Oleh:
Hepi Andi Bastoni, MA (@andibastoni)
(Ketua
Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Niat Puasa Syawal
Sebagian ulama menyatakan, tidak wajib berniat di malam hari untuk puasa
sunah, baik puasa sunah mutlak maupun terkait hari tertentu. Pendapat ini
berdasarkan hadits
Aisyah. Ia mengatakan,
“Rasulullah menemuiku pada suatu pagi, kemudian beliau bertanya, ‘Apakah
kalian memiliki suatu makanan?’
Aisyah mengatakan, ‘Tidak.’ Beliau bersabda, ‘Jika demikian, aku puasa.’ Di
kesempatan hari yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi
kami (Aisyah). Kami mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, kami diberi hadiah hais
(adonan).’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta, ‘Tunjukkan kepadaku,
karena tadi pagi aku berniat puasa.’” (H.r. Muslim, no. 1154).
Sebagian ulama berpendapat–seperti: Syekh Ibnu
Utsaimin rahimahullah– bahwa diwajibkan untuk berniat di malam hari
untuk puasa “tertentu”, seperti: puasa enam hari bulan Syawal, hari Arafah,
Asyura, atau puasa “tertentu” lainnya. Jika ada yang berpuasa setengah hari
(karena dia baru berniat di siang hari), dia tidak dianggap telah melaksanakan puasa
satu hari penuh di hari itu. Nabi saw menjanjikan pahala untuk puasa
enam hari di bulan Syawal secara penuh.
Mestikah Puasa Syawal Berturut-turut
Ulama berselisih pendapat tentang
tata cara yang paling baik dalam melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal.
1.
Dianjurkan
untuk menjalankan puasa Syawal secara berturut-turut, sejak awal bulan. Ini adalah
pendapat Imam Syafi’i dan Ibnul Mubarak. Pendapat ini didasari sebuah hadis,
namun hadisnya lemah.
2.
Tidak
ada beda dalam keutamaan, antara dilakukan secara berturut-turut dengan
dilakukan secara terpisah-pisah. Ini adalah pendapat Imam Waki’ dan Imam Ahmad.
3.
Tidak boleh melaksanakan puasa persis
setelah Idul Fitri karena itu adalah hari makan dan minum. Namun, sebaiknya
puasanya dilakukan sekitar tengah bulan. Ini adalah pendapat Ma’mar,
Abdurrazaq, dan diriwayatkan dari Atha’. Kata Ibnu Rajab, “Ini adalah pendapat
yang aneh.” (Lathaiful
Ma’arif, hlm. 384–385)
Pendapat yang lebih kuat dalam hal
ini adalah pendapat yang menyatakan bolehnya puasa Syawal tanpa berurutan.
Keutamaannya sama dengan puasa Syawal secara terpisah. Syekh Abdul Aziz bin Baz
ditanya tentang puasa
Syawal, apakah harus berurutan? Ia menjelaskan,
“Puasa 6 hari di bulan Syawal adalah sunah yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Boleh dikerjakan secara berurutan atau terpisah karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memberikan keterangan secara umum terkait pelaksanaan puasa Syawal,
dan beliau tidak menjelaskan apakah berurutan ataukah terpisah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Barang siapa
yang berpuasa Ramadan, kemudian diikuti puasa
enam hari bulan Syawal ….‘ (Hadis riwayat Muslim, dalam Shahih-nya) (Majmu’
Fatwa wa Maqalat Ibni Baz, jilid 15, hlm. 391).
Qadha’ Puasa
atau Puasa Syawal
Dalam hal ini para
ulama juga berbeda pendapat. Syekh Ibnu Utsaimin menjelaskan, misalnya, ada seseorang
yang berpuasa di bulan Ramadhan dua puluh empat hari dan dia masih punya
tanggungan meng-qadha’ enam hari, jika berpuasa Syawal enam hari sebelum
meng-qadha’ enam hari yang ditinggalkan, maka tidak bisa dikatakan berpuasa
Ramadhan dan dilanjutkan dengan puasa Syawal. Sebab, seseorang tidak bisa
dikatakan telah berpuasa Ramadhan
kecuali jika menyempurnakannya. Dengan demikian, tidak mendapatkan pahala puasa
Syawal enam hari itu, kecuali bagi orang yang telah meng-qadha’ puasa Ramadhan yang
ditinggalkannya. Sa’id
bin Al Musayyib berkata mengenai puasa sepuluh hari (di bulan Dzulhijjah), “Tidaklah layak melakukkannya sampai
memulainya terlebih dahulu dengan mengqodho’ puasa Ramadhan.” (Diriwayatkan oleh
Bukhari).
Jadi, memang sebaiknya dilakukan qadha’ lebih
dulu, baru puasa Syawal. Namun jika ia khawatir tak sempat lagi melaksanakan
puasa Syawal lantaran di awal Syawal dia sakit atau dalam perjalanan atau
banyak kesibukan yang menyulitkannya berpuasa, maka qadha’ bisa dilaksanakan
selain di bulan Syawal.
Aisyah
menyebutkan, “Aku dulu masih punya utang puasa dan aku tidak mampu
melunasinya selain pada bulan Sya’ban.”(HR.
Bukhari no. 1950).
Ini menunjukka bahwa
Aisyah sempat menunda qadha’ puasanya hingga ke bulan Sya’ban berikutnya dan
hampir bisa dipastikan ia tidak mungkin meninggalkan puasa Syawal. Hal itu
terjadi karena kesibukannya mengurus sakitnya Nabi saw.
Menggabung Niat Qadha’ Puasa dengan Puasa Syawal
Tidak boleh
melakukan puasa 6 hari di bulan Syawal dengan niat ganda, untuk puasa sunah dan
meng-qadha puasa
Ramadan yang pernah ditinggalkan, karena meninggalkan puasa ketika Ramadan,
baik karena alasan yang dibenarkan maupun tanpa alasan, itu wajib untuk
di-qadha’, sementara,
puasa 6 hari Syawal itu hukumnya sunah. Puasa Syawal harus dilakukan secara
khusus, demikian pula qadha puasa
juga harus dilakukan secara khusus.
Menggabungkan
Puasa Syawal dengan Puasa Senin Kamis
Jika seorang muslim niat puasa 6
hari bulan syawal, dan dia lakukan bertepatan dengan hari Senin, Kamis, atau ketika ayamul bidh (tanggal 13,
14, dan 15 bulan hijriyah) maka dia mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang
dia niatkan. Karena niat dalam amal semacam ini bisa digabungkan.
Adapun puasa qadha ramadhan maka
hanya boleh dilakukan dengan satu niat, yaitu niat puasa qadha. Karena puasa
qadha adalah pengganti puasa yang seharusnya dilakukan di bulan Ramadhan.
Sebagaimana seseorang tidak boleh menggabungkan niat puasa ramadahan dengan
niat puasa lainnya, demikian pula dia tidak boleh puasa qadha ramdhan bersamaan
dengan niat puasa yang lain.
Sedangkan puasa sunah, kemudian
digabungkan dengan niat untuk melakukan puasa yang
lainnya karena puasa
semacam ini memungkinkan untuk digabungkan niatnya. Sebagian ulama menyebutnya
“At-Tasyrik fin Niyah”
(menggabungkan niat).
Ibn Rajab mengatakan, “Jika ada
orang yang menggabungkan niat wudhu dengan niat untuk mendinginkan anggota
badan atau niat untuk menghilangkan najis atau kotoran yang menempel di badan
maka wudhunya sah menurut keterangan Imam As-Syafi’i. Dan ini merupakan
pendapat mayoritas ulama madzhab hambali. Karena tujuan semacam ini tidaklah
haram, tidak pula makruh. Karena
itu, jika ada orang yang berwudhu dengan niat menghilangkan hadats dan
sekaligus mengajarkan tata cara wudhu maka niatnya tidak membatalkan wudhunya.
Meng-Qadha’ Puasa Syawal
Boleh men-qadha-nya karena ada
udzur. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Al-Fatawa
Sa’diyyah, hal. 230) dan Syaikh Ibnul Utsaimin (Syarhul Mumti’, 7/467).
Alasannya adalah men-qiyas-kan dengan ibadah-ibadah
lain yang bisa di-qadha apabila ada udzur seperti shalat.
Tidak disyariatkan untuk men-qadha puasa syawal apabila
telah keluar bulan Syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena waktunya
telah lewat. Pandapat ini dipilih oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz (Majmu’
Fatawa Ibnu Baz, 3/270, Al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah- 2/172,
Fatawa Shiyam, 2/695-695, kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud).
Pendapat kedua lebih
menentramkan karena qadha puasa syawal membutuhkan dalil khusus
dan tidak ada dalil dalam masalah ini. Wallahu
A’lam.
Kalau memang dia benar-benar jujur
dalam niatnya yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa
Syawal, maka Allah Subhanahu
wa Ta’ala akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits: “Apabila seorang hamba sakit atau
bepergian, maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat.” (HR. al-Bukhari, 2996).
1. Menggenapkan ganjaran berpuasa
setahun penuh
Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan
kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun
penuh.” (HR. Muslim no.
1164, dari Abu Ayyub Al Anshari).
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa
seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh
kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan
penuh, -pen) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari =
10 bulan) dan puasa enam hari
di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2
bulan). Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal
dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti
melaksanakan puasa setahun
penuh.
2. Menutup kekurangan dan
menyempurnakan ibadah wajib
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal
akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di
bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah
rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal
nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan
yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang
dalam puasa Ramadhan,
pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dengan amalan sunnah.
Jika Allah menerima amalan seorang
hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan shalih selanjutnya. Jika Allah
menerima amalan puasa Ramadhan,
maka Dia akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari
di bulan Syawal. Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf, “Di antara balasan kebaikan adalah
kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan
selanjutnya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar
Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H [Tafsir Surat Al Lail]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas
dengan perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan
kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan
dengan kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama.
Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan
dengan amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tidak
diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.” (Latha-if Al Ma’arif, hal. 394.)
4. Sebagai bentuk syukur pada Allah
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu
nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah
ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam
selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan
amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?
Begitu pula di antara bentuk syukur
karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari
Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah
melalui bacaan takbir “Allahu Akbar”.
5. Menandakan bahwa ibadahnya kontinu
dan bukan musiman saja.
Ada sebagian orang yang hanya rajin
ibadah dan shalat malam
di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka, “Sejelek-jelek orang
adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang
sholih adalah orang yang rajin ibadah dan rajin shalat
malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau
Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan
manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah
Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba
Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di
bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin dan
janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg)
sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi
taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar