Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Shalat
di dalam masjid yang ada kuburnya, entah itu di sebelahnya atau juga
berdampingan dengan masjid, atau juga kuburan yang berada di areal masjid tidak
mutlak diharamkan oleh Jumhur ulama. Ini bukanlah perkara yang baru, akan
tetapi sejak dulu ulama sudah membahas ini.
Kelompok yang Mengharamkan
Namun
kemudian, ada ulama yang mengharamkan praktek shalat di masjid yang ada
kuburannya, dengan dalil hadits nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Abu
Huriaroh ra:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah
swt melaknat orang-orang yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi
mereka masjid (tempat bersujud)” (HR. Bukhori 417 / Muslim 825)
Dan
hadits-hadits ini juga diriwayatkan oleh beberapa Imam Sunan hadits
dengan redaksi yang mirip. Imam Al-Suyuthi menambahkan redaksi [وصالحيهم] wa Sholihim (orang-orang sholih mereka) berdasarkan
riwayat muslim.
Dengan
dasar hadits ini, mereka mengharamkan melakukan shalat di dalam masjid yang ada
kuburannya, toh mendirikan masjid di atas atau sekitaran masjid saja tidak
boleh, berarti shalatnya juga tidak boleh. Dan shalatnya menjadi tidak sah plus
dia berdosa. Karena Allah swt melaknat orang-orang yahudi dan nasrani, dan kita
diperintah untuk menyelisih mereka.
Bahkan
salah satu ulamanya berfatwa ketika ditanya tentang hal tersebut, beliau
memberikan jawaban bahwa masjid itu harus dihancurkan atau kuburan itu yang
harus di pindahkan.[1]
Namun
ketika ditanya tentang “bagaimana hukum shalat di dalam masjid Nabawi yang
di dalamnya ada kuburan Rasulullah saw dan juga sahabat yang lain?”
Mereka
menjawab bahwa masjid Nabawi itu di khususkan, bahwa masjid itu lebih dulu
dibangun dan kemudian dilebarkan akhirnya menjadikan kuburan Nabi saw masuk
dalam masjid.
Kelompok Yang Membolehkan
Kelompok
yang membolehkan shalat di dalam masjid yang ada kuburannya ialah ulama dari
kalangan madzhab Fiqih[2],
kecuali madzhab Hanbali yang mengharamkan[3].
Akan
tetapi jika kuburannya itu ada di seberang pengimbaran imam, itu dimakruhkan
dan shalatnya tetap sah. Ini pendapat 4 madzhab fiqih selain madzhab Imam Ahmad
bin Hanbal.
Dan
pendapat mayoritas inilah yang diikuti oleh ulama komtemporer sekarang, tentu
selain kelompok salafi itu. Salah satu yang mewakilinya ialah para ulama yang
tergabung dalam dewan fatwa Mesir [دار
الإفتاء المصرية] Daar
Al-Ifta Al-Mishriyah. Sebagaimana telh mereka jelaskan dalam beberapa fatwa
mereka.
Dan
sudah pasti mereka mengikuti bukan tanpa dalil tapi justru dengan dalil yang
sangat kuat. Mereka berdalil dengan Al-Quran, Sunnah, Kesepakatan para sahabat
Nabi saw, dan juga kesepakatan umat.
1.
Makam Sahabat Abu Bashir:
Imam
Ibnu Abdil-Barr dalam kitabnya Al-Istii’aab meriwayatkan bahwa seorang
sahabat yang bernama Abu Bashir, ketika ia meninggal dunia para sahabat
membangun masjid di atas kuburannya (di sekitranya). Dan pada saat itu Nabi saw
masih hidup, akan tetapi tidak ada satu riwayat pun yang sampai saat ini bahwa
Nabi saw melarangnya.
Bahkan
para sahabat yang diceritakan ketika itu mngetahui pendirian masjid di atas
kuburan Abi Bashir sejumlah 300 sahabat, tidak ada satu pun dari mereka yang
menentangnya.[4][4] Ini bukti
sebuah kebolehan, karena kalau perkara itu dilarang pastilah akan sampai
riwayat ke kita saat ini yang melarang itu.
Karena
Nabi saw dan para sahabat tidak akan diam untuk sebuah kemaksiatan.
Berhujjah
dengan dalil riwayat cerita ini memang lemah, karena cerita ini sudah sejak
dahulu kala, ceritanya sudah sejak lama sekali sedangkan riwayat hadits Nabi
Muhammad saw yang melaknat prilaku orang Yahudi dan Nasrani itu dikatakan oleh
beliau saw beberapa hari sebelum wafat. Yaitu di hari rabu dan beliau wafat di
hari senin setelah itu. Bisa jadi riwayat ini menghapus apa yang terjadi pada
masanya Abu Bashir.
2.
Pemilihan Makam Nabi saw:
Ini
juga dikuatkan oleh praktek yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw ketika
wafatnya beliau saw, yang diceritakan oleh Imam Malik dalam kitabnya Al-Muwaththo’.
Ketika itu para sahabat berselisih dimana akan memakamkan Nabi saw, Imam
Malik berkata:
فَقَالَ
نَاسٌ يُدْفَنُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ، وَقَالَ آخَرُونَ يُدْفَنُ بِالْبَقِيعِ
فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ فَقَالَ سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقُولُ مَا دُفِنَ نَبِيٌّ قَطُّ إلَّا فِي
مَكَانِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَحُفِرَ لَهُ فِيهِ
“orang-orang berkata: ‘kuburkan
(nabi) di mimbar (masjid Nabawi)’, yang lain berkata juga: ‘kuburkan di
pemakaman baqi’’. Kemudian Abu bakr datang dan berkata: ‘aku pernah mendengar
Nabi saw bersabda bahwa tidak ada nabi yang meninggal dunia kecuali ia
dikuburkan ditempat dimana ia wafat’. Kemudian di gali lah di dalam kamar Nabi
tersebut”[5][5]
Kesimpulan yang diambil dari hadits
ini ialah bahwa ada sekelompok sahabat yang malah menyarankan untuk Nabi
dikuburkan di mimbar, dan mimbar itu bukan di luar masjid, tapi memang
benar-benar di dalam masjid.
Kalau
memang itu dilarang oleh Nabi saw, dan hadits pelaknatan Yahudi dan nasrani itu
pun sudah turun, kenapa ada sahabat yang masih berani menyarankan itu?
Dan
setelah mereka menyarankan itu, tidak ada sekelompok sahabat lainnya yang
menghardik sarannya tersebut jika memang itu melanggar ketentuan syariat? Tapi
nyatanya tidak ada.
Dan
Abu bakr, yang akhirnya menjadi pengambil keputusan bahwa Nabi dikuburkan di
kamarnya sendiri (kamar ‘Aisyah), itu bukan berdasarkan bahwa saran-saran
sahabat lain itu terlarang, tapi karena memang Nabi mewasiatkan itu.
Apa
mungkin para sahabat Nabi saw membiarkan sebuah pelanggaran syariat.
3.
Kamar ‘Aisyah Menempel Dengan Masjid
Jadi
memang Nabi wafat ketika belaiu berada di kamar ‘Aisyah ra, dan sudah maklum
(diketahui) bahwa kamar para istri-istri Nabi saw itu berdempetan dengan masjid
Nabawi termasuk kamar ‘Aisyah. Jadi kuburan Nabi memang berada tepat disamping
Masjid dan bahkan berdempetan tak terbatas sangat dekat sekali.
Dan
para sahabat tetap melaksanakan shalat di masjid Nabawi dengan tenang, tanpa
ada yang risih dan gundah. Semua baik-baik saja padahal kuburan Nabi menempel
erat dengan masjid. Karena kalau memang itu terlarang, pastilah mereka tidak
diam.
Tapi
sama sekali tidak ada dari para sahabat yang memang dekat dengan Nabi,
mengetahui sunnah dengan benar, para penghafal Al-quran, mengetahui sebab
turunnya Al-quran, tidak ada dari mereka yang menyarankan untuk memindahkan
kuburan Nabi, atau bahkan memindah masjid Nabawi ketempat yang berjauhan dengan
kuburan. Tidak ada!
Dan
apa yang kita lihat sekarang di Indonesia atau kebanyakan Negara-negara Islam
itu ya seperti ini. Bahwa banyak masjid-masjid yang dibangun itu bersebelahan
dengan makan orang-orang sholih dari kaum tersebut. Termasuk para wali Allah
swt.
Dan
ini telah menjadi kesepakatan para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim
-
Khusus Kuburan Nabi saw
Kalau
dikatakan bahwa itu kuburan Nabi dan itu dikhususkan, maka selain kuburan Nabi
itu yang terlarang. Ini pengkhususan yang keliru dan salah.
Sejatinya
hukum dalam syariat itu umum berlaku untuk siapa saja dari kaum muslim walaupun
itu awal pensyariatannya terjadi pada salah satu sahabat, atau terjadi pada
Nabi sendiri. Dan pengkhususan hukum syariah tidak bisa berlaku kecuali dengan
adanya dalil bahwa itu memang khusus untuk Nabi saw.
Dan
sama sekali tidak ditemukan dalil yang mengkhususkan bahwa kalau kuburan Nabi
boleh dan kuburan selain Nabi Muhammad saw tidak boleh. Ini tidak ada dasarnya
dan dalil?
Alasan
pengkhususan kuburan Nabi juga menjadi tidak benar, Toh di masjid Nabawi itu
bukan hanya ada kuburan Nabi saw, tapi juga ada kuburan Abu Bakr, Umar bin
Khohthtob dan juga Imam Abu Syuja’. Tapi tidak ada satu ulama pun di dunia ini
yang menyalahkan seorang muslim shalat di masjid nabawi.
4.
Ijma’ Ummah
Para
ulama yang tegabung dalam dewan fatwa Mesir [دار
الإفتاء المصرية] Daar
Al-Ifta Al-Mishriyah menggunakan kata “Ijma’”, yang berarti bahwa ini
adalah kesepakatan seluruh umat Islam sejagad tanpa ada yang menyelisih.
Bahwa
sejak dulu sampai saat ini, semua orang muslim bersepakat bahwa shalat di
masjid Nabawi itu sah, walaupun di dalamnya ada kuburan Nabi, Abu Bakr, Umar
dan juga Imam Abu Syuja’.
Tak
ada para sahabat dan ulama tidak ada yang menentang keputusan salah satu
khalifah untuk memugar Masjid Nabawi dan memasukkan kuburan Nabi serta Imam
lainnya ke dalam masjid Nabawi. Terlepas dari mana lebih dulu, kuburan atau
masjid, nyatanya sekarang kuburan itu berada dalam masjid.
Sebagaimana
dijelaskan diatas, kenapa harus dikhususkan, toh di dalamnya bukan hanya
kuburan Nabi saw. [6][6]
5.
Hadits Pelaknatan Orang Nasrani dan Yahudi
Kemudian
perihal hadits yang menyatakan bahwa orang yahudi dan Nasrani dilaknat oleh
Allah swt karena menjadikan kuburan para Nabi dan orang-orang sholih mereka
masjid tempat beribadah, itu tidak seperti yang dijelaskan oleh para penentang shalat
di dalam masjid yang ada kuburannya itu.
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى
الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah
swt melaknat orang-orang yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi
mereka masjid (tempat bersujud)” (HR. Bukhori 417 / Muslim 825)
Imam
Al-Suyuthi menambahkan redaksi [وصالحيهم] wa Sholihim (orang-orang
sholih mereka) berdasarkan riwayat muslim. Pelarangan dalam hadits ini bukanlah
dimaksudkan sebagai pelarangan membangun masjid di atas atau sekitaran sebuah
kuburan atau makam.
-
Proses Penentuan Hukum
Para
ulama tidak menafsirkan apa yang ada dalam hadits tersebut secara tekstual
begitu saja. Perlu diketahui bahwa, seorang ulama –dan ini sudah menjadi aturan
baku- dalam menentukan sebuah hukum tidak hanya bersandar pada satu sumber
saja.
Kalau
ada sebuah ayat dan juga hadits, beliau akan mencari dengan segenap
kemampuannya semua dalil baik itu itu dari Al-Quran dan Sunnah yang memang
berkaitan dengan masalah yang sedang digarap itu. Tidak grasak grusuk langsung
memvonis hanya dengan satu hadits, itu bukan tabiat seorang ulama.
Jadi
di atas meja ulama itu berkumpul puluhan ayat serta hadits yang berhubungan
dengan masalah yang dicari. Kemudian mulailah beliau melakukan sebuah
pemindaian (instinbath)¸yang kemudian lahirnya sebuah produk ijtihad
yang baik dan sesuai koridor.
-
Ada Qorinah (Pembanding)
Hadits
diatas –setelah pencarian oleh ulama- ternyata punya [قرينة] “Qorinah”, yaitu hadits lain yang jadi
pembanding sehingga makna bukan seperti tekstual yang ada dalam hadits
tersebut.
Yang
dimaksud dalam larangan diatas bukanlah mendirikan kuburan di atas atau
sekitaran. Akan tetapi yang dilarang dalam hadits tersebut ialah menyembah
kuburan tersebut, menjadikannya tempat tujuan bersujud, dan menghadapkan diri
ke kuburan itu untuk bersembahyang.
Ini
dijelaskan dalam beberapa riwayat, termasuk riwayat Imam Malik dalam kitabnya
Muwaththo’:
عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّهِ
عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari
Atho’ bin Yasar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Allahumma (ya Allah)
Janganlah kau jadikan kuburanku (bagai) berhala yang disembah. Allah sangat
murka kepada kaum yang menjadikan kuburan mereka tempat bersujud (masjid)”[7][7]
Jadi
memang [اشْتَدَّ غَضَبُ اللَّه] kemurkaan Allah itu muncul karena
adanya penyembahan kepada selain Allah swt, karena itu Rasul saw berdoa agar
kaumnya (umat Islam) tidak menjadikan kuburannya sebagai sesembahan [اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا] yang kemudian mengbuahkan kemurkaan
dan kelaknatan sebagaimana kaum-kaum sebelumnya yang dilaknat karena menyembah
kuburan itu.
Imam
Al-Sanadi dalam hasyiyah-nya mengatakan perihal hadits ini:
وَمرَاده بذلك أَن
يحذر أمته أَن يصنعوا بقبره مَا صنع الْيَهُود وَالنَّصَارَى بقبور أَنْبِيَائهمْ
من اتخاذهم تِلْكَ الْقُبُور مَسَاجِد
“yang
dimaksud ialah Nabi saw mengecam umatnya memperlakukan kuburan sebagaimana
orang yahudi dan nasrani memperlakkan kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat
sujud”[8][8]
وَمُجَرَّد
اتِّخَاذ مَسْجِد فِي جوَار صَالح تبركا غير مَمْنُوع
“dan hanya mendirikan bangunan di
samping kuburannya orang sholih guna meraih keberkahan itu tidak dilarang”[9][9]
Karena
sejatinya redaksi kata [مساجد] itu jama’ (plural) dari [مسجد], yaitu ism Makan (kata tempat)
dari Fi’il (kata Kerja) [سجد] sajada, yang berarti itu bersujud.
Jadi memang yang dimaksud itu bersujud, yaitu menyembah kuburan. Bukan
mendirikan masjid di atas atau sekitaran makam tersebut.
Imam
Al-Baidhowi sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Zarqoni dalam kitabnya yang
menjadi penjelas kitab Muwaththo’ Imam Malik, mengatakan:
لَمَّا كَانَتِ الْيَهُودُ
يَسْجُدُونَ لِقُبُورِ الْأَنْبِيَاءِ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِمْ وَيَجْعَلُونَهَا
قِبْلَةً وَيَتَوَجَّهُونَ فِي الصَّلَاةِ نَحْوَهَا فَاتَّخَذُوهَا أَوْثَانًا
لَعَنَهُمُ اللَّهُ، وَمَنَعَ الْمُسْلِمِينَ عَنْ مِثْلِ ذَلِكَ وَنَهَاهُمْ عَنْهُ،
أَمَّا مَنِ اتَّخَذَ مَسْجِدًا بِجِوَارِ صَالِحٍ أَوْ صَلَّى فِي مَقْبَرَتِهِ
وَقَصَدَ بِهِ الِاسْتِظْهَارَ بِرُوحِهِ وَوُصُولَ أَثَرٍ مِنْ آثَارِ
عِبَادَتِهِ إِلَيْهِ لَا التَّعْظِيمَ لَهُ وَالتَّوَجُّهَ فَلَا حَرَجَ
عَلَيْهِ، أَلَا تَرَى أَنَّ مَدْفَنَ إِسْمَاعِيلَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ
عِنْدَ الْحَطِيمِ، ثُمَّ إِنَّ ذَلِكَ الْمَسْجِدَ أَفْضَلُ مَكَانٍ يَتَحَرَّى
الْمُصَلِّي بِصَلَاتِهِ.
“ketika
orang Nasrani dan Yahudi menyembah kuburan nabi-nabi mereka sebagai pengagungan
kedudukan mereka, dan menjadikan kuburan mereka sebagai kiblat dalam shalatnya,
dan menjadikan kuburan itu sesembahan, Allah melaknat mereka. Dan melarang umat
islam untuk berlaku seperti itu (org Yahudi dan Nasrani)
Sedangkan
membangun masjid di samping kuburan orang sholih, atau shalat di sekitar
pemakamannya, bermaksud menimbulkan ruh spriritualnya dan mencapai (mengikuti)
atsar ibadahnya, bukan untuk mengagungkannya dan juga tidak menjadikannya
kiblat dalam shalat (menyembahnya) maka itu tidak mengapa”[10][10]
Dan
kesyirikan yang model seperti ini yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani.
Sebagaimana dikuatkan oleh firman Allah swt:
اوُذَخَّتا
ِهَّللا ِنوُد ْنِم اًباَبْرَأ ْمُهَناَبْهُرَو ْمُهَراَبْحَأ
اًهَلِإ اوُدُبْعَيِل اَّلِإ اوُرِمُأ اَمَو َمَيْرَم َنْبا َحيِسَمْلاَو
َنوُكِرْشُي اَّمَع ُهَناَحْبُس َوُه اَّلِإ َهَلِإ اَل اًدِحاَو
“Mereka
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain
Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal
mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (Al-Taubah
31)
-
Target Poin Hadits
Dan
juga harus diperhatikan, bahwa yang dituju oleh Nabi dengan haditsnya itu ialah
praktek orang Yahudi dan Nasrani, bukan prekateknya Muslim. Maka harus dilihat
bagaimana mereka memperlakukan kuburan-kuburan Nabu mereka?
Lalu
apakah tempat ibadah mereka sama seperti tempat ibadahnya muslim (masjid)?
Tentu berbeda. Maka harus kembali dilihat bagaimana pekerjaan mereka, bukan
bagaimana pekerjaan muslim.
Karena
memang Nabi saw mengisyaratkan untuk itu, yaitu prilaku buruk orang Yahudi dan
Nasrani yang menyembah kuburan, dan bersembahyang menghadap kuburan tersebut
sebagai pengagungan. Apakah muslim melakukan itu?
Muslim
tetap beribadah kepada Allah, berdoanya kepada Allah, shalatnya menghadap
kiblat, bukan ke kuburan dan juga orang muslim tidak ada yang bersujud untuk
kuburan. Mereka bersujud untuk Allah swt dengan memperhatikan segala rukun dan
ketentuannya.
Dan
memang tidak ada sinagog orang Nasrani serta gerejanya orang Yahudi itu tidak
seperti masjid-masjidnya orang Islam. Jadi memang berbeda, harus ditinjau benar
apa yang memang dilakukan oleh mereka. Mereka menjadikan kuburan para nabi
mereka dan orang-ornag sholih mereka sesembahan, dan bukan menjadikannya
sinagog atau gereja, sebagaimana dijelaskan diatas.
Yang
terjadi kebanyakan di Indonesia bahwa memang kuburan itu tidak berada di
tengah-tengah masjid. Tidak ada yang sepeerti itu. Yang ada hanyalah kuburan
orang-orang sholih yang berada di sekitaran masjid, entah itu di taman belakang
atau taman depan masjid, walaupun memang masih dalam area masjid. Lalu apa yang
menjadi masalah?
Jadi memang shalat di masjid yang di
sekitarnya ada kuburan itu tidak mengapa, karena yang sepakat dilarang dan
diharamkan itu ialah menyembah kuburan atau menjadikannya kiblat shalat
sebagaimana orang Yahudi dan Nasrani melakukan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar