Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar
Bogor) 0817-0-1945-60
Dalam kajian buku-buku fiqih,
istilah utang biasanya menggunakan kata: al-qardh, ad-dain, atau al-gharm.
Ulama sepakat bahwa utang dilihat dari sisi si piutang atau yang memberikan
utang itu hukumnya sunnah. Dengan kata lain bahwa piutang itu merupakan sebuah
qurbah (ibadah) yang pengerjaannya diganjar pahala.
Kenapa
dinilai ibadah? Karena memberikan utang itu bagian dari membebaskan orang lain
dari kesulitan. Karena bagaimanapun, orang yang datang meminta utang itu–biasanya–memang
orang yang sedang kesulitan finansial yang tidak punya jalan keluar lagi
kecuali dengan berutang.
Dalam
syariah, muslim yang mampu membuat kesulitan orang lain hilang atau minimal
meringankan beban orang lain, pastilah orang seperti ini mendapat pahala. Nabi
saw menengaskan dalam haditsnya yang artinya:
“Siapa yang membebaskan kesusahan
seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, Allah akan membebaskannya dari
kesusahan di akhirat. Siapa yang memudahkan orang lain yang sedang dalam
kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi
(aib) muslim lainnya, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya
Allah bersama hamba-Nya selagi hamban-Nya menolong hambaNya yang lain,” (HR
Muslim).
Dari
hadits ini, dan juga hadits-hadits lain yang mengandung makna serupa, para
ulama menyimpulkan bahwa piutang, atau memberikan utang dengan maksud menolong
orang lain yang sedang kesulitan tergolong dalam ibadah yang mustahabb
(dicintai).
Antara Sedekah dan Utang
Bahkan
sebagian besar ulama mengategorikan piutang sebagai ibadah yang statusnya lebih
baik daripada sedekah. Dikatakan lebih baik, Karena memang konteks dan dampak
yang muncul dari keduanya berbeda.
Piutang
itu selalu muncul dalam konteks menolong orang yang kesulitan. Simpelnya bahwa
utang itu memang diperuntukkan bagi mereka yang sedang dalam kesulitan. Jadi
memberikan utang seperti memberikan air kepada orang yang dalam kehausan. Itu
tentu jauh lebih berkesan dan berdampak bagi si pengutang.
Berbeda
dengan sedekah yang pemberiannya kadang tidak melihat apakah yang diberi itu
dalam kesulitan atau tidak. Karena memang sedang tidak butuh dan tidak dalam
situasi sulit, ketika diberikan, orang yang mendapatkannya itu biasa saja.
Karena memang tidak dalam keadaan yang sulit.
Ibaratnya,
seperti orang yang sudah kenyang dan orang yang sedang kelaparan. Orang lapar
akan sangat senang sekali jika tiba-tiba ada yang membantu memberikannya makan.
Akan tetapi orang yang sudah kenyang, sudah tidak punya nafsu lagi untuk makan,
jadi kalau diberi makanan, cenderung menolak. Kalaupun menerima, itu disimpan
untuk waktu kemudian. Senangnya pun antara kedua orang ini berbeda.
Bisa Berubah Jadi Wajib dan Haram
Dalam
Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (13/113), ulama menerangkan bahwa hukum
utang itu bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Ia bisa menjadi wajib
dari sisi piutang jika memang pengutang itu dalam keadaan yang sangat mendesak
dan butuh pertolongan, yang sekiranya jika tidak diberi akan menyebabkan
kebahayaan yang besar. Ketika itu si piutang dalam keadaan yang lapang dan
berlebih uang, maka yang seperti ini menjadi wajib.
Akan
tetapi jika memang pengutang tidak dalam keadaan yang sangat sulit, seperti
orang yang berutang bukan karena sulit, tapi kerana memang ingin memajukan
usaha atau sejenisnya, tentu golongan ini tidak sama seperti orang yang
kesulitan.
Kalau
dilihat dari sisi si pengutang, memang berutang itu hukumnya mubah, boleh-boleh
saja. Tapi hukum mubahnya bisa berubah haram. Itu jika dalam diri si pengutang,
tidak ada niatan yang kuat untuk mengembalikan apa yang telah ia pinjam.
Imam
Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaj,
mengatakan: “Seorang pengutang, kalau ia mengetahu bahwa ia berutang itu
tujuannya untuk kebaikannya (menutupi kesulitan) namun dalam hati niatnya
berbeda, maka dalam hal ini diharamkan berutang.”[1]
Bagi
si piutang juga, jika memang ia mengetahui kalau si pengutang ini tidak akan
mampu mengembalikan, maka ulama juga melarangnya untuk memberikan utang kepada
orang ini. Bahkan beberapa ulama mengatakan, kalau pun itu hanya dugaan dan
kira-kira (menduga bahwa si pengutang tidak mampu untuk mengembalikan), maka
itu juga menajdi haram untuk memberikannya utang.[2]
Jadi,
di satu sisi ulama sangat memuji prilaku baik orang untuk memberikan utang
dalam rangka menolong sesama. Tapi itu tidak secara mutlak, harus dilihat dulu
siapa yang diberikan. Karena memang utang itu juga aslinya kesulitan, maksudnya
jangan sampai kita memberikan kesulitan kepada orang lain yang akhirnya ia
terus kesulitan karena tidak mampu mengembalikan.
Nabi saw Memohon Perlindungan Dari Utang
Seperti
disinggung sebelumnya, bahwa di satu sisi, memberikan utang adalah sesuatu yang
mulia karena memang menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan. Tapi di
sisi lain, ulama sangat mewanti-wanti sekali agar kita tidak terjerumus dalam
utang ini.
Ulama
sangat menjaga sekali agar berutang itu tidak menjadi kebiasaan yang selalu
ditempuh. Akan tetapi agama ini menggiring umatnya untuk selalu menjauhi
berutang. Karena bagaimanapun utang adalah sebuah kesulitan tersendiri.
Dikatakan
oleh salah seorang penyair bahwa utang itu adalah: “Mimpi buruk di malam hari,
dan kegundahan di siang hari yang terus menghantui.”
Karena
itu sejak jauh-jauh hari, Nabi saw mengajarkan kita untuk selalu menghindari
utang, sebagaimana doa yang beliau saw ajarkan:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu
dari kesedihan dan kegundahan, dan aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan
kemalasan, dan aku berlindung kepadaMu dari pelit dan sifat pecundang, dan aku
berlindung kepadaMu dari utang dan kedzaliman orang lain” (HR Al-Bukhori)
Selain
doa di atas, banyak sekali dalil-dalil syariah yang memang menunjukkan bahwa
agama ini sangat mewanti-wanti sekali agar umatnya tidak gampang untuk
berutang. Saking besarnya perkara utang ini, Rasul saw ketika ada sahabat yang
bertanya tentang jihadnya, apakah itu menjadi media untuk pengampunan segala
dosanya. Nabi dengan tegas menjawab iya, tapi jika kau bukanlah seorang yang
punya utang.
Dalam
haditsnya yang lain, beliau saw mengatakan:
“Seorang Syahid, apapun dosanya
akan diampuni, kecuali utang” (HR Muslim)
Segera Lunasi dan Berprilaku Sederhana
Jika
memang sudah berutang, yang harus dilakuka ialah segera melunasinya. Kalau
memang belum punya uang untuk menggantinya, minimal berazam yang kuat sekali
untuk tidak menunda-nunda pelunasan utang tersebut.
Khawatir
nantinya kita meninggal dan masing punya sangkutan utang kepada orang lain.
Kita lihat hadits di atas, kalau syahid saja tidak diampuni dosa utangnya,
apalagi kita yang bukan syahid?
Khawatir
juga akhirnya malah makan harta haram dan terbawa sampai mati jika si piutang
tidak meridhainya:
“dan janganlah kalian memakan
harta dengan bathil” (Al-Baqarah 188)
Maka,
ketika memang sudah berutang, tanamkan dalam diri untuk mengembalikannya
segera, tidak menunda-nunda. Dan jangan sekali terbesit dalam diri untuk tidak
melunasinya apalagi berdoa agar si pemberi utang lupa kalau ia telah memberi
pinjaman sehingga tidak lagi ditagih.
“tidaklah
seseorang berutang dan Allah mengetahui bahwa ia ingin melunasinya, Allah akan
melunasinya untuknya (menolongnya dalam pelunasan) di dunia” (HR An-Nasa’i)
“siapa
yang mengambil (meminjam) harta orang lain untuk dikembalikannya (melunasinya),
Allah akan mengembalikannya untuknya (menolongnya dalam melunasi). Dan siapa
yang mengambil harta orang lain untuk dirusaknya, niscaya Allah akan merusak
orang tersebut” (HR Al-BUkhori)
Maka,
solusi yang paling tepat ialah hidup sesederhana mungkin tidak terlalu
berlebihan dalam segala hal, karena sesuatu yang berlebihan dan dipaksakan
pasti buruk dampaknya. Kalau memang masih bisa berusaha tanpa harus berutang
tentu itu jauh lebih baik.
Jadi
bedakan antara kebutuhan hidup dan gaya hidup. Jangan sampai gaya hidup
melebihi kebutuhan hidup dalam pembiayaannya.
Bersabar Jika Jadi Piutang
Bagi
pihak piutang yang sudah memberikan pinjaman, syariah ini mengajarkan untuk ia
bersabar jika memang si pengutang belum punya sesuatu untuk melunasi utangnya.
Tapi tetap ia punya kewajiban untuk mengingat pengutang tersebut agar segera
melunasi, bukan hanya diam saja.
Tapi
jika memang di pengutang itu benar-benar telah berusaha namun masih juga belum
mendapatkan hasil untuk melunasi, baiknya pihak piutang bersabar. Toh sejak
awal juga, ia memeberi pinjaman karena memang ingin membantu, sangat layak niat
yang baik itu juga dibarengi dengan perangai yang baik dalam implementasinya.
“dan
jika mereka (pengutang) dalam keadaan sulit, maka tunggulah sampai mereka
keluar dari keadaan sulit itu. Dan jika kalian menyedekahkannya tentu ia lebih
baik untuk kalian” (Al-Baqarah 280)
Perlu
diketahui juga bahwa orang yang memberi utangm, lalu bersabar menunggu orang
yang diberi utang itu untuk melunasinya walaupun lama, asalnya dengan ikhlas
dan niatan membantu, pastinya itu tidak akan sia-sia di mata Allah swt.
Sabarnya ia dalammenunggu itu punya ganjaran khusus dari Allah swt:
“Siapa
yang menangguhkan (utang) orang yang sedang kesusahan, maka baginya setiap satu
hari penangguhan itu terhitung sedekah” (HR Imam Ahmad)
“Siapa
yang menangguhkan (utang) orang yang kesulitan, atau bahkan menggugurkannya,
Allah saw akan menaunginya nanti di bawah naungannNya” (HR Muslim)
“siapa
yang meringankan kesulitan pengutangnya (dengan tangguhan) atau menghapusnya,
ia akan berada di bawah naungan ‘arsy di hari kiamat nanti” (HR Imam Ahmad)
Ulama mengatakan terkait hadist
ini, bahwa Allah swt akan menjaga orang yang memberikan kemudahan kepada
pengutang, dari panasnya dan sulitnya keadaan hari kiamat sebagai imbalan
karena mereka telah menjaga para pengutang dari panas dan susahnya keadaan yang
menimpanya dalam melunasi utang tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar