yang dipelajarinya dari Mesir.
Keputusannya kala itu, setahun berumur
365 hari karena beralasan, bumi mengelilingi matahari selama 365,25 hari.
Kedua setiap 4 tahun sekali, umur tahun tidak 365 hari, tapi 366 hari, disebut
tahun kabisat. Tahun kabisat ini sebagai penampungan kelebihan 6 jam setiap
tahun yang dalam 4 tahun menjadi 4×6=24 jam atau 1 hari.
Untuk menghargai jasa Julius Caesar dalam
melakukan penyempurnaan penanggalan itu, maka penanggalan tersebut disebut
penanggalan Julian. Dengan menganti nama bulan ke-5 yang semula Quintilis
menjadi Julio, yang kita kenal sebagai bulan Juli.
Waktu terus berjalan, rupanya penanggalan
Julian juga memperlihatkan kemelesetan juga. Apabila pada zaman Julis Caesar
jatuhnya musim semi mundur hampir 3 bulan, kini musim semi justru dirasakan
maju beberapa hari dari patokan.
Guna meluruskan kemelesetan, Paus Gregious
XIII pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582 mengoreksi dan
mengeluarkan keputusan: Pertama, angka tahun pada abad pergantian, yakni
angka tahun yang diakhiri 2 nol, yang tidak habis dibagi 400, misal 1700, 1800
dsb, bukan lagi sebagai tahun kabisat (catatan: jadi tahun 2000 yang habis
dibagi 400 adalah tahun kabisat).
Kedua,
untuk mengatasi keadaan darurat pada tahun 1582 itu diadakan pengurangan sebanyak
10 hari jatuh pada bulan Oktober. Pada
bulan Oktober 1582 itu, setelah tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 14
Oktober pada tahun 1582 itu.
Ketiga, sebagai pembaharu terakhir Paus Regious XIII
menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru lagi. Berarti pada perhitungan rahib
Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun baru bukan lagi 25 Maret seiring
dengan pengertian Nabi Yesus lahir pada tanggal 25, dan permulaan musim semi
pada bulan Maret. Belakangan
kelahiran Yesus yang awalnya 25 Maret, menjadi 25 Desember yang kita kenal
dengan Hari Natal. Ini menjadi sangat rancu mengingat kelahiran Yesus itu
mestinya bertepatan dengan musim semi dimana Maria bisa makan anggur yang
biasanya terjadi pada bulan Maret.
Jadi, penanggalan tahun Masehi yang dipakai saat
ini berdasarkan Astrologi Mesopotamia yang dikembangkan oleh
astronum-astronum para penyembah dewa-dewa. Maka nama-nama bulan pun memakai
nama dewa dan tokoh-tokoh pencetus penanggalan kalender Masehi. Lalu
ditetapkan oleh Paus Katolik dan menjadi tradisi umat Kristen se-Dunia.
Perayaan Tahun Baru
Mulanya perayaan ini dirayakan oleh orang
Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut
kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada 1 Januari. Paus Gregorius XIII
mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia
merayakannya pada tanggal tersebut.
Jadi awalnya, perayaan
Tahun Baru Masehi merupakan kebiasaan orang-orang Romawi. Mereka mendedikasikan
perayaan itu untuk dewa sesembahan mereka yaitu Dewa Janus. Dewa inilah yang
mempunyai simbol dua muka. Dari kata Janus inilah diambil nama bulan Januari.
Bangsa Romawi biasanya menyembah dewa Janus sebelum memulai aktivitas. Jadi
jelas, perayaan tahun baru Masehi bukan ajaran Islam.
Ritual Perayaan Tahun Baru
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara hari ini terkait dengan ritual keagamaan atau
kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya
di Brazil. Pada tengah malam 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong
menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut,
mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan
terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno
pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan
pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis
emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah,
bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke
depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman,
jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1
Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi
orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi
dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama
Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun
Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika
mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga
Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia;
atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana.
Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru,
pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton
program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak
orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan,
kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan
menyanyikan Auld Lang Syne.
Bagaimana dengan
Indonesia? Umumnya di kota-kota besar, pergantian malam tahun baru yang
berlangsung pukul 00.00 tengah malam, dirayakan dengan begadang semalam suntuk,
menyalakan petasan, meniup terompet, pesta music dan minum keras serta berbagai
aktivitas lainnya yang secara umum menghabiskan waktu sia-sia dan memubazirkan
uang tanpa manfaat. Selain menyia-nyiakan waktu dan uang, aktivitas perayaan
tahun baru Masehi juga menjadi bagian tradisi orang kafir. Meniup terompet
kebiasaan Yahudi, membakar petasan (api) kebiasaan orang-orang Majusi, dan
membunyikan lonceng adalah tradisi orang Nasrani.
Bahkan, hubungan
dengan Perayaan Tahun Baru dengan agama Nasrani di Indonesia tak bisa dipisah.
Selain menjadi libur resmi, perayaan ini menjadi satu paket dengan peringatan Natal.
Lalu muncullah kalimat: selamat Natal dan Tahun Baru.
Lalu, bagaimana hukum
merayakan Tahun Baru Masehi?
1.
Pendapat yang Mengharamkan
Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru
masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a.
Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah
ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani
atau pun agama lainnya.
Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke
dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan
menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh
bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah
perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.
b.
Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan
malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang
merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Sekadar menyerupai itu pun
sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama
tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR Abu Daud).
c.
Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang
merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura.
Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal
Allah SWT telah menjadikan malam untuk beristirahat,
bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat
Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk
yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.
d.
Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bid’ah
Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak
ada lagi yang tertinggal. Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang
mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan
shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun
baru, adalah sebuah perbuatan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh
Rasulullah saw, para shahabat dan salafus shalih.
Maka hukumnya bid'ah bila khusus
untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti
qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah
mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar'inya.
2.
Pendapat yang Menghalalkan
Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi
bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama
tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau
ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti
ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat
Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena
natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun
ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam,
pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga
ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar kristen itu
termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung
niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau
tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru,
kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya
haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun
baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram.
Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang
haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.
Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun
baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin,
menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya. Kegiatan itu tentu ada
manfaatnya dan tidak berdosa. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar