Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
HP: 0817-1945-60
Imam
Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab:
إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ
رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ
Dinamakan
Sya’ban, karena saat itu dia menampakkan (menonjol) di antara dua bulan,
Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin.
(Lisanul ‘Arab, 1/501)
Dia
juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At-Tafriq),
karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika
bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.
Layaknya tamu agung yang membawa beragam kebaikan, begitu
seharusnya kita menyambut Ramadhan. Di antara bentuk penyambutan itu adalah
membiasakan diri melaksanakan ibadah utama di bulan Ramadhan. Yaitu,
puasa.
Puasa merupakan ibadah paling penting bagi Ramadhan.
Karenanya, ketika berada di gerbangnya, ibadah ini menjadi paling utama dan
sering dilakukan oleh Rasulullah saw.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى
نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ
إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ
“Rasulullah saw berpuasa sampai kami katakan beliau tidak
pernah berbuka. Beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah
berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan
penuh kecuali Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak
daripada bulan Sya’ban,” kenang Aisyah sebagaimana diriwayatkan Bukhari (No 1833) dan Muslim (No 1956).
Bahkan, dalam riwayat Muslim disebutkan, beliau saw
berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa di
bulan Sya’ban. Maksudnya, Rasulullah saw amat sering berpuasa di hari-hari
Sya’ban, tapi tidak berpuasa seluruhnya sebagaimana di bulan Ramadhan.
Ibnul Mubarak menegaskan, Nabi saw tidak pernah
menyempurnakan puasa Sya’ban tapi banyak berpuasa. Pendapat ini didukung oleh riwayat
Muslim dari Aisyah,
“Saya tidak mengetahui beliau saw puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.”
Dalam riwayat Muslim yang lain, Aisyah menceritakan,
“Saya tidak pernah melihat beliau puasa sebulan penuh sejak menetap di Madinah,
kecuali bulan Ramadhan.” Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah
Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan,” (HR Bukhari No.
1971 dan Muslim No.1157).
Ibnu Hajar menambahkan, “Puasa beliau saw pada bulan
Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak daripada puasanya di selain bulan
Sya’ban. Beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.”
Hikmah Berpuasa di Bulan
Sya’ban
Tentu bukan tanpa alasan mengapa Nabi saw memperbanyak
puasanya di bulan Sya’ban. Usamah bin Zaid pernah bertanya, “Ya Rasulullah,
saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada
seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Beliau bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ
رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ
الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan
Ramadhan. Ia merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Saya suka untuk diangkat
amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa,” (HR Nasa’i. Lihat: Shahih Targhib wat Tarhib, hlm 425).
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076),
disebutkan, “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa adalah
Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (Dishahihkan oleh
Al-Albani. Lihat: Shahih Sunan Abi Dawud, II/461).
Begitu besar keagungan bulan Sya’ban, sampai-sampai Ibnu
Rajab mengatakan, puasa Sya’ban lebih utama daripada puasa pada bulan haram
(Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijah). Ibnu Rajab menambahkan, amal
sunnah paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan. Kedudukan puasa Sya’ban
di antara puasa lain sama dengan kedudukan shalat sunnah rawatib terhadap
shalat fardhu. Karena sunnah rawatib lebih utama daripada sunnah muthlaq dalam
shalat. Demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama daripada
puasa pada bulan lainnya yang jauh dari Ramadhan.
Rasulullah saw menjelaskan, orang-orang banyak yang lalai
dengan kehadiran bulan Sya’ban. Banyak yang mengganggap, puasa Rajab lebih
utama daripada puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram. Padahal tidak
demikian. Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunnahkannya menghidupkan
waktu-waktu yang sering dilalaikan manusia. Sebagaimana sebagian orang-orang
shalih terdahulu banyak yang suka menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya
dengan shalat. Mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Pada
jeda dua waktu shalat itu, manusia suka lalai.
Menghidupkan waktu-waktu yang sering dilupakan, punya
beberapa hikmah. Di antaranya, menjadikan amalan itu tersembunyi dan tidak
diketahui orang banyak. Menyembunyikan dan merahasiakan amal sunnah lebih utama,
terlebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan Rabbnya.
Puasa mendidik kita untuk tidak riya’. Bahkan,
sebagian ulama salaf puasa bertahun-tahun tapi tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua
potong roti kemudian disedekahkan. Sementara dia sendiri tetap berpuasa.
Keluarganya mengira, dia makan dan orang-orang di pasar menyangka ia makan di
rumahnya.
Sebagian salafus shalih malah ada yang berusaha sengaja
menyembunyikan puasanya. Ibnu Mas’ud menuturkan, “Jika kalian akan berpuasa
maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang
berpuasa).” Qatadah menambahkan, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk
berminyak sampai hilang kesan bahwa ia sedang berpuasa.”
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab Rasulullah saw
sering berpuasa di bulan Sya’ban. Ada yang mengatakan, Rasulullah saw biasa
melakukan puasa pada ayyamul bidh (puasa tiga hari setiap bulan). Karena
bepergian atau hal
lainnya, sebagian terlewatkan. Maka
beliau mengumpulkannya dan mengqadhanya pada bulan Sya’ban.
Ada juga yang mengatakan, karena beberapa istri beliau
mengqadha puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban, beliau pun ikut berpuasa. Namun
ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia mengakhirkan
membayar utang puasa sampai bulan Sya’ban karena sibuk bersama Rasulullah saw.
Ada juga yang mengatakan, beliau saw berpuasa di bulan
Sya’ban karena pada bulan itu manusia sering lalai. Pendapat ini lebih kuat
karena adanya hadits Usamah menyebutkan, “Itulah bulan yang manusia lalai
darinya antara Rajab dan Ramadhan,” (HR Nasa’i. Lihat: Shahihut Targhib wat
Tarhib hlm. 425).
Bulan Sya’ban juga menjadi warning (pengingat)
bagi kaum Muslimin yang masih punya utang puasa. Jika masuk bulan Sya’ban
sementara masih tersisa puasa yang belum dilakukan, bisa diqadha di bulan
Sya’ban. Dengan demikian, ketika gerbang Ramadhan terbuka, tak ada lagi utang
tersisa. Kita pun bisa dengan nyaman menikmati berkah Ramadhan.
Adakah
Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
Sebagaimana
diriwayatkan dari banyak
sahabat nabi, bahwa beliau
bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع
خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah
Taala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia
mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.”
(Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling
menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Abdullah bin
Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al-Albani, As-Silsilah Ash
Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih
Al-Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al-Maktab Al-Islami. Namun,
dalam kitab Tahqiq Misykah Al-Mashabih, justru Syaikh Al-Albani
mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih
karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan).
Hadits
ini menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban (malam ke 15 di bulan
Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang
menyekutukan-Nya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan
ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al-Quran, dan ini
pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in dan generasi setelahnya, seperti Makhul,
Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, di mana mereka mengatakan ini bukanlah bid’ah.
Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa al-Asy’ari,
dimana Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan
Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang
yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan al-Albani).
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama,
Syaikhul Islam mengatakan, “…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan
kebanyakan ulama dalam Madzhab Hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam
Nisfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak
hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari
para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam Nisfu Sya’ban,
dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin
Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh
dalam beribadah di malam itu…” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 247).
Tetapi,
dalam hadits ini–juga hadits lainnya–sama sekali tidak disebut adanya ibadah
khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al-Quran, atau lainnya. Karena itu, wajar pula sebagian kaum
muslimin menganggap itu bid’ah (mengada-ngada dalam agama), seperti yang
dikakatakan Atha’ bin Abi Rabbah, para ulama Madinah, dan lainnya.
Kalangan ini mengatakan, statusnya malam Nishfu
Sya’ban sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan, semua dalil
yang menyebutkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban adalah hadits lemah. Al-Hafidz
Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya
tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi
mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan
malam Nisfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya
keutamaan bulan Sya’ban dan Nisfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat
beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban, yang tidak boleh
dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam
Nisfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama
(pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11).
Maka,
menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid dan surau untuk
melakukan ibadah tertentu adalah perkara yang diperselisihkan para ulama
sejak masa tabi’in. Namun yang pasti Rasulullah dan para sahabat tidak
pernah melakukannya. Hendaknya setiap muslim berlapang dada dan toleran
terhadap perbedaan ini, dan mengikuti sunah adalah lebih baik bagi siapa pun.
Hukum Berpuasa Setelah
Pertengahan dan Akhir Sya’ban
Terdapat
hadis dari Abu Hurairah bersabda:
إِذَا
انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika
sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud 2337)
Dalam
hadis yang lain, yang juga dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,
لاَ
تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ
يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah
kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang
punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan
Muslim 1082).
Para
ulama menjelaskan, bagaimana mengompromikan beberapa hadis di atas, sehingga
semuanya tetap berlaku. Salah satu penjelasan itu, disampaikan oleh Imam al-Qurthubi.
Ia menjelaskan tentang cara mengompromikan hadits di atas. Ia juga mengatakan,
“Tidak ada pertentangan antara hadis yang
melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban, serta hadis yang melarang
mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadis
yang menceritakan bahwa Nabi saw menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan.
Kompromi
memungkinkan untuk dilakukan, dengan memahami bahwa hadis larangan puasa
berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah. Sementara
keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang
memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan
kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6/330).
Pendapat
ini dikuatkan juga oleh Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah. Mereka
mengatakan, larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang
yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki
kebiasaan berpuasa (seperti puasa Senin-Kamis), boleh berpuasa ketika itu.
(Lihat Lathaif al-Ma’arif, 244-245)
Adapun
hukum berpuasa di akhir Sya’ban, sebagian besar ulama dan
pensyarah hadits menyebutkan:
Pertama, berpuasa dengan niat puasa
Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan.
Puasa seperti ini hukumnya haram.
Kedua, berpuasa dengan niat nadzar
atau mengqadha Ramadhan yang lalu, membayar kaffarah atau yang lainnya. Mayoritas
ulama membolehkan yang demikian.
Ketiga, berpuasa dengan niat puasa sunnah
biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan
dengan berbuka tidak menyukai hal itu. Di antaranya Hasan Bashri, meskipun
sudah terbiasa berpuasa, tapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi
orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, al-Auzai’ dan Ahmad serta
selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tersebut yang
digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni, tidak disukai mendahului Ramadhan
dengan puasa sunnah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak biasa berpuasa,
dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus
bersambung sampai akhir bulan.
Kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci?
Pertama, agar tidak menambah puasa
Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa
pada hari raya karena alasan ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Atas dasar ini
maka dilarang puasa pada yaum asy-syak (hari yang diragukan).
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat
kepada Abul Qasim saw (Rasulullah),” ujar Umar bin Khaththab. Hari syak adalah
hari yang diragukan apakah termasuk Ramadhan atau bukan.
Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga
tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum), maka di antara ulama
ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa. Ini
perkataan kebanyakan ulama.
Kedua, untuk membedakan antara puasa
sunnah dan wajib. Membedakan antara fardhu dan sunnah itu disyariatkan.
Karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa
Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah).
Rasulullah juga melarang untuk menyambung shalat wajib
dengan dengan sunnah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan.
Terlebih-lebih shalat sunnah qabliyah fajr (Subuh). Bahkan,
disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat. Ketika
melihat ada yang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, Nabi saw
berkata, “Apakah shalat Shubuh itu empat rakaat?” (HR Bukhari No.663).
Dengan demikian, dilarangnya berpuasa sehari
menjelang Ramadhan bukan untuk dijadikan momen untuk memuaskan nafsu. Tapi,
sebagai garis pembatas antara Sya’ban dan Ramadhan.
Latihan Menghadapi Ramadhan
Ibarat pasukan perang yang tengah bersiap menghadapi
musuh, begitulah perumpamaan kaum Muslimin menjelang Ramadhan. Memperbanyak
puasa di bulan Sya’ban merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak
mengalami kesulitan. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam
keadaan kuat dan bersemangat.
Karena Sya’ban merupakan gerbang bagi Ramadhan, maka
berlaku juga amalan yang biasa dilaksanakan di bulan Ramadhan, seperti puasa,
membaca al-Qur’an dan sedekah. Salamah bin Suhail mengatakan, “Bulan Sya’ban
merupakan bulan para qurra’ (pembaca al-Qur’an).” Jika masuk bulan
Sya’ban, Habib bin Abi Tsabit berkata, “Inilah bulan para qurra’.” Jika
bulan Sya’ban datang, Amr bin Qais al-Mula’i menutup tokonya dan meluangkan
waktu (khusus) untuk membaca al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar