Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-0-1945-60
Kita
tidak mungkin terlepas dari utang piutang. Nah, bagaimana Islam mengatur adab berutang-piutang yang membawa pelakunya
ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Berikut beberapa adab dalam
berutang atau memberi utang.
1.
DITULIS DAN DIPERSAKSIKAN
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ
فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا
رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ
تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka
seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat
kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada
dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika
kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282).
2.
TIDAK BOLEH MENGAMBIL KEUNTUNGAN ATAU
MANFAAT DARI UTANG
Kaidah
fiqih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap
utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.
Hal
ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan
kata lain, pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram
berdasarkan al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi
segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang
memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman
adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.
Dengan
dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun
rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, sehingga
bisa terkena ancaman
keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah.
Syaikh
Shalih Al-Fauzan–hafizhahullah-berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang
terlarang untuk mengambilnya dalam utang adalah tambahan yang disyaratkan.
(Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “Saya beri Anda utang dengan syarat
dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan
rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau
juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau
mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang
menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat
dari yang berutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang
mengambil tambahan.
3.
MELUNASI UTANG DENGAN CARA YANG BAIK
Hal
ini sebagaimana hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
Dari Abu Hurairah, Nabi saw mempunyai utang kepada seseorang,
(yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itu pun datang menagihnya.
(Maka) beliau pun berkata, “Berikan kepadanya!” Kemudian mereka mencari yang seusia
dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur
dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya!” Dia pun menjawab, “Engkau telah
menunaikannya membalas dengan setimpal. Semoga Allah memberimu dengannya.” Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik
kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.).
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى
عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى
Dari
Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Aku mendatangi Nabi saw di masjid sedangkan
beliau mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya.” (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264).
Tambahan
ini tidak termasuk riba karena Nabi saw tidak pernah berjanji di awal
peminjaman bahwa beliau akan menambahkannya.
Termasuk
cara yang baik dalam melunasi utang adalah melunasinya tepat pada waktu
pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi
dan penerima utang), melunasi utang di rumah atau tempat tinggal pemberi utang,
dan semisalnya.
4.
BERUTANG DENGAN NIAT BAIK DAN AKAN
MELUNASINYA
Jika
seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Di antara tujuan buruk tersebut
seperti:
·
Berutang untuk menutupi utang yang
tidak terbayar
·
Berutang untuk sekedar bersenang-senang
·
Berutang dengan niat meminta. Karena
biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau
memberi.
·
Berutang dengan niat tidak akan
melunasinya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ
النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ
يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا
أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Dari
Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain
(berutang) dengan tujuan untuk membayarnya
akan tunaikan untuknya. Barangsiapa (mengembalikannya), maka Allah mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak
melunasinya, pent), maka akan
membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841
bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257).
5.
BERUTANG DARI ORANG SHALIH YANG
MEMILIKI PROFESI DAN PENGHASILAN HALAL
Dengan
meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang
kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk
suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridha Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.
6.
TIDAK BERUTANG KECUALI DARURAT
Maksudnya
kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara
keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang
mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya. Tidak sepantasnya berutang untuk
membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan
maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia
sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
7.
TIDAK BOLEH JUAL BELI DISERTAI UTANG
ATAU PEMINJAMAN
Mayoritas
ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam
pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan
atau menyewa dari orang yang : mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak
dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no. 3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. At-Tirmidzi
berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni
agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang
diharamkan. Misalnya,
seseorang hanya mau memberikan pinjaman kalau yang dipinjami menjual hartanya.
Jadi, terjadi dua akad, memberi utang dan membeli.
8.
JIKA TERLAMBAT KARENA
KESULITAN, HENDAKLAH MEMBERITAHUKAN YANG MEMBERIKAN PINJAMAN
Hal ini termasuk menunaikan hak yang
mengutangkan. Janganlah
berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah
keadaan, dan mengubah
utang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan
perpecahan.
9.
MENGGUNAKAN UANG PINJAMAN DENGAN SEBAIK
MUNGKIN.
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ
Dari
Samurah dari Nabi saw bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang
diambilnya, hingga dia menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dalam
Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)
10. BERSEGERA
MELUNASI UTANG
Orang
yang berutang hendaknya berusaha melunasi utangnya sesegera mungkin tatkala mampu mengembalikan utangnya. Sebab orang
yang menunda-menunda pelunasan utang padahal mampu, tergolong zalim.
Sebagaimana hadits berikut:
عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ،
فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ
Dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Memperlambat pembayaran utang yang
dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu
dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih
(diterima pengalihan tersebut)” (HR. Bukhari dalam
Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978).
11. MENANGGUHKAN PEMBAYARAN BAGI YANG
KESULITAN MELUNASI UTANGNYA
Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى
مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat
Nabi, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى
ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ
“Barangsiapa
yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka
hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang
kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh
syaikh Al-Albani).
قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ «
إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ
فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ
. قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى
الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ
الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ
اللَّهُ الْجَنَّةَ
Dari
sahabat Hudzaifah, ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?”
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?”
Laki-laki
itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.”
Malaikat
maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.”
Dia
menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan
selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia
dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam
pembayaran utang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan
tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya
ke dalam surga.” (HR. Bukhari
III/1272 no.3266)
Demikian
penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga
menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga
Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah,
serta terbebas dari lilitan utang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar