(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Seseorang boleh
menjamak (menggabungkan dua shalat) dengan dua cara. Yakni, Jama' Taqdim dengan
cara mengerjakan dua shalat pada waktu shalat pertama (dimajukan). Misalnya,
shalat Asar dilaksanakan pada waktu shalat Zuhur. Lalu, Jama' Ta'khir dengan
cara mengerjaka dua shalat pada waktu shalat kedua (diundur), misalnya,
shalat Zuhur dilaksanakan pada waktu shalat Asar. Para ulama sepakat, shalat
yang bisa dijamak hanyalah shalat Zuhur dengan Asar atau sebaliknya, dan shalat
Magrib dengan Isya' atau sebaliknya.
Sayyid Sabiq
dalam Fiqhus Sunnah-nya merinci beberapa hal yang menyebabkan seseorang boleh
menjamak shalatnya. Yakni:
- Ketika
Berada di Arafah dan Mundalifah
Para ulama
sepakat, bahwa sunnah hukumnya menjamak shalat Zhuhur dan Asar dengan cara Jama
Taqdim di Arafah. Begitu juga dengan Maghrib dan Isya dijamak ta'khir. Hal ini
berdasarkan pada apa yang dilakukan Nabi saw.
- Saat
Bepergian
Mayoritas ulama
berpendapat rukhshah bagi orang yang bepergian untuk menjamak shalatnya, baik
ketika itu ia sedang dalam perjalanan atau sedang berhenti di suatu tempat. Hal
ini berdasarkan pada riwayat bahwa ketika Nabi saw dan pasukannya berada di
Tabuk, mereka menjamak shalat selama 20 hari.
Menurut Imam
Syafii, dalam pelaksanaanya, tidak disyaratkan berurutan. Hukumnya hanya
sunnah. Ibnu Taimiyah berpendapat, niat tidak menjadi syarat dalam menjamak
shalat. Dalilnya, ketika melaksanakan shalat jamak dan qashar, Nabi saw tidak
memerintahkan para sahabatnya untuk menjama atau meng-qashar.
Hukum Jamak Shalat
bagi Musafir
Tidak ada
satupun dalil yang memerintahkan jamak shalat bagi musafir, yang ada hanyalah
nukilan ada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenannya, hukum jamak
shalat bagi musafir adalah sunnah dan tidak sampai dalam derajat wajib, berbeda
halnya dengan qashar shalat yang hukumnya wajib bagi musafir.
Adzan dan Iqamah
dalam Shalat Jamak
Dalam menjamak
dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan azan di awal dari dua shalat
tersebut dan keduanya serta iqamah di awal kedua shalat tersebut. Hal ini
berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah dimana beliau berkata, "
:
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الصَّلاتَينِ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتِينِ
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم - صَلَّى الصَّلاتَينِ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتِينِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu
alaihi wasalam mengerjakan (menjamak) dua shalat di Arafah dengan sekali azan
dan dua kali iqamah.”
(HR. Muslim no. 1818)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Umar.
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Umar.
Jamak Shalat Jumat dan Ashar
Tidak ada satupun dalil yang mengecualikan shalat Jumat
dari keumuman hadits-hadits tentang jamak shalat. Karenanya dibolehkan untuk
menjamak shalat Jumat dengan shalat ashar berdasarkan keumuman semua dalil di
atas. Seandainya shalat Jumat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan
shalat-shalat lainnya dalam hal menjamak, niscaya para sahabat dan para ulama
setelahnya akan semangat dalam menukilnya karena hukum tersebut keluar dari
hukum asal. Karenanya, tatkala tidak ada satupun nukilan dari para sahabat radhiallahu
anhum yang membedakan antara shalat Jumat dengan selainnya. Barangsiapa yang
hendak membedakannya maka hendaknya dia mendatangkan dalilnya.
Hukum Shalat Jumat bagi Musafir
Tidak disunnahkan bagi musafir untuk mengerjakan shalat
Jumat, tapi dia disyariatkan untuk hanya mengerjakan shalat zuhur lalu
menjamaknya dengan ashar-jika dia ingin-. Dalil dalam masalah ini adalah tidak
adanya satupun dalil yang menunjukkan kalau Nabi saw dan para sahabat beliau
mengerjakan shalat Jumat dalam keadaan safar. Di antaranya hadits Jabir bin
Abdillah yang panjang dalam riwayat Muslim no. 1218 tentang sifat haji Nabi saw,
sementara para ulama menyebutkan bahwa hari arafah pada tahun itu jatuh pada
hari Jumat.
Jabir berkata setelah menyebutkan isi khutbah beliau di
Arafah, “Kemudian Bilal
mengumandangkan azan kemudian iqamah kemudian beliau mengerjakan shalat zuhur.
Kemudian iqamah kembali dikumandangkan lalu beliau shalat ashar, dan beliau
tidak melakukan shalat sunnah satu rakaat pun di antara keduanya.”
Dari shalat yang beliau lakukan di Arafah pada hari Jumat
di atas berbeda bukanlah shalat Jumat, ditinjau dari empat perkara:
·
Jabir
menamakannya sebagai shalat zuhur dan bukan shalat Jumat.
·
Azan
di sini dikumandangkan setelah khutbah, sementara pada shalat Jumat, azan
dikumandangkan sebelum khutbah.
·
Hadits
Jabir di atas hanya menyebutkan sekali khutbah, sementara shalat Jumat memiliki
dua khutbah.
·
Tidak
dinukil bacaan beliau pada kedua rakaat tersebut, padahal Jabir menukil bacaan
beliau pada shalat sunnah tawaf. Ini menunjukkan shalat yang beliau lakukan
saat itu adalah shalat sirriah. Maka shalat ini tentunya bukanlah shalat Jumat
karena shalat Jumat adalah shalat jahriah.
Sejumlah ulama seperti Ibnu Abdil Barr dalam
Al-Istidzkar (5/76), Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah, dan selainnya menukil
kesepakatan ulama akan tidak adanya shalat Jumat bagi musafir. Hanya saja
nukilan ijma’ ini kurang detail karena Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tetap
wajibnya Jumat bagi musafir. Karenanya ini hanya merupakan pendapat mayoritas
ulama, dan inilah pendapat yang kuat insya Allah.
- Ketika
Hujan Lebat
Para ulama
berbeda pendapat dalam masalah ini. Namun secara umum mereka sepakat tentang
dibolehkannya menjamak shalat karena hujan lebat, banyak lumpur, atau dingin
luar biasa dan kendala alam lainnya.
Bolehnya hal
ini khusus bagi mereka yang mengalami kesulitan. Misalnya, rumahnya jauh dari
masjid sehingga ia sulit melakukan perjalanan. Adapun bagi orang yang rumahnya
dekat masjid atau ada sarana atau alat yang bisa melindunginya dari bahaya, ia
tidak boleh menjamaknya (Fiqhus Sunnah I/315).
- Karena
Sakit atau Uzur
Sekelompok
ulama dari Madzhab Syafii membolehkan orang yang sakit untuk menjamak shalatnya
karena kesulitan. Kesulitan ketika sakit ini lebih besar daripada ketika turun
hujan.
Bahkan, ulama
Hambali memperluas keringanan ini hingga ia membolehkan jamak shalat karena
halangan seperti ketakutan, ibu yang sedang menyusui karena susah harus
mengganti pakaiannya, wanita yang istihadhah, dan orang yang takut kehilangan
mata pencariannya kalau ia meninggalkan shalat.
Sayyid Sabiq
mengatakan, “Para ulama bermazhab hanbali memiliki pendapat yang longgar
terkait dengan masalah menjamak shalat. Mereka membolehkan jamak taqdim ataupun
ta’khir bagi orang-orang yang kerepotan untuk shalat di masing-masing waktu
shalat dan orang yang diliputi ketakutan. Mereka membolehkan wanita yang sedang
menyusui yang kerepotan untuk membersihkan baju yang dia pakai dari najis pada
setiap waktu shalat, wanita yang mengalami istihadhah, orang yang memiliki
penyakit terus menerus mengeluarkan air seni dan orang yang tidak mampu bersuci
(setiap waktu shalat karena sakit atau lainnya).” (Fiqih Sunnah 1/316)
Imam Ibnu
Taimiyah mempertegas pendapat ini dengan membolehkan orang yang sangat sibuk
bekerja, termasuk juru masak atau profesi lainnya yang tidak mungkin
ditinggalkan (Lihat Fiqh Sunnah I/316).
- Disebabkan
Adanya Keperluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar