“Ihsan adalah engkau berbuat seolah-olah melihat Allah. Kalau engkau tidak
melihat-Nya, maka Dia melihatmu,” (HR Muslim).
Bagi seorang Muslim, tak boleh ada waktu terbuang. Setiap langkah kaki dan
gerak tubuhnya harus bernilai pahala. Bahkan, tarikan nafas pun harus bermuatan
ibadah.
Pahala tidak semata menjadi milik
mereka yang berdiam di masjid atau
mushala. Pahala bisa diraih di mana saja; rumah, kantor, masjid bahkan
di jalanan. Pun, bukan juga semata kepunyaan
orang-orang kaya yang berlimpah harta. Ibadah tidak hanya didominasi
oleh para kiai, ustadz atau orang-orang kaya. Pekerja kasar, guru dan
orang-orang miskin pun berhak melakukan sesuatu yang bernilai ibadah. Siapapun
boleh bersaing mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.
Islam menjadikan ibadah sebagai
landasan
utama setiap pekerjaan. Dari sinilah muncul sebuah tuntutan. Agar setiap desah nafas dan gerak anggota tubuh bermuatan pahala, setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Ia harus dilaksanakan dengan ihsan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang jika bekerja dengan ihsan dan itqan (sempurna),” (HR Baihaqi).
utama setiap pekerjaan. Dari sinilah muncul sebuah tuntutan. Agar setiap desah nafas dan gerak anggota tubuh bermuatan pahala, setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Ia harus dilaksanakan dengan ihsan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang jika bekerja dengan ihsan dan itqan (sempurna),” (HR Baihaqi).
Sikap ihsan ini hendaknya menjadi
pakaian kaum muslimin di mana pun berada. Di rumah, sikap ihsan bisa
diaktualisasikan dalam berbagai aktivitas, seperti mengatur makan, memenej
waktu, dan keuangan. Dalam mengatur kadar konsumsi makanan misalnya, Rasulullah memberikan tuntunan tersendiri.
“Tidak ada tempat yang lebih buruk daripada perut manusia yang diisi penuh
dengan makanan. Manusia cukup makan beberapa suap sekadar untuk membuat
punggungnya berdiri tegak. Keseluruhan isi perut terbagi tiga yaitu sepertiga
untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas
(angin),” (HR Turmudzi).
Ketika bermuamalah pun kita dituntut
berlaku ihsan dengan siapa saja. Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada
kedua orang tua melalui firman-Nya, “Dan kepada ibu bapakmu, hendaklah
berbuat ihsan,” (QS al-Isra’: 23). Begitu pun terhadap tetangga. Dalam
sebuah riwayat, Jibril dikabarkan seringkali memberikan wasiat pada Rasulullah
untuk berbuat ihsan kepada tetangga. Saking seringnya, Rasul pun mengira mereka
akan mendapatkan warisan (HR al-Bukhari).
Sikap ihsan tak hanya ditujukan
kepada sesama manusia. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan
ihsan terhadap binatang. Rasulullah saw pernah mengisahkan tentang seorang
wanita yang masuk neraka karena mengurung kucing dan tidak memberinya makanan.
(HR Bukhari). Sebaliknya, beliau juga pernah bersabda, “Seorang wanita
pelacur melihat seekor anjing di atas sumur dan hampir mati kehausan. Lalu
wanita itu melepaskan sepatunya, dan mengikatnya dengan kerudungnya untuk
mengambil air dari sumur (untuk memberi minum anjing tersebut). Karena
perbuatannya itulah dosanya diampuni,” (HR Bukhari).
Layaknya makhluk Allah, binatang pun
harus diperlakukan dengan baik. Umar bin Khathab pernah sangat murka melihat
seseorang yang menyeret seekor kambing dengan kasar. “Celakalah engkau! Mengapa
berlaku kasar seperti itu? Tuntunlah dengan baik dan sembelihlah dengan benar,”
ujar Umar. Ketika melihat seorang anak kecil sedang mempermainkan seekor
burung, Umar segera membeli dan melepaskanya.
Sikap ihsan terhadap binatang ini
tak hanya dituntut kala ia masih hidup. Saat menyembelihnya pun kita
diperintahkan berbuat ihsan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah
mewajibkan berbuat ihsan kepada segala sesuatu. Jika kamu membunuh hendaklah
dengan cara yang ihsan. Jika kamu menyembelih, lakukanlah dengan cara yang
ihsan; hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu,” (HR
Muslim). Seperti terhadap hewan, kita pun diperintahkan untuk berlaku ihsan
terhadap alam; memeliharanya agar tidak tercemar dan tetap indah untuk dinikmati.
Tak kalah penting dari itu, seorang
Muslim harus berlaku ihsan dalam pekerjaannya. Bagaimana? Ihsan dalam bekerja
belum terwujud hanya dengan merampungkan suatu pekerjaan sesuai target. Jika
seseorang berhasil merampungkan pekerjaan sesuai dengan tuntutan, dia belum
bisa disebut muhsin. Ia baru bisa disebut adil. Sebab, seseorang boleh disebut
muhsin manakala ia berhasil memenuhi lebih dari target yang diinginkan.
Untuk mencapai tingkat ihsan ini
seorang muslim harus tekun, rajin, disiplin dan cermat. Jika tidak, hasil
pekerjaannya bukannya mencapai target yang diinginkan, tapi malah rendah dari
itu. Merekalah yang disebut orang-orang yang zalim.
Sangat ironis kalau melihat
negara-negara yang selama ini kita sebut kafir, tapi profesionalisme mereka
sungguh luar biasa. Sikap disiplin dan tepat waktu dijunjung begitu tinggi.
Karenanya, tradisi jam karet yang selama
ini mewarnai hari-hari kita harus segera disudahi.
Lebih dari itu semua, selaku hamba
Allah, seorang muslim harus ihsan dalam beribadah. Seorang muslim belum bisa
dikatakan ihsan kalau ia baru melaksanakan kewajiban. Selain kewajiban, ia juga
sebaiknya mengerjakan amalan sunnah. Karenanya, selain shalat wajib yang lima
kali dalam sehari semalam, kita juga dianjurkan mengerjakan shalat-shalat
sunnah. Rasulullah saw sendiri hampir tak pernah luput dari shalat malam.
Kebiasaan sebagian kaum muslimin yang sering menjeda pekerjaan kantornya dengan
shalat dhuha atau membaca beberapa ayat al-Qur’an, merupakan tindakan positif
yang bisa mengantarkan seseorang ke tingkat ihsan.
Dalam melaksanakan ibadah itu pun,
seorang muslim belum bisa dikatakan berbuat ihsan kalau ibadahnya hanya
terbatas pada penyempurnaan syarat dan rukun saja, tapi juga sunnah. Kebiasaan
beberapa perkantoran yang selalu menggelar shalat berjama’ah bagi karyawannya,
harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Jangan sampai kesibukan
pekerjaan mengalahkan kita untuk berbuat ihsan.
Sebenarnya, fitrah manusia sendiri
sangat mencintai sikap ihsan, senang dengan sesuatu yang baik. Orang yang berbuat ihsan tidak pernah takut
kepada siapapun, kecuali hanya kepada
Allah. Pekerjaannya akan menjadi lebih lancar karena dilandasi sifat ikhlas,
profesional dan tanpa beban. Ia akan mendapatkan kenyamanan lantaran bekerja
bukan atas paksaan. Selain mendapatkan kepercayaan, baik dari atasan maupun
orang sekitarnya, ia pun dicintai Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang ihsan,” (QS al-Baqarah: 195).
Semoga kita termasuk orang yang mengikuti segala perkataan yang baik, dan
melakukannya dengan ihsan, di mana saja.
sumber : 101 Butiran Dakwah karya Hepi Andi Bastoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar