Definisi
Jual Beli
Secara
etimologi, al-bay’u (jual beli) berarti mengambil dan memberikan
sesuatu, dan merupakan derivat (turunan) dari al-Ba’a (depa) karena orang Arab terbiasa mengulurkan depa mereka
ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda
bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang.
Adapun secara terminologi, jual beli adalah transaksi tukar
menukar yang berkonsekuensi beralihnya hak kepemilikan, dan hal itu dapat
terlaksana dengan akad, baik berupa ucapan maupun perbuatan. (Taudhihul
Ahkam, 4/211).
Di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u
adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses
mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu
dan dilakukan dalam koridor syariat.
Adapun
hikmah disyariatkannya jual beli adalah merealisasikan keinginan seseorang yang
terkadang tidak mampu diperolehnya, dengan adanya jual beli dia mampu untuk
memperoleh sesuatu yang diinginkannya, karena pada umumnya kebutuhan seseorang
sangat terkait dengan sesuatu yang dimiliki saudaranya (Subulus Salam,
4/47).
Dalil
Disyari’atkannya Jual Beli
Islam
telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari A;-Qur’an, sunnah,
ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil
Al Qur’an
Allah ta’ala
berfirman,
“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba…” (QS.
Al Baqarah: 275)
Al
‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan
urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian.
Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum
asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut.
(Taisir Karimir Rahman 1/116).
Dalil
Sunnah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,
profesi apakah yang paling baik? Maka beliau menjawab, bahwa profesi terbaik yang
dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua
tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar
batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan
Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Emas
ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan
kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila
berlainan jenis,maka juallah sesuka kalian namun harus langsung
diserahterimakan/secara kontan” (HR.
Muslim: 2970)
Berdasarkan
hadits-hadits ini, jual beli merupakan aktivitas yang disyariatkan.
Dalil
Ijma’
Kebutuhan
manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat urgen, dengan transaksi
jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan
tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang
dilakukan manusia semenjak masa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam
hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual
beli (Fiqhus Sunnah,3/46).
Dalil
Qiyas
Kebutuhan
manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu
yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat
diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian,
terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai
sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al
Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).
Syarat-syarat
Sah Jual Beli
Kondisi
umat ini memang menyedihkan, dalam praktek jual beli mereka meremehkan
batasan-batasan syariat, sehingga sebagian besar praktek jual beli yang terjadi
di masyarakat adalah transaksi yang dipenuhi berbagai unsur penipuan, keculasan
dan kezaliman.
Lalai
terhadap ajaran agama, sedikitnya rasa takut kepada Allah merupakan sebab yang
mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut, tidak tanggung-tanggung berbagai
upaya ditempuh agar keuntungan dapat diraih, bahkan dengan melekatkan label
syar’i pada praktek perniagaan yang sedang marak belakangan ini walaupun pada
hakikatnya yang mereka lakukan itu adalah transaksi ribawi.
Jika kita memperhatikan praktek jual beli yang dilakukan
para pedagang saat ini, mungkin kita dapat menarik satu konklusi, bahwa
sebagian besar para pedagang dengan “ringan tangan” menipu para pembeli demi
meraih keuntungan yang diinginkannya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum
yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah
Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau
menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya,
mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu
dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah
Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz
Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh
mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah
Asy Syamilah).
Oleh
karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan
syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan
batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang
diharamkan .
Diriwayatkan
dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata,
“Yang
boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan
ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Berikut
beberapa syarat sah jual beli -yang kami rangkum dari kitab Taudhihul ahkam
4/213-214,Fikih Ekonomi Keuangan Islam dan beberapa referensi lainnya-
untuk diketahui dan direalisasikan dalam praktek jual beli agar tidak
terjerumus ke dalam praktek perniagaan yang menyimpang.
Pertama, persyaratan
yang berkaitan dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli,
yaitu:
- Hendaknya kedua belah pihak
melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan. Allah ta’ala
berfirman:
“… janganlah kalian saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)
- Kedua belah pihak berkompeten
dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf
dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak
sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila
atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92).
Hal ini merupakan salah satu bukti keadilan agama ini yang berupaya
melindungi hak milik manusia dari kezaliman, karena seseorang yang gila, safiih
(tidak cakap dalam bertransaksi) atau orang yang dipaksa, tidak mampu
untuk membedakan transaksi mana yang baik dan buruk bagi dirinya sehingga
dirinya rentan dirugikan dalam transaksi yang dilakukannya.
Kedua,
yang berkaitan dengan objek/barang yang
diperjualbelikan, syarat-syaratnya yaitu:
- Objek jual beli (baik berupa
barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan
bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang
secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.
- Objek jual beli merupakan hak
milik penuh, seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila
mendapat izin dari pemilik barang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda,
“Janganlah engkau menjual barang yang
bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503,
Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434;
dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)
- Seseorang diperbolehkan melakukan
transaksi terhadap barang yang bukan miliknya dengan syarat pemilik
memberi izin atau rida terhadap apa yang dilakukannya, karena yang menjadi
tolok ukur dalam perkara muamalah adalah rida pemilik. (Lihat Fiqh wa
Fatawal Buyu’ hal. 24). Hal ini ditunjukkan oleh persetujuan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan Urwah tatkala beliau
memerintahkannya untuk membeli kambing buat beliau. (HR. Bukhari bab 28
nomor 3642)
- Objek jual beli dapat
diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara,
menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya.
Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena
mengandung gharar(spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat
diserahkan.
- Objek jual beli dan jumlah
pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga
terhindar dari gharar. Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan
menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan
dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)
- Selain itu, tidak diperkenankan
seseorang menyembunyikan cacat/aib suatu barang ketika melakukan jual
beli. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim
yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang
memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan
cacat itu kepadanya” (HR.
Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali).
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Barang siapa yang berlaku curang terhadap
kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya
di neraka” (HR. Ibnu Hibban 567,
Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah
IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)
Jual
Beli Bukanlah Riba
Sebagian
orang beranggapan bahwa jual beli tidaklah berbeda dengan riba, anggapan mereka
ini dilandasi kenyataan bahwa terkadang para pedagang mengambil keuntungan yang
sangat besar dari pembeli. Atas dasar inilah mereka menyamakan antara jual beli
dan riba?!. Alasan ini sangat keliru, Allah ta’ala telah menampik
anggapan seperti ini. Allah ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak
dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”
(QS. Al-Baqarah: 275)
Tidak
ada pembatasan keuntungan tertentu sehingga diharamkan untuk mengambil
keuntungan yang lebih dari harga pasar, akan tetapi semua itu tergantung pada
hukum permintaan dan penawaran, tanpa menghilangkan sikap santun dan toleran
(disadur dari Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 87 dengan beberapa
penyesuaian). Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui
tatkala sahabatnya Urwah mengambil keuntungan dua kali lipat dari harga pasar
tatkala diperintah untuk membeli seekor kambing buat beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari bab 28 nomor 3642)
Namun,
yang patut dicermati bahwa sikap yang lebih sesuai dengan petunjuk para ulama
salaf dan ruh syariat adalah memberikan kemudahan, santun dan puas terhadap
keuntungan yang sedikit sehingga hal ini akan membawa keberkahan dalam usaha.
Ali radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Hai para pedagang, ambillah hak
kalian, kalian akan selamat. Jangan kalian tolak kentungan yang sedikit, karena
kalian bisa terhalangi mendapatkan keuntungan yang besar.”
Adapun
seseorang yang merasa tertipu karena penjual mendapatkan keuntungan dengan
menaikkan harga di luar batas kewajaran, maka syariat kita membolehkan pembeli
untuk menuntut haknya dengan mengambil kembali uang yang telah dibayarkan dan
mengembalikan barang tersebut kepada penjual, inilah yang dinamakan dengan khiyarul
gabn bisa dilihat pada pembahasan berbagai jenis khiyar.
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA/@andibastoni
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-0-1945-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar