Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an
Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Sumber hukum ------------------> Kaidah
Ushul Fiqih -------------> Hukum
Fiqih
Sumber Hukum
Islam
Sumber hukum
dalam Islam, dapat dibagi dua:
1.
Disepakati (muttafaq) para ulama
2.
Dipersilisihkan (mukhtalaf)
Adapun sumber
hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah:
1.
Al-Qur’an
2.
Hadits (shahih, hasan dan dhaif)
3.
Ijma’ (kesepakatan ulama atas hukum suatu masalah)
4.
Qiyas (menganalogikan sesuatu yang tidak ada hukumnya dengan
yang sudah ada hukumnya karena persamaan illat.
Sedangkan
sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain
sumber hukum yang empat adalah:
1.
Istihsan (mengambil hukum karena
ada kebaikan meskipun berlawanan dengan dalil yang ada). Membaca Qur’an bagi
wanita nifas menurut Mazhab Maliki.
2.
Maslahah
mursalah
(mengambil hukum karena ada maslahatnya. Mengumpulkan Qur’an, mencatat
pernikahan dll)
3.
Istishab (menentukan hukum atas
kondisi sebelumnya). Status menikahnya seseorang hingga ada kepastian dia
cerai.
4.
‘Urf (adat)
5.
Madzhab ash-Shahabi (perilaku para shahabat nabi), shalat
Tarawih berjamaah, adzan dua kali pada hari Jumat.
6.
Syar’u man
qablana
(syariat para nabi sebelumnya).
Dengan
demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang
disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[1]
Wahbah
al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam
sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah: Sad ad-dzara’i.[2] (Meninggalkan
sesuatu karena ada bahayanya).
Sebagian ulama
menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[3]
Landasan Sumber Hukum Islam
Keempat sumber
hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas,
landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz
ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, Nabi
bertanya, “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum?” Ia berkata, “Saya berhukum
dengan kitab Allah.” Nabi saw berkata, “Jika tidak terdapat dalam kitab
Allah?” Ia berkata, “Saya berhukum
dengan sunnah Rasulullah saw.”
Nabi berkata, “Jika tidak
terdapat dalam sunnah Rasul Saw?” Ia berkata, “Saya akan
berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad).” Rasulullah saw menepuk dada
Muadz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya
(Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah saw.” (HR ath-Thabrani). [4]
Tujuan Hukum Islam menurut Abu Ishaq asy-Syathibi
Menurut
asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan
hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan
inilah yang
menjadi
tujuan syariat. Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan
maupun secara rinci—didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan
hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.[5]
Asy-Syatibi
membagi tujuan penerapan syariah (maqashid) menjadi tiga bagian:
- Dharuriyat artinya sesuatu yang harus ada
demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan,
misalnya rukun Islam.
- Hajiyat maksudnya
sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah
(keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit, atau shalat dengan cara
duduk bagi yang sakit.
- Tahsinat artinya
sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan,
seperti
berpakaian indah.
Menurut Abu
Ishaq Asy-Syathibi, ada lima hal yang termasuk dharuriyat atau
yang lebih dikenal dengan khamsu
dharuriyat. Kelima hal itu adalah:
- Menjaga
agama (hifzh ad-din), melaksanakan
shalat
- Menjaga
jiwa (hifzh an-nafs), larangan membunuh
- Menjaga akal (hifzh
al-‘aql), larangan minuman keras
- Menjaga keturunan
(hifzh an-nasl), larangan berzina
- Menjaga harta (hizh
al-mal), larangan mencuri atau merampok
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan
Bermasyarakat
Ruang lingkup hukum Islam itu sangat
luas. Yang diatur dalam hukum
Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara
manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat,
manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Dalam al-Qur’an cukup
banyak ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak
asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran
hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam
Qur’an dan Hadits.
Peranan hukum Islam dalam
kehidupan bermasyarakat cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan
dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
- Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam
adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang
harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus
juga merupakan indikasi keimanan seseorang.
- Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan
untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan
selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba
dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum (Allah) dengan
subyek dan obyek hukum
(perbuatan mukallaf). Penetap hukum
tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses
pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara
bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang
terpenting adalah bagaimana agar hukum
tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Allah mengetahui
bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat
pecandu riba dan khamar kala itu. Berkaca dari episode dari pengharaman riba
dan khamar, akan tampak bahwa hukum
Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga
memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum
tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba
dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung,
lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Karena itu, kita dapat memahami,
fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi
ini dapat disebut amar ma’ruf
nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni
mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun
di akhirat kelak.
3.
Fungsi Zawajir (Pemaksa)
Fungsi ini terlihat dalam
pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum. Qishash dan diyat
ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa atau badan, hudud untuk tindak pidana
tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam
tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana
pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan
yang membahayakan. Fungsi hukum
Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.
4.
Fungsi Tanzhim wa Ishlah al-Ummah
(Mengatur dan Memperbaiki Umat)
Fungsi hukum Islam selanjutnya
adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi
sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera.
Dalam hal-hal tertentu, hukum
Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan detil, seperti tata cara berutang
yang dijelaskan dalam QS al-Baqarah ayat 282. Namun ada juga yang bersifat umum
yakni masalah muamalah,
yang hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya
diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang
masing-masing, dengan tetap memperhatikan aturan pokok dan nilai dasar
tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim
wa ishlah al-ummah.
Keempat fungsi hukum Islam tersebut tidak
dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan
yang lain saling terkait.
Tahapan Penerapan Hukum Islam
Mengingat ada beberapa hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan kecuali
turut campur pemerintah, maka keberadaan umat Islam di lembaga pemerintah
diperlukan. Agar bisa berjalan baik, tiga tahapan layak diperhatikan:
1.
Tahapan Sosialisasi. Dalam
hal ini hukum-hukum Islam harus disosialisasikan kepada masyarakat. Bisa
melalui lembaga pendidikan formal, buku, media massa, seminar atau diskusi.
2.
Tahapan legislasi dan
pengesahan secara hukum positif. Bagi Negara yang 100 persen penduduknya
Muslim, akan lebih mudah membuat legalitas hukum dalam sebuah Negara. Namun
bagi yang masyarakatnya bercampur dengan non Muslim atau mungkin bahkan
minoritas, tahapan ini perlu perjuangan. Umat Islam harus berjuang agar hukum
Islam menjadi legal dalam sebuah pemerintahan sehingga bisa dilaksanakan dan
dilindungi Negara.
3.
Tahapan eksekusi.
Setelah masyarakat paham dan hukum Islam sudah legal dalam sebuah pemerintahan,
maka ia harus segera dilaksanakan. Dalam tahap ini, umat Islam harus mengisi
ruang-ruang penting dalam jabatan pemerintahan, seperti kementrian, sebagai
walikota, bupati atau gubernur. Dengan demikian, hukum Islam bisa dilaksanakan
dengan efektif.
Tahapan ini tidak menafikan pendapat yang ingin memperjuangkan syariat
Islam dari luar pemerintahan. Masing-masing bisa menjalankan misinya tanpa
harus menyalahkan satu dengan yang lain. Sebab, jika ruang-ruang legislatif
diisi oleh mereka yang tidak suka dengan ajaran Islam, akan makin sulit
menerapkannya dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga jika ruang-ruang
pejabat publik dikendalikan oleh para Islamophibia, akan makin sukar menerapkan
ajaran Islam. Umat Islam yang berada di dalam atau luar pemerintah, bisa
bersinergi semestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar