Penjelasan
Khusus Tentang Batasan Aurat Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram
- Batasan
aurat wanita di depan suami. Allah ta’ala memulai firman-Nya dalam
surat an-Nuur ayat 31 tentang bolehnya wanita menampakkan perhiasannya
adalah kepada suami. Sebagaimana telah diketahui bahwa suami adalah
mahram wanita yang terjadi akibat mushaharah (ikatan pernikahan).
Dan suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh
istrinya.Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika
menafsirkan surat an-Nuur ayat 31, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya
menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain)
memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh
melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan
orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]Allah ta’ala
berfirman dalam kitab-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ إِلاَّ
عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali
terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tidak tercela.” (Qs. Al-Ma’arij: 29-30)
Ayat di atas menunjukkan bahwa seorang suami
dihalalkan untuk melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar memandangi perhiasan
istrinya, yaitu menyentuh dan mendatangi istrinya. Jika seorang suami
dihalalkan untuk menikmati perhiasan dan keindahan istrinya, maka apalagi hanya
sekedar melihat dan menyentuh tubuh istrinya. [Lihat al-Mabsuuth (X/148)
dan al-Muhalla (X/33)]
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku mandi
bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari satu bejana
yang berada di antara aku dan beliau sambil tangan kami berebutan di dalamnya.
Beliau mendahuluiku sehingga aku mengatakan, ‘Sisakan untukku, sisakan
untukku!’ ‘Aisyah mengatakan bahwa keduanya dalam keadaan junub.” [Hadits
shahih. Riwayat Bukhari (no. 250) dan Muslim (no. 46)]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata
dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri
untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan),
berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya
untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya
seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat Aadaabuz Zifaaf (hal. 111), al-Kawaakib
(579/29/1), dan Panduan Lengkap Nikah (hal. 298)]
Jadi, tidak ada batasan bagi seorang suami untuk
melihat keseluruhan aurat istrinya, termasuk kemaluannya.
- Batasan
aurat wanita di depan wanita lainnya. Aurat seorang wanita yang
wajib ditutupi di depan kaum wanita lainnya, sama dengan aurat lelaki di
depan kaum lelaki lainnya, yaitu daerah antara pusar hingga lutut. [Lihat al-Mughni
(VI/562)]. Ibnul Jauzi berkata dalam kitabnya Ahkaamun Nisaa’ (hal.
76), “Wanita-wanita jahil (yang tidak mengerti) pada umumnya tidak
merasa sungkan untuk membuka aurat atau sebagiannya, padahal di hadapannya
ada ibunya atau saudara perempuannya atau putrinya, dan ia (wanita itu)
berkata, “Mereka adalah kerabat (keluarga).’ Maka hendaklah wanita itu
mengetahui bahwa jika ia telah mencapai usia tujuh tahun (tamyiz),
karena itu, ibunya, saudarinya, ataupun putri saudarinya tidak boleh
melihat auratnya.”Nabi shallallahu “alaihi wa sallam pernah
bersabda,
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ
الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ، وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ
فِي الثَّوْبِ الْوَا حِدِ، وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةَ فِي
الثَّوْبِ الْوَحِدِ .
و في روية :
وَلاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عُـرْيَةِ الرَّجُلِ، وَلاَ تَنْظُرُ الْمَرْأَةُ
إِلَى عُـرْيَةِ الْمَرْأَةِ .
“Janganlah seorang lelaki melihat aurat lelaki
(lainnya), dan janganlah pula seorang wanita melihat aurat wanita (lainnya).
Seorang pria tidak boleh bersama pria lain dalam satu kain, dan tidak boleh
pula seorang wanita bersama wanita lainnya dalam satu kain.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
“Tidak boleh seseorang pria melihat aurat pria
lainnya, dan tidak boleh seorang wanita melihat aurat wanita lainnya” [Hadits
shahih. Riwayat Muslim (no. 338), Abu Dawud (no. 3392 dan 4018), Tirmidzi (no.
2793), Ahmad (no. 11207) dan Ibnu Majah (no. 661), dari Abu Sa'id Al-Khudriy radhiyallahu
"anhu]
Makna “uryah ( عـرية) (aurat) pada hadits di atas adalah tidak memakai pakaian
(telanjang). [Lihat Panduan Lengkap Nikah (hal. 100)]
Adapun mengenai batasan aurat seorang wanita muslimah
di depan wanita kafir, maka sebagian ulama berpendapat bahwa seorang
wanita muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya kepada selain muslimah,
karena lafazh أو نسآئهن yang tercantum dalam surat an-Nuur ayat 31 adalah
dimaksudkan kepada wanita-wanita muslimah. Oleh karena itu, wanita-wanita dari
kaum kuffar tidak termasuk ke dalam ayat tersebut, sehingga wanita muslimah
tetap wajib untuk berhijab dari mereka. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
(III/284), Tafsir al-Qurthubi (no. 4625), Fat-hul Qaadir (IV/22)
dan Jilbab Wanita Muslimah (hal. 118-119)]
Ada juga ulama yang berpendapat bahwa lafazh “أو نسآئهن bermakna
wanita secara umum, baik dia seorang muslimah ataupun seorang wanita kafir. Dan
kewajiban berhijab hanyalah diperuntukkan bagi kaum lelaki yang bukan mahram,
sehingga tidak ada alasan untuk menetapkan kewajiban hijab di antara wanita
muslimah dan wanita kafir. [Lihat Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/498), Durus
wa Fataawaa al-Haram al-Makki (III/264) dan Fataawaa al-Mar'ah
(I/73)]
Namun, pendapat yang paling mendekati kebenaran dan
keselamatan -insya Allah- adalah pendapat pertama, karena pada awal ayat
tersebut (Qs. An-Nuur: 31), Allah ta’ala memulai perintah hijab dengan
lafazh وقل للمؤمنت yang
artinya, “Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminah…“. Maka lafazh
selanjutnya, yaitu أو نسآئهن lebih dekat maknanya kepada wanita-wanita dari
kalangan kaum muslimin. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
- Batasan aurat wanita di depan para budak. Di dalam ayat di atas, disebutkan أو ما ملكت أيمنهن atau budak-budak yang mereka miliki…”, di mana maksud ayat ini mencakup budak laki-laki maupun wanita. [Lihat al-Mabsuuth (X/157]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa seorang budak boleh melihat majikan wanitanya (dalam hal ini maksudnya adalah bertatap muka) karena kebutuhan. [Lihat Majmuu' al-Fataawaa (XVI/141)]Jadi seorang budak diperbolehkan melihat aurat majikan wanitanya sebatas yang biasa nampak, dan tidak lebih dari itu.
- Batasan aurat wanita di depan orang yang tidak memiliki hasrat (syahwat) terhadap wanita. Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan lafazh أوِ التبعين غير أولى الإربة من الرجال, , “Maknanya adalah para pelayan dan pembantu yang tidak sepadan, sementara dalam akal mereka terdapat kelemahan.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]. Maksudnya adalah orang-orang tersebut tidak memiliki hasrat terhadap wanita disebabkan usianya yang sudah lanjut, kelainan seksual (banci), atau menderita penyakit seksual (impoten/lemah syahwat). [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/165)]. Jika melihat realita pada zaman sekarang ini, orang-orang tersebut memang tidak akan berhasrat kepada wanita, namun mereka memiliki kecenderungan untuk menceritakan keadaan kaum wanita kepada orang lain yang memiliki hasrat kepada wanita, sehingga dikhawatirkan akan timbul fitnah secara tidak langsung. Oleh karena itu, hendaklah para wanita tidak membuka aurat mereka, kecuali yang biasa nampak darinya.
- Batasan aurat wanita di depan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanitaMaksud lafazh أو الطـفـل الذين لم يظهروا على عورت النسآء adalah anak yang masih kecil dan tidak mengerti tentang keadaan kaum wanita dan aurat mereka. Anak yang belum memahami aurat, tidak mengapa bila dia masuk ke ruangan wanita. Adapun jika anak tersebut telah memasuki masa pubertas atau mendekatinya, di mana dia mulai mengerti tentang semua itu, dan dapat membedakan antara wanita yang cantik dan yang tidak cantik, maka dia tidak boleh lagi masuk ke dalam ruangan wanita. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (III/284)]
Catatan
Penting
Berikut ini
adalah beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam hal batasan aurat
seorang wanita yang boleh ditampakkan di depan para mahram, yaitu:
- Seorang
mahram, kecuali suami wanita tersebut, boleh melihat perhiasan seorang
wanita -berdasarkan pada penjelasan terdahulu- dengan syarat bukan
dalam keadaan menikmatinya dan disertai dengan syahwat. Jika hal itu
terjadi, maka tidak syak (ragu) dan tidak ada khilaf (perselisihan)
dalam masalah ini bahwa hal itu terlarang hukumnya. [Lihat Ensiklopedi
Fiqh Wanita (II/159)]
- Seorang
wanita boleh menanggalkan pakaiannya jika dia merasa aman dari kemungkinan
adanya orang-orang asing yang dapat melihatnya dan ditempat orang-orang
yang terpercaya (khusus yang menjadi mahramnya), di mana orang-orang
tersebut mengetahui ketentuan-ketentuan Allah sehingga mereka menjaga
kehormatan dan kesucian seorang muslimah. [Lihat Panduan Lengkap Nikah
(hal. 103) dan tambahan penjelasan secara khusus dalam Syarah
al-Arba'un al-Uswah (no. 26)]
- Dan
hendaknya seorang wanita tetap memelihara hijabnya dan menjaga auratnya
kecuali yang biasa nampak darinya, di depan seluruh mahramnya -kecuali
suami-, agar muru’ah (kehormatan) dan “iffah (kesucian diri)
dapat senantiasa terjaga.
Seorang
wanita muslimah harus senantiasa memperhatikan hal-hal yang dapat
menjerumuskannya ke dalam lembah kemaksiatan. Dia diharuskan untuk menjaga
dirinya dari fitnah yang dilancarkan setan dari berbagai penjuru. Untuk itu,
rasa malu lebih wajib untuk dimiliki oleh kaum wanita, sehingga dengannya
seorang wanita muslimah dapat menjadi uswah (teladan) bagi saudarinya
yang lain dalam berakhlaqul karimah.
Wallahu
a’lam wal musta’an.
***
sumber :
artikel muslimah.or.id
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
- Ensiklopedi
Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet.
Pustaka Ibnu Katsir
- Fataawaa
an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
- Fat-hul
Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet.
Daar al-Hadits
- Fatwa-Fatwa
Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
- Jilbab
Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
- Panduan
Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq,
cet. Pustaka Ibnu Katsir
- Syarah
al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah,
Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar