Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
Follow: @andibastoni
Pentingnya Ilmu Mawarits
Jika
hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan
secara global oleh Allah diperinci oleh Rasulullah saw dalam Sunnah, sedangkan
hukum mawarits diterangkan oleh Allah secara terperinci di dalam Al-Qur’an.
Sebagai
contoh, Allah berfirman: “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah :
43]
“Dan
bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu”
[Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detil.
Adapun
pembagian harta warisan, Allah telah menjelaskan dalam surat an-Nisa. Allah
sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahluk-Nya. Allah menetapkan
anak laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorang pun yang
boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan
Bijaksana.
Pembagian Harta Warisan Antara Adat dengan Islam
Pada
zaman Arab Jahiliyah, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit,
atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan
kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak
bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.
Sebagaimana
yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi, bahwa paman mereka mengambil
semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada
Rasulullah saw, maka beliau memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi
kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia
ambil.
Ibnu
Katsir berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada
laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan mereka
untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok
dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena
laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta
menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian
perempuan.”[1]
Pada
sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya
di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan.
Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan
kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai
pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.
Karena
itu, suami dianjurkan (baca: diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Merupakan
aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika
memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah
Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu,
sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua istri daripada ke
rumah orang tuanya sendiri.
Fakta
seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki
sangat dominan dan diuntungkan. Sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki
selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka dalam salah
satu karangannya: ”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah
laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia
mendapatkan nasihat dan keputusan dari orangtuanya dalam semua urusannya dari
sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak
ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang
duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula
sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan
harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau
makan harus pergi ke lapau (kedai nasi).”
Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan
mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat,
kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang
sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang
pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak
adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam
yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan
dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.
Tentu saja, anggapan aneh seperti di atas
tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan,
dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi saw bersabda : “Sesungguhnya
Allah telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada
wasiat bagi ahli waris.”[2]
Jika
adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang
kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang
layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah saw : “Sesungguhnya
engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau
biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia.”[3]
Islam
juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah.
Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang
menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun
kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika
adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan
manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang
dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah
persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah
menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana
yang lebih banyak manfaatnya.[4]
Dari
paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam
Islam sebagaimana berikut.
1.
Ketetapan warisan
merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang
telah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.
2.
Allah menempatkan
setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.
3.
Dengan pembagian
yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat
jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah
berfirman, ” Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih
berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah.”[5]
4.
Islam sangat
mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha
sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan
manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa
jahiliyah Arab dan hukum adat.
5.
Pembagian harta
waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan kepada harta
warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki
memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada
perempuan.
Ancaman Jika Tidak Menggunakan Hukum Islam dalam Pembagian Warisan
Orang
yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan
orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Ancaman terhadap mereka sama
dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah. Firman
Allah.
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir” [Al-Maidah : 44]
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim”
[Al-Maidah : 45]
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”
[Al-Maidah : 47]
Ibnul
Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah,
barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah disertai
pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah menurunkan hukum tersebut, sebagaimana
yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum Allah karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa
pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau
fasik.”[6]
Dalam
masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah menyebutkan ancaman bagi
orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum
Allah. Allah berfirman setelah ayat mawarits.
تِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي
مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ(13)وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ
يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“(Hukum-hukum
mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat
kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan
itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke
dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang
menghinakan.” [An-Nisa 13-14]
Ayat
di atas menerangkan, Allah menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta
waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah mengancam setiap orang yang
melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau
mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.
Diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ
الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنَةً فَإِذَا أَوْصَى
حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ النَّارَ
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً
فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ
الْجَنَّةَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ
: وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( تِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ ) إِلَى قَوْلِهِ
...عَذَابٌ
مُهِينٌ
”Seseorang
beramal dengan amal orang yang shalih selama tujuh puluh tahun. Kemudian ketika
berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah akan menutup
amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Sesungguhnya,
seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian
dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal
yang terbaik, sehingga dia masuk surga.” Abu Hurairah berkata: “Bacalah kalau
kalian mau.” Kemudian beliau membaca ayat di atas.[7]
[2] HR Abu Dawud
3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani
rahimahullah berkata “sanadnya hasan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar