Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @hepiandibastoni
Suatu hari,
Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah Ketujuh Bani Umayyah, datang ke Makkah untuk
melaksanakan ibadah haji. Ketika memulai thawaf, ia melihat Salim bin
Abdullah, seorang tabiin ternama kala itu, sedang duduk khusyu di depan Ka’bah. Kedua bibirnya tak henti bergerak,
berdzikir memuji keagungan Allah. Air matanya berurai menganak sungai
membasahi kedua pipinya.
Para jamaah melapangkan jalan, memberikan
kesempatan kepada khalifah untuk duduk
di samping Salim. Namun, Salim bin Abdullah tetap asyik dengan
kekhusyu’annya. Ia tak menoleh sedikit pun dan tak menghiraukan kehadiran
penguasa Bani Umayyah di sampingnya.
Khalifah Sulaiman duduk menunggu sambil memperhatikan
sang ulama di sampingnya dengan pandangan lembut. Ia menanti kesempatan Salim
menghentikan dzikirnya.
Ketika melihat Salim menghentikan dzikirnya, Sulaiman
segera menegur, “Assalamu’ailaika, hai Abu Umar.”
“Waalaikassalam wa rahmatullahi wa barakatuh,”
jawab Salim.
Khalifah berkata dengan suara yang sangat rendah,
“Sebutkanlah kebutuhanmu, niscaya aku akan memenuhinya, wahai Abu Umar!”
Salim tak menjawab. Khalifah menyangka Salim tak
mendengar ucapannya. Ia menoleh ke arah Salim dan berkata lebih keras
sedikit dari sebelumnya, “Aku sangat senang jika engkau meminta kebutuhanmu
kepadaku. Aku akan memenuhinya.”
“Demi Allah, aku sangat malu bila di depan baitullah
ini aku meminta pertolongan kepada seseorang selain Allah,” jawab Salim.
Mendengar jawaban itu khalifah sangat malu sehingga ia
membisu seribu bahasa. Tetapi ia tetap duduk di tempatnya.
Ketika selesai shalat, Salim bangkit hendak pulang.
Sebelum niatnya terlaksana, Salim ditemui beberapa orang. Di antara mereka ada
yang bertanya tentang hadits. Kelompok lain meminta fatwanya dalam masalah
yang sangat sulit. Ada juga yang minta didoakan.
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera menemui Salim
di antara kerumunan orang-orang. Sambil berbisik-bisik, sang Khalifah berkata,
“Sekarang kita sudah berada di luar masjid. Sebutkanlah kebutuhanmu, niscaya
akan aku penuhi.”
“Kebutuhan duniawi atau kebutuhan akhirat?” tanya
Salim.
Sang Khalifah kaget dan menjawab, “Tentu saja kebutuhan
duniawi.”
Salim berkata kepada, “Aku tak pernah meminta kebutuhan
duniawi kepada Yang memilikinya (Allah). Bagaimana mungkin aku memintanya
kepada orang yang bukan pemiliknya?”
Khalifah merasa sangat malu, dan segera mengucapkan
salam, lalu pergi sambil berkata, “Tak ada yang lebih tinggi darimu di antara
keluarga al-Khaththab dalam hal
kezuhudan dan ketakwaan. Tak seorang pun yang lebih kaya daripada keluarga
al-Khaththab di hadapan Allah Yang Maha
Agung. Semoga Allah memberikan berkah kepadamu.”
Tindakan Salim bin Abdullah terhadap Khalifah Sulaiman
bin Abdul Malik dalam kisah di atas merupakan salah satu cara menjaga
keshalihan moral. Sikap seperti ini begitu penting bagi para ulama yang seharusnya
menjadi panutan umat.
Sikap hidup seorang ulama sejatinya bukan untuk dirinya
sendiri. Tindakannya menjadi cermin bagi masyarakat. Karenanya, seharusnya
ulama menjaga jarak terhadap kekuasaan meskipun ditawari pangkat dan jabatan
yang strategis. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar keshalihan moralnya
sebagai panutan dan teladan masyarakat tetap terjaga. Fatwa-fatwanya tetap
membumi, bersih dari berbagai kepentingan kekuasaan.
Namun demikian, banyak juga ulama yang merapat, tunduk
dan menjilat kepada penguasa. Akibatnya, ketika masuk dalam struktur
pemerintahan, mereka kehilangan identitasnya sebagai ulama. Hukum mereka buat
menjadi samar-samar, hanyut dengan kepentingan-kepentingan penguasa.
Predikat ulama diberikan kepada seseorang, karena
masyarakat menilai bahwa ibadahnya bagus, sesuai dengan tingkah laku kehidupan
sehari-hari, bisa dijadikan figur dan teladan. Ilmunya luas dan fatwa-fatwanya
bisa dijadikan pedoman. Moralnya bisa dijadikan panutan. Itulah yang menyebabkan
masyarakat memberikan legitimasi sebagai ulama.
Di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami perubahan
dalam segala bidang ini, seharusnya ulama tetap menjadi pelurus kebijakan.
Jangan sampai perubahan menjadi awal kehancuran. Ulama seharusnya tampil di
level terdepan untuk mengawal setiap perubahan yang terjadi. Dengan pendekatan
religius dan penanaman nilai-nilai Islam yang dilakukan ulama, masyarakat pun
mampu menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
perubahan yang terjadi dapat difilter.
Melihat betapa pentingnya aktualisasi ajaran Islam
dalam kehidupan sehari-hari, dalam mengatasi dekadensi moral dan keresahan
spritual di tengah-tengah masyarakat, ulama seharusnya tampil sebagai kekuatan
moral dan penyejuk hati, sekaligus menggerakkan emosi manusia yang paling
hakiki, sehingga timbul rasa takwa kepada Allah.
Sebaliknya, para penguasa juga harus mengetahui
kapasitas dirinya. Seperti sosok Sulaiman bin Abdul Malik. Meski kebijakan
khalifah ketujuh Bani Umayyah ini dikenal kontroversi, tapi ia termasuk salah
seorang penguasa yang mau mendengarkan pendapat ulama. Ia juga dikenal dekat
dengan para ulama.
Namun, demikian sosok ulama mandiri, tegar dan
mempunyai sikap kokoh, tak lahir begitu saja. Ibarat tanaman, supaya tumbuh dan
menghasilkan buah, ia harus dirawat dan dipupuk. Itulah yang terjadi dengan
Salim bin Abdullah. Ia adalah adalah cucu Umar bin Khaththab. Ayahnya, Abdullah
bin Umar bin Khaththab. Sedangkan ibunya adalah putri Yazdajird, Kaisar Persia
terakhir. Ia lahir di Madinah al-Munawwarah.
Dia besar dan berkembang di kota yang semerbak dengan
harum kenabian, dan suasana terang yang disinari cahaya wahyu. Dia dididik ayahnya
yang ahli ibadah, zuhud, selalu puasa siang hari dan bangun di malam hari untuk
melakukan shalat. Akhlaknya sama dengan pribadi Umar bin Khaththab. Kokoh dalam
kesederhanaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar