Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Ibnu Hisyam Bogor)
0817-1945-60
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk membina
hubungan yang harmonis antara suami istri, namun kenyataan membuktikan, bahwa
untuk memelihara keharmonisan dan kelestarian bersama suami istri bukanlah
perkara yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang mudah
dilaksanakan bahkan dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan
dikarenakan faktor-faktor psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan
kecenderungan pandangan hidup tersebut.[1]
Pada dasarnya pergaulan suami istri
merupakan persenyawaan jiwa raga dan cipta rasa, maka antara suami istri
diwajibkan bergaul dengan sebaik-baiknya. Firman Allah :
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً {النساء : 19}
“Dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak.”
Karena itu, apabila adanya suatu
perselisihan yang terjadi antara suami istri wajib diusahakan dengan cara
musyawarah dan mufakat. Apabila perselisihan/krisis rumah tangga tersebut
sedemikian memuncak dan tidak mungkin untuk dapat diselesaikan maka cara yang
harus ditempuh dengan cerai/diceraikan dan suatu perkawinan dapat berakhir
karena terjadinya thalaq yang dijatuhkan oleh suami terhadap istri.
a. Pengertian Thalaq
Kata “thalaq” dalam bahasa Arab berasal
dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa yang bermakna melepas/mengurai tali
pengikat, baik tali itu bersifat kongkrit maupun abstrak, kata thalaq merupakan
isim masdar dari kata thalaqa-yathaliqu-thathqar yang bermakna “irsai”
dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan.[2]
Al-Jaziri dalam kitabnya al-Fiqh alal Madzahibil Arba’ah
memberikan definisinya :
اَطَّلاَ قُ اِزْ لَةُ النِّكَاحِ اَوْ نُقْصَانِ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ.
“Thalaq ialah menghilangkan ikatan
perkawinan/mengurangi pelepasan ikatannya dengan mempergunakan kata-kata
tertentu”
Dalam istilah agama, “thalaq” artinya
melepaskan ikatan perkawinan/bubarnya hubungan perkawinan.[3]
حُلُّ رَابِطَةٍ الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“Thalaq ialah melepas tali perkawinan dan
mengakhiri hubungan suami istri”.
b. Syarat-syarat Thalaq
1. Suami
a) Berakal
b) Baligh
c) Atas kemauan sendiri, karena bila atas
kehendak orang lain tidak sah. Rasulullah bersabda :
اِنَّ اللهَ وَضَحَ عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرهُوَا
عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah melepaskan dari
umatku tanggung jawab dosa silap, lupa dan suatu yang dipaksakan kepadanya”
2. Istri
a) Masih dalam lindungan suami
c. Hukum-hukum Thalaq
Dalam kehidupan suami istri tidak
sepantasnya mereka berusaha memutuskan / merusak tali perkawinan. Meskipun
suami diberi hak menjatuhkan thalaq tanpa alasan / sebab termasuk perbuatan
tercela dan benci Allah. Rasulullah bersabda:
اَبْغَضُ الْحَـلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah
ialah menjatuhkan thalaq”
Dan seseorang yang berusaha merusak tali
hubungan suami istri dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan
tidak sepantasnya ia menanamkan seorang muslim.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
“Bukanlah termasuk golonganku orang
merongrong hubungan seorang suami istri”
Dalam hukum thalaq, para fuqaha
berbeda-beda pendapat mengenai hukum asalnya, yaitu pendapat yang menetapkan
bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karena darurat (terpaksa).
Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk jatuhnya thalaq yang menyebabkan
kedudukannya menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
1. Thalaq menjadi wajib bagi suami atas permintaan
istri, dalam hal ini suami tidak mampu menunaikan hak-hak istri, serta
menunaikan kewajibannya sebagai suami. Menurut H. Sulaiman Rasyid bahwa thalaq
menjadi wajib apabila terjadi perselisihan antara suami istri dengan 2 hakam
yang mengutus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya cerai.
2. Thalaq menjadi sunnah apabila suami istri
tidak sanggup membayar kewajiban (nafkah) dengan cukup/si istri rusak moralnya
(tidak menjaga kehormatan dirinya), seperti berbuat zina, melanggar larangan agama/meninggalkan
kewajiban agama seperti shalat, puasa.
3. Haram (bid’ah) jika istri dalam keadaan
haid dan suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita
lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa
thalaq diharamkan bila tidak ada keperluan untuk itu dikarenakan thalaq yang
demikian dapat menimbulkan mudharat.
4. Mubah, hukum ini dibolehkan ketika ada
keperluan seperti jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami,
suami menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai tujuan
perkawinan karena istri.
5. Makruh, dikarenakan thalaq itu
menghilangkan perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan
yang sunnahkan dan makruh merupakan hukum asal dari thalaq tersebut.[5]
d. Macam-macam Thalaq
1. Ta’liq thalaq
Menta’liqkan
thalaq sama hukumnya dengan thalaq tunai, yaitu makruh (menurut hukum asal).
Tetapi kalau adanya ta’liq itu akan membawa kepada kerusakan sudah tentu
hukumnya menjadi terlarang.
2. Khulu’ (thalaq tebus)
Khulu’ adalah
thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri kepada
suami, thalaq ini biasanya dilakukan atas kehendak istri dan dapat dilakukan
sewaktu suci maupun haid.
Khulu’ dapat
mengakibatkan bekas suami tidak dapat rujuk kembali dan tidak boleh menambah
thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan kawin kembali melalui aqad baru.
Beberapa
hukum tentang khulu’ diantaranya wajib apabila atas permintaan istri
dikarenakan suami tidak mau memberi nafkah batin terhadap istri, haram jika
hanya untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Mubah ketika istri ada
keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan lain, makruh hukumnya jika
tidak ada keperluan untuk itu dan dapat menjadi sunnah bila dimaksudkan untuk
mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya. Menurut Imam Syafi’i
asal hukum khulu’ adalah makruh dan dapat menjadi sunnah hukumnya bila si istri
tidak baik dalam bergaul bagi si suami.[6]
3. Fasakh
Dalam
putusnya perkawinan sebab fasakh bahwa hukum Islam mewajibkan suami untuk
menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak
boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudlaratan terhadapnya.
Pada fuqaha
menetapkan jika dalam kehidupan suami istri menimbulkan sikap kemudlaratan pada
salah satu pihak, maka pihak yang menderita dapat memutuskan perkawinan melalui
hakim untuk menfasahkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita.
Beberapa
alasan fasakh[7]
a) Tidak adanya nafkah bagi istri
b) Terjadinya cacat/penyakit pada salah satu
pihak
c) Penderitaan yang menimpa istri
4. Syiqaq
Syiqaq adalah
krisis memuncak antara suami istri dengan adanya pertentangan pendapat dan
pertengkaran yang tidak mungkin bisa untuk dipertemukan dan kedua belah pihak
tidak dapat mengatasinya. Firman Allah SWT
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيماً خَبِيراً {النساء : 35}
“Dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kedudukan cerai karena syiqaq
bersifat ba’in (bekas suami istri hanya dapat kembali dengan akad baru).
5. Li’an
Kata li’an
adalah masdar dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aana dari kata al-la’nu
yang bermakna jauh, laknat / kutukan, sedangkan menurut istilah ialah sumpah
yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan 4 kali
kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian ke lima disertai pernyataan ia bersedia menerima laknat Allah
jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dengan
terjadinya sumpah li’an terjadilah perceraian antara suami istri dan tidak
boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya. Hadits Nabi
اَلْمُتَلاَعِنَانِ اِذَا تَضَرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا
“Suami istri yang telah saling berli’an
itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya”.
KESIMPULAN
Dalam suatu perkawinan apabila ada
permasalahan / perselisihan wajib diusahakan dengan cara musyawarah dan
mufakat, bila masih bertambah memuncak maka cara yang harus ditempuh melalui
cerai / thalaq.
Thalaq adalah melepas tali perkawinan /
mengakhiri hubungan suami istri hukum-hukumnya yaitu wajib, sunnah, haram,
mubah dan yang terakhir makruh yang merupakan hukum asal thalaq. Sebab-sebabnya
seperti ta’liq thalaq, khulu’, fasakh, syiqoq dan li’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar