Tekanan terhadap kaum Muslimin semakin meningkat.
Untuk menyelamatkan dakwah, Rasulullah saw mengizinkan para sahabatnya hijrah
ke Habasyah. Abu Bakar ash-Shiddiq segera mempersiapkan diri. Dengan perbekalan
seadanya, ia tinggalkan Makkah. Ketika tiba di Barkul Ghimad, ia berpapasan
dengan Ibnu Daghnah, seorang kepala suku Qarah. “Hendak ke mana wahai Abu
Bakar?” tanya Ibnu Daghnah.
“Kaumku
telah mengusirku. Aku ingin mencari muka bumi (yang aman) untuk menyembah
Tuhanku,” jawab Abu Bakar.
“Orang
sepertimu tak pantas diusir. Anda suka menolong orang yang tidak punya,
membantu orang sengsara, menghormati tamu, dan membela mereka yang berada dalam
kebenaran. Karena itu, aku memberikan pelindungan kepadamu. Kembalilah dan
sembahlah Tuhanmu di negerimu (Makkah),” ujar Ibnu Daghnah.
Bersama
Ibnu Daghnah, Abu Bakar kembali ke Makkah. Di hadapan pemuka kafir Quraisy,
Ibnu Daghnah menyatakan bahwa Abu Bakar berada dalam jaminannya. Ia
diperbolehkan beribadah di rumahnya saja. Peraturan ini memang menjadi salah
satu undang-undang pada masa itu. Siapa pun boleh memberikan perlindungan
kepada orang lain. Hal ini juga yang dilakukan Abu Thalib terhadap Rasulullah
saw. Dengan demikian Rasulullah saw tetap bisa berdakwah walaupun dalam tekanan.
Dengan perlindungan itu, Abu Bakar bebas melakukan
shalat, membaca al-Qur’an dan melakukan ibadah apa pun di rumahnya. Untuk
menyebarkan dakwahnya tanpa harus menyalahi aturan, Abu Bakar memperluas
bangunan rumahnya. Dia sengaja membuat dinding rumahnya tidak terlalu tinggi
agar bisa dilihat orang lain. Kadang kala ia membaca al-Qur’an di pekarangan
rumahnya dengan suara keras.
Para wanita dan anak-anak banyak yang berdatangan
ingin mendengarkan bacaan al-Qur’an Abu Bakar. Apalagi, ketika membaca al-Qur’an Abu Bakar sering menangis membuat orang-orang
semakin banyak berdatangan. Tak sedikit dari wanita dan anak-anak itu yang
hafal ayat-ayat al-Qur’an. Mereka membacanya di jalan-jalan dan di
tempat-tempat umum. Tidak sedikit juga yang justru tertarik dengan Islam.
Apa yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq itu,
merupakan tindakan kreatif yang patut diteladani. Dalam keadaan tertekan
sekalipun, ia bisa memanfaatkan peluang. Pengembangan metode dakwahnya dengan
cara memperluas bangunan rumah merupakan tindakan cerdik. Abu Bakar bisa
menarik simpati orang lain, tanpa harus menyalahi aturan yang ditetapkan kala
itu. Abu Bakar dengan cerdik memanfaatkan undang-undang jahiliyah, dimana
seseorang dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang lain, untuk kepentingan
dakwah.
Kecerdasan strategi dakwah Abu Bakar itu,
seharusnya dicontoh kaum Muslimin. Khususnya di saat umat Islam dalam keadaan
tidak berkuasa, terkungkungan dalam aturan dan sistem yang tidak islami. Dari
sinilah kita ketahui bahwa demi kemaslahatan dakwah kaum Muslimin diperkenankan
memanfaatkan undang-undang yang ada.
Di Indonesia misalnya, saat ini sistem pemerintahan
yang dipakai tidak berlandaskan Islam. Sebagian besar undang-undang peradilan
masih mengadopsi hukum Belanda. Untuk memilih pemimpin dipakai sistem
demokrasi—yang bukan bersumber dari Islam. Namun, ini lebih baik bagi
pergerakan Islam daripada sistem diktator atau tirani. Umat Islam justru bisa
memanfaatkan sisi-sisi positif dari sistem ini. Iklim demokrasi memungkinkan
berseminya gerakan dakwah. Jaminan kebebasan berpendapat, memilih dengan suara
terbanyak dan beberapa sisi positif lainnya bisa dimanfaatkan.
Namun demikian, jangan sampai kita terbuai dengan
sistem kufur ini. Harus ada target untuk mengubahnya. Memanfaatkan aturan yang ada
bukan berarti rela dengan peraturan itu sendiri.
Tugas kita adalah memanfaatkan sisi positif dari
sistem yang ada. Inilah yang dilakukan Abu Bakar. Inilah yang dilakukan
Rasulullah saw pada periode dakwah Makkiyah. Mereka bukan berarti menyetujui
undang-undang perlindungan yang dipakai orang-orang kafir kala itu. Mereka
hanya memanfaatkan satu sisi positif dari undang-undang tersebut, yaitu sisi
kebebasan berdakwah dalam rumahnya.
Karenanya, harus dibedakan antara memperjuangkan sistem pemerintahan kafir
dengan memanfaatkan sistem pemerintahan kafir untuk melindungi dakwah. Dengan
kaidah ini juga para dai diperkenankan memanfaatkan seorang jenderal
berpengaruh dalam militer atau seorang pejabat yang disegani dalam pemerintahan
untuk kepentingan dakwah. Tidak salah juga kalau para dai memanfaatkan para
pengusaha atau penguasa untuk menjaga kelangsungan dakwah.
Tentu pemanfaatan tersebut tak boleh mempengaruhi substansi dakwah itu
sendiri. Tak boleh ada sesuatu yang hilang dari misi dakwah. Ini yang dilakukan
Rasulullah saw dan Abu Bakar. Jaminan keselamatan dari Abu Thalib tidak sampai
mengorbankan lajunya perjuangan. Dakwah tetap berjalan. Perlindungan Ibnu
Daghnah tidak mempengaruhi keimanan dan dakwah Abu Bakar.
Amat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan sebagian mereka yang
mengaku aktivis Islam saat ini. Segelintir uang dan sedikit kekuasaan cukup
membuat mereka menutup mulut terhadap kezaliman yang mereka ketahui. Mobil
mewah dan rumah megah cukup membungkam mulut mereka. Kata “ishlah” menjadi tameng
pelindung dalang kezaliman. Akibatnya, kasus Tanjung Priok, Talangsari dan
berbagai tragedi pembantaian umat Islam lainnya, tetap akan tersimpan dalam
“loker” kalau umat Islam tetap berdiam diri. Dalang pembantaian tetap bebas
berkeliaran bahkan siap melangkahkan kakinya menuju kursi kekuasaan yang lebih
tinggi.
Karenanya, reprensentasi umat Islam di parlemen sangat diperlukan. Bukan
untuk turut menikmati kekuasan, tapi mewarnai kebijakan yang ditelurkan. Jika
tidak, teriakan penegakan syariat Islam hanya akan hilang begitu saja. Roda
dakwah pun akan semakin lambat berputar.
Saat ini mereka yang menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan
adalah orang-orang yang tidak baik, sementara yang baik tak dipercaya. Ya, saat
ini orang yang baik tak dipercaya, sedangkan yang dipercaya tidak baik.
Realitas inilah yang memperlengkap keterpurukan negeri ini. Karenanya, di
antara tugas kita adalah mendorong sebanyak mungkin orang-orang baik untuk
memegang kekuasaan. Caranya, mengambil hak untuk memilih dan menyumbangkannya
untuk umat Islam.
By HEPI ANDI BASTONI
By HEPI ANDI BASTONI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar