Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Akhir-akhir ini
pemberitaan dihiasi oleh pernikahan salah seorang anak tokoh negeri ini yang
maharnya adalah hafalan Qur’an. Memang mahar seperti ini tidak sebagaimana
lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga lainnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara
ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar itu bisa berupa hafalan al-Qur’an, sehingga
wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa mahar itu boleh berupa
hafalan al-Qur’an.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ
وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ:
يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَة. فَقَالَ
رَسُولُ اللهِ : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟
فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا.
فَقَالَ النَّبِيُّ اِنْ
اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ:
مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ
خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ
النَّبِيُّ : هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ.
سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا.
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ
Dari Sahal bin Sa'ad bahwa Nabi saw didatangi seorang
wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita
itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya
Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika engkau tidak ingin menikahinya." Rasulullah
berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata,
"Tidak kecuali hanya sarungku ini."
Nabi menjawab, "Bila kau berikan sarungmu itu
maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata, "Aku
tidak mendapatkan sesuatupun."
Rasulullah berkata, "Carilah walau cincin dari
besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi
berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?"
Dia menjawab, "Ya surat ini dan itu," sambil
menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah
menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu," (HR Bukhari Muslim).
Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar
berupa hafalan Al-Qur’an, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar. Hadits
tersebut jelas menyatakan bahwa Nabi saw menikahkan mereka dengan hafalan
Qur’an.
Namun bukan dalam menarik kesimpulan hukum kita
menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada dalil yang
sama. Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah pemberian berupa
harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa hafalan ayat al-Qur’an,
meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami dengan benar
sebagaimana maksudnya.
a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah
menjadi hafizh (penghafal) Al-Qur’an. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya
bukanlah sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain. Bila mahar berupa
hafalan Al-Qur’an, justru melanggar pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar
itu pemberian dan hafalan Al-Qur’an tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak
bisa dicopykan hafalan Al-Qur’an seperti komputer.
b. Hafalan Qur’an Pilihan Terakhir
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan
hadits di atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Qur’an?
Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh
dan tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan
bagaimana Rasulullah saw menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi
mahar berupa hafalan Al-Qur’an. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya
ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu.
Awalnya Rasulullah saw meminta agar mahar berupa harta,
tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau saw membolehkan harta dengan
nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan
diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat,
Rasulullah saw pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Qur’an.
Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan
Al-Qur’an, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah
mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan ujug-ujung
langsung mahar berupa hafalan Al-Qur’an.
c. Memahami Hadits dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan
menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan
mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan
sepotong hadits.
Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja,
tanpa melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil
syar'i lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Memakai
dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di
masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab
secara sepotong-sepotong. Al-Qur’an sendiri mempertanyakan tindakan ini sebagai
tindakan yang keliru.
Maka selain hadits di atas, kita juga harus melihat
hadits lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah saw. Rasululah saw
sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Qur’an. Padahal
beliau adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Qur’an.
Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa
harta. Kepada Khadijah diriwayatkan maharnya berupa 20 ekor unta. Kepada Aisyah
dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.
Kalau saja 1 ekor unta disamakan dengan harga seeokor
sapi yaitu berkisar Rp 15 juta, maka mahar Nabi saw tidak kurang dari Rp 300
juta.
كَانَ صِدَاقُهُ
لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً وَنَشًّا قَالَ:
قَالَتْ: أتَدْرِى مَا
النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ: لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛ فَتِلْكَ
خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.
Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para
istri beliau adalah 12 uqiyah dan satu nasy." Aisyah berkata,"Tahukah
engkau apakah nasy itu?" Abdur Rahman berkata,"Tidak." Aisyah
berkata,"Setengah uqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar
Rasulullah saw kepada para istri beliau.” (HR. Muslim).
Di masa Rasulullah SAW, uang 1
dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah al-Bariqi. Perbandingan
nilai dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu
dinar di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dirham.
Jadi kalau mahar Rasululah saw itu 500
dirham, berarti dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 50 ekor kambing.
Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya
sejuta rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 50 juta rupiah.
d. Bukan Memamerkan Hafalan
Tetapi Mengajarkan
Hadits di atas juga harus
disesuaikan dengan hadits lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang
shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِنْطَلِقْ
لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ
Dalam riwayat lain oleh
Muslim: Nabi saw bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan
kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.
Maka yang dijadikan mahar bukan
pameran hafalan Al-Qur’an di majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk
mengajarkan Al-Qur’an berikut dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Kita dapati
dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu
adalah 20 ayat.
e. Mahar Berupa Sesuatu yang Bermanfaat
Kalau yang dimaksud bahwa mahar
hafalan Al-Qur’an itu sekadar memamerkan hafalan Al-Qur’an, nampaknya masih agak jauh dari makna dan
maksud mahar yang sesungguhnya. Namun kalau yang dimaksud adalah
dengan hafalannya itu seorang suami mengajarkan Al-Qur’an, maka jasa mengajar
itu adalah salah satu wujud harta juga.
Logika ini agak lebih masuk akal
dan nalar kita. Bukankah mahar Nabi Musa kepada istrinya juga berupa jasa juga. Jasa yang
dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10 tahun lamanya.
“Berkatalah dia (Syu'aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu
dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.Dan kamu insya
Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Anas bahwa Abu Thalhah meminang
Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah, laki-laki seperti anda
tidak mungkin ditolak pinangannya, namun anda masih kafir sedangkan saya wanita
muslimah,tidak halal bagi saya menikah dengan anda. Namun bila anda masuk Islam, maka
ke-Islaman anda itu menjadi mahar dan saya tidak minta selain itu.”
Bila menilik hadits di atas, maka
dibolehkan mahar itu berbentuk sesuatu yang memiliki manfaat dan faedah.
Seperti ilmu yang diajarkan, keislaman (proses masuk Islamnya suami), bacaan
Al-Qur'an dan sejenisnya. Karena mahar itu hak istri, bila dia rela menerima
hal itu, maka cukuplah hal itu menjadi mahar
Adapun mengenai batas-batasnya
(maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai batasan. Suami boleh memberikan
mas kawin kepada istrinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan suami.
Pernah suatu kali Umar bin Khaththab
ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400
dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah
telah berfirman :
“Dan jika kamu ingin menggantikan
istrimu dengan istri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah
memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthaar),
maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun," (QS
al-Nisa' : 20) Kalimat "qinthaar" dalam ayat ini bermakna : jumlah
yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya atau
kesalahannya seraya berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah".
Walaupun demikian, agama tetap
menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin
seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah:
أعظم النساء بركة
أيسرهن مئونة
“Wanita yang paling banyak berkahnya
adalah wanita yang paling mudah mas kawinnya,” (HR Ahmad).
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan kadar minimal mas kawin:
1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal
senilai 3 dirham. Mereka mengqiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya
potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling
sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi
membayar mas kawin para istrinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.
3. Ulama Syafi’yah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada
batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah
(layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat shalat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar