@hepiandibastoni
Perempuan itu datang menemui Abu Hanifah. Ia ingin menjual kainnya. Sebagaimana dicatat
sejarah, Abu Hanifah merupakan seorang ulama generasi tabiin yang susah
dibedakan apakah dia ulama yang saudagar atau saudagar yang ulama.
“Berapa kamu jual kain ini?” tanya Abu Hanifah.
“Seratus dirham!” jawab perempuan
itu.
Ternyata kain yang dibawa perempuan
itu sangat bagus, bermutu, dan mahal. Namun perempuan tersebut tidak tahu harga
kain itu sebenarnya. Entah dari mana dulunya ia memeroleh kain itu. Ia lupa.
Adapun Abu Hanifah, seorang saudagar
yang begitu menguasai dunia pasar, langsung mengetahui kualitas kain tersebut.
Namun hal itu tak menjadikan sang Imam punya niat buruk untuk memanfaatkan
kesempatan apalagi berlaku curang. Maka, dialog pun berlanjut.
“Harga kainmu ini jauh lebih mahal
daripada seratus dirham. Coba kamu tawarkan dengan harga yang lebih tinggi,”
ujar Abu Hanifah.
“Bagaimana kalau dua ratus dirham?”
tanya perempuan itu.
“Kainmu masih lebih bagus daripada
dua ratus dirham!” sahut Abu Hanifah.
“Tiga ratus dirham!”
“Kainmu masih lebih mahal dari harga
itu!”
“Kalau begitu, belilah dengan harga
empat ratus dirham.”
“Kainmu sebenarnya masih lebih mahal
dari empat ratus dirham, tapi aku akan membelinya dengan harga itu!” kata Abu
Hanifah. Transaksi pun berlangsung. Keduanya pun sepakat dengan harga itu.
Kini dialog tersebut sepertinya tak
mungkin terjadi dalam dunia nyata. Mungkin hanya akan kita dapatkan pada dunia
cerita, drama atau hikayat. Kini, sepertinya mustahil ada seorang pedagang yang
menawar harga barang melebihi harga yang diinginkan penjual. Kini, tak mungkin
kita temukan pedagang minta agar harga belinya dinaikkan. Namun tidak demikian
dengan kisah perempuan dan Abu Hanifah di atas. Kisah yang diriwayatkan oleh
al-Maqdisi itu benar-benar ada, betul-betul terjadi.
Selain jiwa suci dan kejujuran,
banyak petikan hikmah yang bisa kita tuai dari sosok Abu Hanifah. Tokoh tabiin
yang hanya sempat bertemu dengan tujuh sahabat Nabi ini merupakan ulama peletak
dasar mazhab Hanafi. Selain dikenal sebagai ulama, ia juga adalah seorang
saudagar sukses.
Bagi kaum Muslimin, jiwa
entrepreneur atau wirausaha ini menarik untuk dilirik. Apalagi ketika tingkat
kebutuhan tenaga kerja semakin tidak bisa mengimbangi kecepatan jumlah Sumber
Daya Manusia yang tersedia. Tenaga kerja yang ada jauh lebih banyak daripada
kebutuhan. Angka kebutuhan penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak mampu
menampung jebolan Sekolah Menengah Atas atau Perguruan Tinggi. Instansi swasta
pun demikian. Yang terjadi justru sebaliknya. Di tengah lilitan kebutuhan
ekonomi sekarang, ribuan pabrik dan perusahaan swasta justru banyak yang
mem-PHK karyawannya. Akibatnya, angka pengangguran membengkak. Ratusan ribu
lulusan perguruan tinggi menganggur. Bangsa ini kelebihan tenaga kerja.
Ujungnya, kita dipaksa “menjual” para tenaga kerja itu ke luar negeri dengan
segala penderitaannya.
Di sisi lain, seharusnya fenomena
ini membuat anak negeri ini merenung. Selain terbatasnya lahan penerimaan PNS
atau karyawan swasta, bangsa ini membutuhkan sosok-sosok entrepreneur. Kekayaan
alam yang berlimpah, SDM yang membludak dan kebutuhan ekonomi yang kian
membengkak, menghajatkan kita untuk belajar bekerja mandiri. Masyarakat bangsa
ini mulai harus mengubah paradigma berpikirnya dari harus menjadi PNS
menjadi—mengutip judul buku karangan Valentino Densi—Jangan Mau Seumur Hidup
Jadi Orang Gajian.
Saatnya para karyawan merenung.
Fakta menyebutkan, tingkat kenaikan gaji para karyawan, baik PNS maupun swasta,
tak mampu mengejar tingkat pertambahan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi kalau
ia harus mengubah nasib dengan mempunyai kendaraan atau rumah besar, misalnya.
Kita renungkan, berapa lama waktu yang diperlukan seorang
karyawan yang menerima gaji dua juta rupiah per bulan, misalnya, agar bisa
memiliki rumah seharga 200 juta rupiah? Ia harus menabung selama 100 bulan atau
delapan tahun lebih. Itu pun kalau ia menyimpan seluruh penghasilannya sebanyak
dua juta per bulan tanpa dipotong untuk kebutuhan makan, tempat tinggal,
sekolah anak dan lainnya. Dengan kondisi demikian, mungkinkah ia berharap bisa
memiliki kendaraan roda empat. Kalau saja ia berharap mendapatkan kendaraan
atau rumah seharga dua miliar, misalnya, maka orang yang berpenghasilan dua
juta per bulan tadi harus menabung—tanpa makan dan minum—selama 1000 bulan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka yang selama ini
duduk sebagai PNS tapi bisa memiliki semua kemewahan itu? Dalam analisanya yang
ia tulis di bukunya Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian, Valentino
Dinsi menyebutkan, PNS atau mereka yang bekerja sebagai karyawan swasta level
menengah ke bawah, hanya bisa kaya dengan lima cara. Yaitu, menikah dengan
orang kaya, mendapatkan warisan, menang undian, bekerja sampingan, dan korupsi.
Tanpa perlu menuduh, kita bisa buktikan mana di antara lima hal itu yang paling
banyak dilakukan.
Merenungkan hal tersebut, selayaknya penghuni negeri ini
mengubah paradigma berpikirnya. Paradigma sebagian masyarakat kita masih banyak
yang ngotot memaksakan anaknya harus diterima di PNS dengan berbagai
cara termasuk suap-menyuap dan nepotisme. Paradigma ini harus diubah dengan
paradigma baru. Yaitu, mendidik generasi muda dengan jiwa wirausaha.
Dengan demikian, begitu lulus dari SMA atau perguruan
tinggi, generasi kita tak lagi belajar bagaimana menulis lamaran pekerjaan,
tapi belajar cara membuat proposal bisnis. Mereka tak lagi berbondong-bondong
menenteng map melamar jadi pegawai, tapi beramai-ramai membuka usaha baru.
Jika jiwa wirausaha ini bisa kita tumbuhkan sejak dini,
kita berharap negeri ini akan bangkit dari keterpurukan. Kekayaan alam yang
melimpah ruah ini bisa kita kelolah sendiri tanpa harus mengundang orang asing.
Syaratnya satu, kita mau berubah.
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri," (QS ar-Ra’d: 11).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar