Senin, 29 Juli 2013

Saatnya Merebut Kekuasaan

Sistem demokrasi jelas tak ada dalam Islam.

Tapi sejumlah fakta kekinian mengharuskan kita untuk ikut pemilu.

Umat Islam tak boleh mengabaikan fikih realitas

 

Heri (bukan nama sebenarnya) benar-benar kecewa. Dakwah di perusahaan tempatnya bekerja yang sudah dirintis sejak dua tahun silam, kandas begitu saja. Pengajian rutin setiap Sabtu sore yang ia adakan bersama teman-temannya, terpaksa dihentikan. Pasalnya, pihak perusahaan yang memang didominasi non-Muslim mengeluarkan surat larangan.

Heri benar-benar kecewa karena penyebab keluarnya surat larangan itu lantaran kecerobohan saudara seimannya sendiri. Prapto (bukan nama sebenarnya), teman sejawatnya yang juga ingin ikut berlomba menanam kebaikan. Melihat kesuksesan dakwah Heri, Prapto berinisiatif menggelar “pengajian tandingan”. Semula Heri tak ambil pusing. Toh, semuanya demi kebaikan. Meski beda “harakah” tapi tujuan dakwah Heri dan Prapto sama: ingin menerapkan syariat Islam di tempat mereka bekerja.

Hanya saja cara keduanya yang berbeda. Metode dakwah yang diusung Heri lebih “lunak”, sehingga bisa mengalir lancar dan diterima banyak karyawan. Pihak perusahaan pun tak ambil pusing. Kajian yang sering mereka dengar hanya seputar kejujuran, peningkatan etos kerja, dan disiplin. Pihak perusahaan tentu saja mendukung. Sejak adanya pengajian yang digelar Heri, karyawan terlihat lebih rajin, disipilin dan semangat bekerjanya meningkat.

Berbeda dengan Prapto. Dua kajian setiap Kamis sore yang baru digelarnya, membahas masalah sikap terhadap pemerintahan zalim! Tema yang sangat penting dan biasa dalam kajian keislaman. Tapi, tidak bagi pihak perusahaan. Dua tema yang dihasung itu dianggap berbahaya! Surat keputusan pun keluar. Yang mendapat larangan, bukan hanya pengajian Prapto, tapi juga Heri. 

Heri benar-benar kecewa. Ia harus memulai lagi dakwahnya dari nol. Ia harus melobi teman-temannya dan meyakinkan pihak perusahaan bahwa kegiatannya itu bertujuan baik. Bahkan, Heri punya PR baru: mendakwahi Prapto dan kawan-kawannya agar lebih “cerdas” berdakwah.

Peristiwa yang terjadi di sebuah perusahaan swasta yang berada di bilangan Tangerang Banten ini, menunjukkan betapa seorang Muslim khususnya dai, tak hanya memerlukan semangat, tapi juga pemahaman tentang fiqhul waqi’ (fikih realitas). Semangat yang menggebu-gebu tanpa dibarengi dengan pemahaman fikih dakwah yang utuh, bisa menjadi kerikil penghambat laju dakwah. Buktinya, apa yang dilakukan Prapto dalam kisah di atas menjadi sandungan bagi dakwahnya. Bahkan, niat baiknya untuk berlomba dalam kebaikan, tak hanya menghambat dakwahnya sendiri, tapi juga  dakwah saudaranya yang sudah dirintis sejak lama.

Pemahaman tentang fikih realitas ini amat penting, khususnya dalam lingkup dakwah yang lebih besar. Mungkin jika kasusnya hanya dalam lingkup perusahaan, dampaknya tak terlalu fatal. Tapi kalau terkait dengan masalah politik dan strategi dakwah di kalangan parlemen, pengaruhnya bisa menggagalkan agenda dakwah yang sudah dirintis puluhan tahun silam. Apalagi kalau pondasi dakwah belum tertanam kokoh. Kesalahan sedikit dalam menyiasati realita bisa menjadi pengubur dakwah.

Di antara masalah konkret yang kini ada di depan mata kita adalah kesertaan kaum Muslimin dalam pemilu. Ini merupakan agenda dakwah yang sudah direncanakan puluhan tahun silam oleh sebagian pendahulu umat. Kesertaan umat Islam dalam pemilu bukanlah hal baru. Tak hanya di Indonesia, di beberapa negara lain, umat Islam pun terjun dalam politik praktis.

Dalam Islam sistem pemilu lebih mirip dengan wakalah (perwakilan). Kaum Muslimin memilih wakil-wakil mereka untuk duduk di parlemen. Mereka menitipkan amanah kepada para wakil itu untuk urusan tertentu yang mereka sepakati. Secara syar’i hal ini sah-saja saja jika syarat dan rukunnya lengkap serta tidak melanggar syariat Islam. Orang yang diwakilkan adalah Muslim dan yang diwakilkan pun sesuai dengan syariat Islam.

Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Abu Daud, ketika Jabir bin Abdullah hendak berangkat ke Khaibar, Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau menemui wakilku di Khaibar, maka ambillah olehmu lima belas wasaq.”

Pada Baiatul Aqabah Kedua, Rasulullah saw meminta dua belas orang Anshar sebagai wakil dari 72 orang dari mereka yang datang dari Madinah. Dua belas naqib (perwakilan) itu dipilih langsung oleh kaum Anshar. Mereka bertanggung jawab terhadap isi Baiatul Aqabah. Kepada kedua belas orang itu, Rasulullah saw membuat perjanjian baru yang menyatakan bahwa mereka adalah pemimpin. Rasulullah saw berkata, “Selaku pemimpin dari tiap-tiap kaumnya, kalian memikul tanggung jawab atas keselamatan kaumnya sendiri-sendiri, sebagaimana kaum Hawariyyin bertanggung jawab atas keselamatan Isa putra Maryam. Sedangkan aku bertanggung jawab atas kaumku sendiri (yakni kaum Muslimin di Makkah).” Mereka pun menyetujui apa yang beliau ucapkan (ar-Rahiqul Makhtum 206-207 seperti dikutip dari Ibnu Hisyam I/443,444,446).

Permasalahannya, pemilu di beberapa negara termasuk Indonesia memakai sistem demokrasi. Kita tahu, sistem demokrasi bertentangan dengan Islam. Dalam sistem demokrasi, penetapan hukum berada di tangan rakyat. Sedangkan dalam Islam, penetapan hukum merupakan wewenang Allah SWT. Allah berfirman, “Sesungguhnya (penetapan) hukum itu hanyalah milik Allah,” (QS Yusuf: 40).

Dalam sistem demokrasi, semua orang dianggap sama. Suara orang fasik dan Muslim disejajarkan. Orang bodoh dan orang berpendidikan dianggap setara. Sedangkan Islam tidak menyamakan mereka. Allah berfirman, “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir)?” (QS al-Qalam: 35).

Dalam Islam, penentuan hukum yang belum ada penjelasannya, baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah, ada mekanisme syura yang di dalamnya tergabung orang-orang yang mempunyai kapabilitas ketakwaan dan ilmu yang cukup (ahlul hilli wal ‘aqdi). Merekalah yang berhak berijtihad untuk menetapkan hukum yang belum ada penjelasannya dalam al-Qur’an dan Sunnah.

Terkait dengan masalah-masalah keduniawian, seperti tata cara bertani, berdagang dan muamalah antarmanusia lainnya, terbuka juga peluang syura dan pendapat manusia. Hal ini dibuktikan dengan kasus penentuan tempat pasukan dalam perang Uhud. Rasulullah saw mengambil suara terbanyak yang menghendaki penempatan pasukan di luar Madinah. Sedangkan, dalam menentukan hukum yang sudah jelas ada dalam al-Qur’an dan Sunnah, tak boleh ada turut campur manusia, apalagi ditentukan dengan suara mayoritas seperti dalam sistem demokrasi.

Masalahnya, saat ini kaum Muslimin dipaksa untuk berhadapan dengan sistem demokrasi dan sekular yang jelas-jelas tidak ada dalam Islam. Namun bersamaan dengan itu kaum Muslimin juga dihadapkan kepada beberapa fakta yang harus disikapi.

Sistem demokrasi membuka peluang bagi siapa pun termasuk penjahat, orang kafir, sekular atau preman untuk berkuasa. Jika hal ini dibiarkan, merekalah yang akan naik ke panggung kekuasaan. Sementara umat Islam yang benar-benar komitmen dengan syariat Islam tetap terpinggirkan bahkan menjadi korban politik. Apalagi, fakta membuktikan, secara kuantitas jumlah non-Muslim semakin meningkat. Munculnya partai sekular dan non Islam secara terang-terangan harus menjadi perhatian kaum Muslimin. Sebab, sikap mereka kalau berkuasa sudah bisa ditebak: memusuhi Islam dan kaum Muslimin.

Selain itu, jika gedung parlemen dikuasai orang-orang sekular dan anti Islam, tentu undang-undang dan kebijakan politik yang keluar akan merugikan umat Islam. Mereka tak mungkin membuat aturan yang sesuai dengan syariat Islam. Kalau ini terjadi, perjalanan dakwah akan semakin panjang dan berliku. Secara tidak langsung, kita pun turut mendukung atau minimal membiarkan orang-orang jahat memegang kekuasaan.

Karenanya, kesertaan kaum Muslimin dalam pemilu menjadi harus dipikirkan. Ikut pemilu bukan berarti setuju terhadap sistem sekular dan demokrasi. Walau bagaimana pun mudharat dan maslahat antara ikut memilih dan tidak, tetap harus dipertimbangkan.

Terwujudnya Khilafah Islamiyah adalah cita-cita semua kaum Muslimin. Tapi, ada tahapan yang harus dilalui untuk mewujudkan cita-cita itu. Di antara tahapan itu adalah mengubah semua produk hukum yang ada di berbagai negeri Islam. Dan perubahan itu akan sulit diwujudkan kalau kaum Muslimin berada di luar parlemen. Fakta inilah yang membuat umat Islam perlu ikut pemilu.

Namun demikian, pemilu bukanlah segalanya bagi dakwah. Bahkan, jika tidak hati-hati, sejumlah kekhawatiran bisa muncul. Fanatisme buta dan egoisme bisa melanda para kader dan simpatisan. Banyaknya partai berasas Islam, tak hanya membingungkan umat, tapi juga membuka peluang retaknya ukhuwah. Akibatnya, ukhuwah yang mestinya dikedepankan, dikorbankan.

Karenanya, bersatunya umat dalam satu simpul partai, adalah dambaan kaum Muslimin. Ini bukan impian. Pada pemilu 1955, kaum Muslimin bisa membuktikan bahwa mereka bisa bergabung dalam satu partai yaitu Masyumi.

Untuk itu, segala upaya yang mengarah pada persatuan harus didukung. Silaturahim antarpartai hendaknya tak terjadi menjelang atau setelah pemilu saja. Tapi, menjadi agenda dakwah yang dijalani sehari-hari.


Hepi Andi/ @andibastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar