Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama, kita tahu bahwa riba termasuk dosa besar. Saking dahsyatnya riba itu, sampai disebutkan bahwa dosa menjalankan riba itu setara dengan berzina ibu kandung sendiri.
Berzina
saja sudah berdosa, apalagi berzinanya dengan ibu kandung sendiri,
tentu dosanya berlipat-lipat. Sebab ibu kandung adalah wanita mahram
yang haram untuk dinikahi. Kalau pun tidak dengan jalan zina tetapi
dengan pernikahan pun juga tetap berdosa.
Hadits yang menegaskan hal itu berbunyi:
Dari
Abdullah bin Masud dari Nabi saw bersabda,"Riba itu terdiri dari 73
pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi
ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Yang
menarik dari hadits di atas adalah ketika disebutkan bahwa dari 73
pintu riba, yang paling ringan adalah seperti berzina dengan ibu kandung
sendiri. Itu yang paling ringan, lalu bagaimana dengan yang paling
berat? Tentu lebih parah lagi.
Bahkan
masih ada lagi hadits yang agak mirip, yaitu haramnya dosa riba lainnya
adalah setara dengan 36 perempuan pezina, sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini :
Dari
Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,"Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam
keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad).
Karena
itu, riba termasuk satu dari tujuh dosa besar yang telah ditentukan
Allah SWT. Pelakunya diperangi Allah di dalam Al-Quran, bahkan menjadi
satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam Al-Quran
adalah mereka yang menjalankan riba.
Pelakunya
juga dilaknat oleh Rasulullah SAW. Mereka yang menghalalkan riba
terancam dengan kekafiran, tetapi yang meyakini keharamannya namun
sengaja tanpa tekanan menjalankanya termasuk orang fasik.
Nah, agar kita bisa selamat dari transaksi riba, ada dua langkah strategis.
A. Kenali Riba
Langkah
pertama dan paling penting adalah ilmu pengetahuan tentang riba dengan
bentuk dan wujudnya. Sebab orang yang tidak tahu prinsip riba, sangat
boleh jadi dia akan terperosok tanpa sadar ke dalam riba.
Barangkali
kita merasa aman-aman saja, seolah-olah akad transaksi muamalat yang
digunakan sudah halal. Sayangnya, karena ilmu dan pemahaman kita tentang
riba sangat terbatas, ternyata justru yang kita jalankan malah
akad-akad ribawi yang diharamkan Allah SWT.
Kenyataannya, alangkah banyaknya umat Islam yang terperosok ke jurang riba, semata-mata karena keawaman mereka.
Betapa
sakit hati kita nanti di akhirat, sudah merasa pede masuk surga,
ternyata malah masuk neraka. Rupanya, selama di dunia kita lupa tidak
pernah belajar ilmu syariah, khususnya fiqih muamalah. Sehingga tanpa
sadar kita malah sudah menjadi aktifis akad ribawi yang paling depan dan
paling rajin.
B. Pelajari Akad-akad Syar'i Pengganti Riba
Kalau
kita punya pemahaman dan ilmu yang luas tentang fiqih muamalah,
sebenarnya ada banyak sekali akad yang halal yang bisa dijalankan tanpa
harus terkena resiko riba.
Sayangnya,
karena agak jarang kita mendalami ilmu fiqih muamalat, akhirnya kita
sering terburu-buru untuk berdalih dengan kedaruratan, yang pada
akhirnya tetap jatuh ke riba juga.
Jadi
intinya kita harus mengganti akad-akad yang mengandung riba dengan
akad-akad yang dibenarkan di dalam syariah Islam. Namun tetap punya
tujuan yang sesuai dengan kebutuhan aslinya.
Di antara beberapa alternatif itu adalah:
1. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Akad Kredit
Dalam bahasa Arab, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan istilah bai' bit taqshith atau bai' bits-tsaman 'ajil.
Gambaran
umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu
barang dengan harga yang sudah dipastikan nilainya, dimana barang itu
diserahkan kepada pembeli, namun uang pembayarannya dibayarkan dengan
cara cicilan sampai masa waktu yang telah ditetapkan.
Jual-beli secara kredit yang memenuhi segala ketentuan yang disyaratkan, hukumnya dibolehkan dalam syariat Islam.
Contoh
kredit yang halal misalnya dalam pembelian sepeda motor. Budi
membutuhkan sepeda motor. Di showroom harganya dibanderol 12 juta
rupiah. Karena Budi tidak punya uang tunai 12 juta rupiah, maka Budi
meminta kepada pihak Bank untuk membelikan untuknya sepeda motor itu.
Sepeda motor itu dibeli oleh Bank dengan harga 12 juta rupiah tunai dari
showroom, kemudian Bank menjualnya kepada Budi dengan harga lebih
tinggi, yaitu 18 juta rupiah.
Kesepakatannya
adalah bahwa Budi harus membayar uang muka sebesar 3 juta rupiah, dan
sisanya yang 15 juta dibayar selama 15 kali tiap bulan sebesar 1 juta
rupiah.
Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena harganya tetap (fix), tidak ada bunga atas hutang.
2. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Rahn
Istilah
Rahn sering diterjemahkan secara bebas menjadi gadai. Namun tentu saja
tidak bisa disamakan 100% dengan istilah gadai yang kita kenal sekarang,
mengingat gadai yang kita kenal hari ini justru masih merupakan akad
yang diharamkan.
Dasar hukumnyaadalah hadits Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
إشـتـريمـنيـهـوديطـعـامـاإليأجـلورهـنـهدرعـه
Artinya, “Nabi saw membeli makanan dan menggadaikan baju besinya selama waktu tertentu.” (HR Bukhari).
Di
masa Rasulullah praktek gadai pernah dilakukan. Dahulu ada orang
menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi
mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya,
Rasullulah mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang
digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan.
Nah,
biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para
pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk
keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
Secara
teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri
seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau
merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
Praktik
gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang
telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan
lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala
anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para
pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
Misalnya
seorang produse film butuh biaya untuk memproduksi filmnya, maka bisa
saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh
juta rupiah.
Setelah
hasil panennya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia
menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar,
dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.
3. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Kerjasama Bagi Hasil
Sebenarnya
beda antara sistem bagi hasil yang halal dengan pembungaan uang yang
diharamkan agak tipis bedanya. Tapi di mata Allah SWT, perbedaan itu
sangat besar. Sebab yang satu melahirkan rahmat dan perlindungan
dari-Nya, sedangkan yang satunya lagi melahirkan laknat dan murka-Nya.
Setipis apakah perbedaan di antara keduanya?
Bedanya
hanya pada uang yang dijadikan sandaran dalam bagi hasil. Kalau yang
dijanjikan adalah memberikan 2,5% per bulan dari jumlah uang yang
diinvestasikan, itu namanya pembungaan uang, alias riba. Hukumnya haram
dan menurunkan murka.
Karena
pada hakikatnya yang terjadi memang sistem pembungaan uang. Baik
bersifat merugikan atau tidak merugikan. Buat kita, yang penting bukan
merugikan atau menguntungkan, tetapi yang penting apakah prinsip riba
terlaksana di dalam perjanjian itu.
Tapi
kalau janjinya memberi 2,5% perbulan dari hasil/keuntungan, bukan dari
jumlah uang yang diinvestasikan, maka itu adalah bagi hasil yang halal.
Bahkan akan mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.
Beda
tipis memang, bahkan banyak kalangan awam yang entah karena jahil atau
pura-pura jahil, menganggap bahwa itu hanya akal-akalan semata, tapi
keduanya akan berujung kepada dua muara yang berbeda.
Yang
satu akan membawa pelakunya ke surga, yaitu yang dengan sistem bagi
hasil sesuai syariah. Sedangkan yang satunya lagi, akan membaca
pelakunya ke neraka.
Meski
terkadang disebut sebagai bagi hasil, sayangnya secara prinsip tidak
sesuai dengan cara syariah. Lebih tetap dikatakan sebagai riba, karena
memang riba. Tidak mungkin hukumnya berubah, meski disebut dengan
istilah-istilah yang menipu.
Kita
harus teliti dan paham betul sistem bagi hasil yang sesuai syariah.
Jangan asal menamakan bagi hasil, padahal prinsipnya justru riba yang
haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar