Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
HP: 0817-1945-60
1.
Pendidikan
Keluarga Dimulai dari Memilih Calon Ibu yang Baik
Dr Abdul Aziz al-Fauzan dalam bukunya Fiqh
at-Ta’amul Ma’a An-Nas mengatakan, di antara hak seorang anak atas ayahnya
adalah bagaimana seorang ayah bisa memilihkan ibu yang baik baginya. Karena
pada perjalanan rumah tangga nanti, mental dan sikap anak akan banyak dibentuk
oleh watak dan kepribadian sang ibu.
Ayah yang baik akan memilih istri shalihah dan ibu yang baik bagi
anak-anaknya. Seorang anak punya hak untuk memiliki ibu shalihah, yang bisa
membina akhlak mereka, menjaga kekuatan iman di hati mereka, membangkitka takwa
kepada Allah, serta menjaga dan memperhatikan hak-hak Allah dan hak-hak
hamba-Nya.
Maka dalam konteks ini, Dr. Abdul Aziz Al-Fauzan mengambil ilustrasi
yang Allah tegaskan di dalam firman-Nya:
Artinya: “Dan tanah yang baik; tanaman-tanamannya
tumbuh subur dengan sizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya
hanya tumbuh merana,” (QS al-A’raf: 58).
Karena itu, seorang pria harus memilih calon istri yang shalihah. Karena itu
sama dengan tanah subur yang sangat kita butuhkan untuk masa depan, iman dan
ketakwaan keturunan sendiri.[1]
Karena itu, Rasulullah saw mewasiatkan agar setiap
Muslim memilih Muslimah shalihah yang sepadan, cerdas, dan berakhlak, berasal
dari keluarga yang terpuji, keturunan yang baik dan berakhlak mulia. Karena
semua itu akan sangat berpengaruh terhadap kesuksesan seorang anak dalam segala
hal. Termasuk keistiqamahan dalam agama, mulianya etika dan akhlak. Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:
تَخَيَّرُوا
لِنُطَفِكُمْ وَانْكِحُوا الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ.
Artinya, “Pilihlah wanita yang tepat untuk menanam
benihmu, maka nikahilah wanita-wanita yang sepadan dan hendaklah kalian
menikahkan mereka” (HR. Al-Hakim)[2]
Daud).
2.
Pendidikan
Keluarga Dilakukan Secara Bertahap Sesuai Usia
Di antara hal yang harus diperhatikan dalam
pendidikan bagi keluarga adalah tahapan pembelajaran. Pendidikan untuk anak
yang masih di bawah tujuh tahun harus dibedakan dengan mereka yang sudah
dewasa.
Dalam hal ini, ada sebuah atsar yang oleh
sebagian kalangan dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib. Sebagian kalangan
memasukkannya dalam katagori hadits yang dhaif
(matruk) tapi secara makna menarik untuk
dikaji terkait dengan tahapan pendidikan anak.
الولد سيد سبع سنين ، وعبد سبع سنين، ووزير سبع سنين
Artinya,
“Anak itu tuan (raja) pada usia tujuh tahun (pertama). Hamba pada tujuh tahun
(kedua), menteri pada tujuh tahun (ketiga).” (HR ath-Thabrani)[3]
Kondisi atsar tersebut matruk
sebagai mana disebutkan Imam ath-Thabrani, tapi kandungannya menarik untuk
dikaji. Dalam atsar itu ada tiga tahapan pendidikan
anak. Pada tujuh tahun pertama,
perlakukan anak sebagai raja. Yang dimaksud di sini, bukan berarti kita
menuruti semua keinginan anak, melainkan memberikan perhatian penuh kepada
anak, karena di usia inilah mereka mengalami masa emas. Saat maksimal
pembentukan sel otak 70%, dan kemampuan anak menyerap informasi masih sangat
kuat. Jangan serahkan sepenuhnya pada pengasuh, jangan sepenuhnya pada
nenek-kakeknya. Rawatlah mereka dengan tangan kita. Perhatian kecil yang
sederhana tapi tulus dari lubuk hati.
Pada tahap
pertama ini pendidikan anak dilakukan dengan cara bermain. Metode bermain
menjadi pilihan paling tepat untuk mengembangkan pribadi anak. Para pakar telah
menemukan bahwa pada usia ini perkembangan otak kanan sedang berada pada
puncaknya. Otak kanan yang merupakan otak kreatifitas, imajinasi, irama, berfikir
menyeluruh. Semua pola pikir otak kanan merupakan pola pikir yang didasarkan
pada kegembiraan dan permainan.
Pada tujuh tahun kedua, perlakukan anak sebagai hamba. Maksudnya mulai mendisiplinkan anak. Rasulullah saw pun
bersabda, untuk menyuruh anak-anak untuk shalat di umur tujuh tahun, lalu memukulnya jika tidak shalat di umur 10 tahun.
مُرُوا
أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya, “Perintahkan anak-anak kalian shalat
ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka ketika berusia 10 tahun, dan
pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR Abu Daud, Ahmad, dan al-Hakim).[4]
Tahap ini
mulai dilakukan pendidikan dan pembimbingan. Ketika anak sudah menghabiskan
dunia bermain, setelah anak siap konsep diri dan lingkungannya, bersiaplah anak
mulai dididik dengan benar. Mendidik berarti memberikan berbagai penegtahuan
dengan beragam cara. Mendidik berarti memberikan berbagai pengalaman yang akan
mengembangkan potensi kecerdasannya. Sementara membimbing berarti memberikan
pendampingi terhadap pekerjaan anak. Meluruskan yang keliru dan memberikan
berbagai strategi dalam pembelajaran. Mulai usia delapan tahun anak
mulai diberikan latihan-latihan tanggung jawab dan dasar-dasar kemandirian.
Pada
tujuh tahun ketiga, perlakukan anak seperti menteri
yang biasa diajak diskusi dan dimintai pendapat. Di usia ini,
anak bergulat dengan pencarian jati diri. Ia mengalami banyak peristiwa
emosional dan sensitif dengan tubuhnya sendiri. Ajak anak untuk sering berbagi
cerita, curhat, dan ajak pula teman-temannya untuk akrab dengan kita. Dengan
begitu kita bisa mengontrol anak tanpa harus mengekang. Jiwa jati diri anak akan terbentuk dengan baik karena adanya kepercayaan
dari orang tua. Anak sudah harus belajar mencari uang untuk latihan menuju kedewasaan. Program
magang dan workshop menjadi pilihan tepat untuk usia ini.
3.
Pendidikan
Keluarga Tak Kenal Henti
Pendidikan
dalam keluarga tidak terbatas pada usia tertentu. Ia harus tetap berlangsung,
baik bagi anak-anak maupun orangtua dan anggota keluarga lainnya. Karenanya,
segala hal yang bisa menunjang berlangsungnya pendidikan tak kenal henti itu
mesti diwujudkan. Misalnya, setiap rumah harus menyiapkan perpustakaan agar
anggota keluarga termotivasi untuk terus membaca dan belajar.
Terkait
hal ini ada hadits terkenal di masyarakat kita. Sayangnya, meski secara makna
bagus dan masih sangat relevean dalam konteks kekinian, tapi hadits ini dinilai
palsu. Hadits tersebut berbunyi:
اُطْلُبُوا العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى
اللَّحْد
Artinya
: “Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat.”
Ungkapan
ini sering kita
dengar dalam ceramah atau kita jumpai ketika membaca buku-buku. Setelah dikaji, tidak ada satu kitab hadits pun yang mencantumkannya, baik kitab hadits induk al-kutub as-sittah, [5] atau al-kutub at-tis’ah[6]
Ungkapan
itu ditemukan dalam
Kitab Kasyf adz-Dzunun karya Musthafa bin Abdullah (1/52) tanpa penyebutan
sanad periwayatannya dan kitab
Abjad al-‘Ilmi tulisan Muhammad Shiddiq Hasan Khan al-Qanuji yang juga
tanpa menyebutkan sanadnya bahkan tanpa menyatakannya sebagai hadits Nabi saw,
tapi hanya menyebut “qiila” (maknanya= “katanya atau dikatakan”) dalam bentuk
pasif yang digunakan oleh ahli hadits untuk mengutip riwayat yang diragukan
sumber dan validitasnya.
Karena itu, Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz menilainya La ashla lahu (tidak ada sumbernya berupa
sanad).[7]
Syaikh Shalih
Alu Syaikh dalam ceramah berjudul “Asbab ats-Tsabat ‘ala Tholibil ‘Ilmi”
menyatakan itu sebagai qaul sebagian ulama salaf. Demikian pula, Syaikh
Abdurrahman al-Faqih juga menyebutkan bahwa kemungkinan teks tersebut bagian
dari nasihat ulama yang disebutkan untuk para penuntut ilmu dan bukan hadits
marfu’ (yang bisa disandarkan) kepada Nabi saw.[8]
Namun demikian, makna ungkapan tersebut masih sangat
relevan untuk hari ini khusus dalam pendidikan keluarga. Ibnu Abdil Barr dari
Ibnu Abi Ghassan pernah menuturkan, “Engkau masih tetap sebagai pelajar selama
engkau masih belajar. Jika merasa sudah cukup berarti Anda telah bodoh.”[9]
Karena itu, filosofi Lifelong
Learning (belajar sepanjang hayat) harus diimplementasikan dalam pendidikan
keluarga. Tak ada kata henti untuk menuntut ilmu. Filosofi ini harus dijadikan
kaidah dalam pendidikan keluarga. Dengan demikian, selesainya pendidikan secara
formal tidak menyebabkan proses menuntut ilmu berhenti.
4.
Pendidikan
Hak Semua Anggota Keluarga
Dalam Islam, pendidikan tidak
ditujukan pada orang-orang tertentu. Karena itu, dalam konteks pendidikan
keluarga, ia adalah hak semua anggota keluarga tanpa kecuali. Bahkan, seorang
pembantu sekalipun berhak mendapatkan pendidikan.
Hadits umum yang menjadi dalil ini antara lain sabda
Nabi saw:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Dalam
hadits ini, Rasulullah saw dengan
tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim,
bukan bagi sebagian orang muslim saja.
Dalam pendidikan keluarga, seorang ayah tak boleh
pilah pilih dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Semua berhak
mendapatkan pendidikan, baik anak laki-laki maupun perempuan.
5.
Pendidikan
Sesuai dengan Metode yang Diperlukan
Dalam
implementasi pendidikan keluarga, metode juga harus mendapat perhatian. Sebab,
spirit yang kuat jika tidak dilandasi
dengan metode yang pas, bisa menjadi tidak efektif. Setidaknya, ada beberapa
metode yang sudah dipaparkan detil oleh para pemikir Islam. Misalnya Abdurahman An-Nahlawi dalam buku Ushulu
al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asaalibuha[11] atau
Abdullah Nasih
’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam).[12]
Di antara beberapa metode itu adalah: Metode Percakapan
(Hiwar), Metode
Kisah (Qishah), Metode Keteladanan
(Qudwah), Metode
Pembiasaan (Mumarasah
wal Amal), Metode
Pelajaran dan Nasihat (‘Ibrah wa mau izha),
Metode Motivasi dan
Ancaman (Targhib dan Tarhib, Metode Praktik (‘Amal),
Metode Ceramah (Muhadharah),
Metode Diskusi (Munaqasyah),
Metode Peragaan (Muzhaharah),
Metode Latihan atau
Simulasi (tadrib), Metode
Menghafal (Hifzh)
Itu
hanya sebagian metode yang bisa dilaksanakan. Masih banyak metode lain yang
bisa dieksplorasi dan diimplementasikan dalam pendidikan keluarga. Dalam
mengimplementasikan beberapa metode tersebut, harus disesuaikan dengan kondisi,
materi dan usia. Untuk anak-anak, mungkin metode kisah lebih tepat. Bagi yang
sudah dewasa, metode diskusi akan lebih cocok.
[2]
HR al-Hakim dalam al-Mustadrak ala ash-Shahihain, Darul Ma’rifah, 2008, Juz
2/510
[3] Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani dalam al-Ausath. Menurutnya ini
kalimat ini bukan dari Nabi saw, tidak ada jalur periwayatan kecuali dari sanad
yang di dalamnya ada Zaid bin Jabirah bin Mahmud, dan ia itu Matruk.
(Nuruddin Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’
al-Fawaid, Kitab al-Birru wa ash- Shillah, Bab Mataa Yu’dzaru
al-Waalidu fii Adabi Waladihi, Maktabah al-Qudsi, 1994, Juz 8/159).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar