Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60 @andibastoni
Karena
tak ada teks zhahir tentang alkohol, baik dalam al-Qur’an maupun hadits, maka
untuk menjelaskan hukumnya kita harus merujuk ke pendapat ulama tentang hukum
khamar yang jelas-jelas ada disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits.
Pertanyaannya:
1. Apakah
khamar termasuk najis atau tidak?
2. Samakah
khamar dan alkohol?
Setelah memaparkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama Hijaz dan Iraq
tentang apakah yang diharamkan pada khamar itu zatnya atau karena ia
memabukkan,
Imam Ibnu Rusyd menyebutkan:
1. Secara ijma’ dan atas dasar keadaan syara’ sudah ada
ketetapan bahwa yang dimaksud khamar adalah pada jenisnya bukan pada kadarnya (banyak atau sedikitnya). Maka, segala sesuatu yang di dalamnya
terdapat hal-hal yang menutupi akal dinamakan khamar.
2. Para ulama sepakat bahwa memeras anggur itu
halal selama belum
menjadi “keras” sehingga mengandung khamar sebagaimana
sabda Rasulullah saw: “Maka peraslah anggur, dan segala yang memabukkan itu
haram.” Begitu juga hadits bahwa Nabi saw memeras anggur menuangkannya pada
hari kedua dan ketiga. (Bidayatul Mujtahid juz 1 hal 347).
Khamar
itu Haram Karena Memabukkan
Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqhus Sunah’ mengatakan, “Segala sesuatu yang
memabukkan termasuk khamar dan tidak menjadi soal tentang apa asalnya. Oleh
karena itu, jenis minuman apa pun sejauh memabukkan adalah khamar menurut
pengertian syari’at dan hukum-hukum yang berlaku terhadap khamar adalah juga
berlaku atas minuman-minuman tersebut, baik ia terbuat dari anggur, madu,
gandum dan biji-bijan lain maupun dari jenis-jenis lain.”
Jadi,
haramnya khamar itu sudah jelas, baik sedikit maupun banyak. Di antara dalil-dalilnya Firman Allah SWTR:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi
itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah
kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al Maidah : 90 – 91).
Hadits Abi Aun ats-Tsaqafiy dari Abdullah bin Saddad dari
Ibnu Abbas dari Nabi saw bersabda, ”Khamar itu diharamkan karena bendanya.”
(HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah saw : “Setiap yang
memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (HR. Muslim).
Ijma’ dan atas dasar keadaan syara’ sudah ada ketetapan
bahwa yang dimaksud khamar adalah pada jenisnya bukan pada kadar (banyak atau
sedikitnya). Maka segala sesuatu yang didalamnya terdapat hal-hal yang menutupi
akal dinamakan khamar. (Bidayatul Mujtahid juz 1 hal 347)
Khamar,
Najiskah?
Lalu,
bagaimana hukumnya jika khamar tidak dimakan? Apakah khamar termasuk najis atau
tidak?
Ulama yang empat mengatakan bahwa
khamar itu najis sebagaimana firman Allah SWT, “…adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (QS. Al Maidah : 90)
Sementara para ulama lain, seperti;
Imam Rabi’ah,
al-Laits bin Sa’ad
dan al Mazini mengatakan bahwa khamar itu suci. Mereka berdalil dengan apa yang
terjadi ketika ayat pengharamannya itu diturunkan maka khamar-khamar itu
ditumpahkannya di jalan-jalan Madinah.
Seandainya khamar itu najis maka
sahabat tidak akan melakukan hal itu dan Rasulullah saw pun pasti akan melarang
mereka sebagaimana beliau saw melarang sahabat buang hajat di jalan-jalan. Ini
menjadi dalil sucinya khamar.
Mereka menjawab jumhur dengan
mengatakan bahwa najis yang dimaksud dalam ayat adalah najis hukmiyah seperti najisnya
orang-orang musyrik (QS at-Taubah: 28), dan tidak diragukan lagi bahwa setiap
yang diharamkan adalah najis hukmiyah. Khamar bukanlah najis bendanya akan
tetapi hukumnya.
Jumhur ulama kemudian menjawab,
”Sesungguhnya firman Allah, ’rijs’ menunjukan bahwa makna rijs dari sisi bahasa
adalah najis. Kemudian seandainya kita berpegang teguh untuk tidak menghukum
dengan suatu hukum kecuali jika kita dapatkan satu dalil yang manshush (ada
nashnya) maka syariah ini akan terhambat, karena nash dalam hal ini tidaklah
banyak namun sebagaimana penjelasan kami diawal bahwa rijs itu adalah najis
hissiyah (fisik) dan maknawiyah sebagaimana disebutkan terhadap orang-orang
musyrik…
Pendapat
jumhur ini
disangkal dengan
mengatakan bahwa asal segala sesuatu boleh dan suci selama tidak ada dalil yang
menentangnya serta tidak ada dalil yang menajiskannya.
Intinya menurut jumhur ulama bahwa
khamar adalah najis maka alkohol pun najis. Sedangkan menurut selain jumhur ulama
khamar adalah suci
dengan demikian khamar pun suci.
Di antara ulama belakangan yang
mengatakan akan kesucian khamar adalah asy Syaukani, ash Shon’ani, Shiddiq
Hasan Khan dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha yang berpendapat bahwa alkohol dan
khamar tidaklah najis, demikian pula parfum yang dicampurkan dengannya karena
tidak ada dalil shohih yang menjadikannya najis. Dan juga rijs didalam khamar
adalah rijs hukmi yang berarti haram.
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan bahwa
terjadi perbedaan pendapat dalam najisnya khamar di kalangan ulama kaum muslimin. Imam
Abu Hanifah menganggap minuman dari
anggur yang di dalamnya
terdapat alkohol secara pasti adalah suci. Alkohol bukanlah khamar.
Selain itu, zat yang dapat
digolongkan ke dalam alkohol banyak digunakan untuk obat-obatan, makanan,
parfum ataupun benda-benda di sekitar kita. Namun dari jenis alkohol yang
termasuk dalam kategori berbahaya dan memabukkan adalah ethanol.
Jadi,
bisa disimpulkan bahwa khamar
tidaklah identik dengan alkohol dan sebaliknya tidak setiap alkohol adalah khamar.
Khamar adalah
segala sesuatu yang mengandung ethanol atau zat lain yang memabukkan dari
apapun ia dibuat.
Dengan demikian setiap makanan atau
minuman yang mengandung ethanol disebut khamar dan haram untuk dikonsumsi.
Pengharaman tidak dilihat dari aspek memabukkan atau tidak namun pada zatnya
itu sendiri. Karena jika berpatokan dengan alasan memabukkan maka akan ada yang
berpendapat selama khamar itu tidak memabukkan seseorang maka diperbolehkan
padahal ini tidak betul. Namun jika seseorang berpatokan pada zat khamarnya;
berapapun banyaknya kandungan zat (yang memabukkan) itu dalam suatu makanan/minuman
maka ia haram dikonsumsi.
Alhkohol
untuk Parfum dan Makanan
Adapun alkohol untuk bahan pensteril
makanan atau roti maka selama ia bukan dari bahan ethanol yang berbahaya dan
memabukkan maka halal digunakan. Sedangkan
hukum penggunaan alkohol untuk parfum
atau minyak wangi terjadi perbedaan pendapat di kalangan
ulama yang disebabkan apakah
ia termasuk benda najis
atau suci.
Selama masih menjadi perselisihan, maka
kita harus memperhatikan konteksnya. Dalam konteks Indonesia atau Negara-negara
yang mayoritas Muslim serta tersedianya alternatif parfum tidak beralkohol,
maka memilih yang tidak beralkohol itu lebih baik. Kondisi ini tentu berbeda
dengan beberapa Negara Barat dan Eropa yang hampir seluruhnya menggunakan
alkohol, tentu ada kemudahan.
Selain
itu, komposisi alkohol pada parfum relatif sedikit dan mudah hilang ketika
melekat pada pakaian atau tubuh. Dengan demikian, tidak bisa dikatagorikan
memabukkan.
Jadi, tidak ada satupun dalil dari Alkitab
dan sunnah yang mengharamkan alkohol, tapi yang ada hanya pengharam khamar,
yaitu semua segala sesuatu yang memabukkan. Jadi khamar diharamkan karena dia
memabukkan, bukan karena mengandung alkohol. Karenanya para ulama mengharamkan
ganja dan sejenisnya dengan dalil
bahwa termasuk khamar meskipun di dalamnya tidak
mengandung alkohol.
Alkohol
untuk Obat-obatan
Adapun alkohol
yang digunakan untuk obat-obatan, jika dipakai untuk obat luar, maka
hukumnya boleh selama membawa manfaat bagi yang berobat. Ini menurut pendapat sebagian ulama yang
mengatakan bahwa khamar
itu tidak najis, apalagi alkohol,
jelas tidak najis
juga.
Adapun jika dipakai untuk obat dalam
dan dikonsumsi (dimakan atau diminum), maka hukumnya dirinci terlebih dahulu:
Jika obat tersebut diminum
dalam jumlah banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram mengonsumsi obat yang
mengandung alkohol. Tetapi jika tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Walau demikian dianjurkan setiap
muslim untuk menghindari obat-obatan yang beralkohol, karena berpengaruh buruk
untuk kesehatan. Apalagi
fungsi alkohol pada obat bukan untuk menyembuhkan tapi untuk melarutkan atau
pengawet.
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin sendiri menjelaskan, “Adapun beberapa obat yang menggunakan
campuran alkohol, maka itu tidaklah haram selama campuran tersebut sedikit dan
tidak nampak memberikan pengaruh.” (Majmu’
Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 11/195, Asy Syamilah).
Halal
tapi Sebaiknya Dihindari
Obat yang mengandung alkohol ini
dibolehkan karena adanya istihlak.
Yang dimaksud dengan istihlak
adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan
halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan
keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya. Ini
seperti benda najis
atau haram bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur
tak menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga mengatakan, “Begitu
pula khamar apabila bercampur dengan zat lain
yang halal dan tidak memberikan pengaruh apa-apa, maka campuran yang ada akan
tetap halal.” (Majmu’
Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin,
11/195).
Di samping itu pula selain karena
alasan istihlak
sebagaimana dijelaskan di atas, obat yang mengandung alkohol diperbolehkan
karena illah
(sebab) seperti yang ada pada khamr tidak ada lagi, yaitu memabukkan. Padahal hukum
berputar sesuai dengan ada tidaknya illah
(sebab).
Namun
untuk kehati-hatian, sebaiknya menghindari obat-obatan beralkohol. Konsumsi alkohol berlebih akan
menimbulkan efek bagi kesehatan tubuh, yaitu mematikan sel-sel baru yang
terbentuk dalam tubuh. Selain itu juga efek sirosis dalam hati, di mana jika
dalam tubuh manusia terdapat virus maka virus tersebut akan bereaksi dan menimbulkan
penyakit hati (kuning).
Sebagaimana pula hasil rapat Komisi
Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang
mengandung alkohol minimal 1% (satu persen). Sehingga
untuk kehati-hatian, disarankan
untuk meninggalkan obat beralkohol jika kandungan alkoholnya di atas 1%.
Sebagai solusi, disarankan menggunakan obat herbal, di
mana diketahui tidak membutuhkan alkohol dalam pelarutan zat-zat aktif, tapi
dapat menggunakan air sebagai bahan pelarut. Obat batuk herbal yang berasal
dari bahan alami ini pada dasarnya tidak berbahaya, dan dari segi kehalalannya jelas
dapat dibuktikan.
Inilah solusi yang lebih aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar