Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
@andibastoni
1. Adakah Kepanitiaan Penyembelihan Hewan Qurban di Masa Rasulullah saw?
Kalau kita merujuk ke masa Rasulullah saw, kita tidak
akan menemukan wujud kepanitiaan qurban seperti sekarang. Kedudukan
kepanitiaan ini pada dasarnya tidak punya landasan masyru'iyah khusus, baik al-Quran
maupun Sunnah. Lantas, apakah kepanitiaan ini menjadi haram atau
bid'ah?
Tentu tidak. Logikanya, keberadaan takmir masjid pun
bid'ah karena tidak ada di masa Nabi saw. Jadi meski tidak ada rujukan resmi,
namun keberadaan panitia penyembelihan hewan qurban ini jelas-jelas sangat
diperlukan, karena sifatnya membantu orang-orang agar dapat melaksanakan
penyembelihan hewan qurban.
2. Kedudukan Panitia Berbeda dengan Amil Zakat
Salah satu kesalahan yang terlanjur beredar di
masyarakat adalah menyamakan status dan kedudukan serta fungsi panitia
penyembelihan hewan qurban dengan amil zakat. Jelas sekali bahwa panitia qurban
tidak sama dengan amil zakat. Kita menemukan banyak point perbedaan antara
keduanya, sebagiannya adalah:
a. Amil Zakat Sudah Ada di Masa Nabi
Di masa Nabi saw, justru kepanitiaan zakat sudah ada
dan memang diangkat secara resmi oleh Rasulullah saw. Bahkan jenisnya bukan sekadar kepanitiaan
yang bersifat insidentil, melainkan instutusi atau lembaga resmi negara.
Sementara kita tidak menemukan dalil, baik dalam
Quran atau Sunnah yang memerintahkan secara langsung pembentukan panitia qurban. Walaupun
hukumnya boleh, tetapi kita tidak menemukan dasar masyru'iyahnya di masa lalu.
Karena itu, dalam kebanyakan kitab fiqih, kita nyaris
tidak pernah menemukan bab yang secara khusus membahas tentang tugas dan
wewenang panitia penyembelihan hewan qurban.
b. Amil Zakat Berhak Memungut
Rasulullah saw secara resmi mengangkat dan menugaskan
para petugas resmi negara sebagai pemungut zakat. Mereka diberi kewenangan
untuk menarik harta zakat dari para wajib zakat. Pihak-pihak yang membangkang
dan menolak bayar zakat bisa dihukum dan hartanya boleh dirampas oleh petugas
zakat resmi negara.
Sementara, panitia penyembelihan hewan qurban tidak
bisa memungut atau memaksa orang untuk berqurban. Sebab secara hukum,
kepanitiaan tidak punya dasar konstitusi yang jelas. Oleh karena itu tentu juga
tidak punya kekuatan hukum untuk memaksa.
Selain itu, menyembelih hewan qurban itu hukumnya bukan
kewajiban, tetapi sunnah. Kecuali mazhab Al-Hanafiyah yang mewajibkan, seluruh
ulama (jumhur) sepakat bahwa hukumnya bukan wajib tetapi sunnah dengan segala
variannya.
c. Amil Zakat Diberi Hak Mengutip Secara Syariah
Dalam hukum syariah, para petugas zakat secara resmi
dan sah telah diberikan hak untuk mendapatkan fee, upah atau gaji tetap,
yang sumbernya diambil dari harta zakat yang terkumpul. Al-Quran secara resmi
menyebutkan dan menjamin bahwa para petugas zakat ini termasuk salah satu dari
delapan asnaf. Para ulama menyebutkan, hak yang boleh menjadi jatah
buat amil zakat adalah 1/8 bagian dari total harta zakat. Angka 1/8 bagian
ini cukup besar, karena setara dengan 12,5 persen. Bila harta zakat yang
terkumpul 8 milyar, maka jatah buat amil 1 miliar.
Namun sangat jauh berbeda hak-hak amil zakat dengan
panitia qurban. Di Quran tidak pernah disebutkan masalah kepanitiaan
penyembelihan hewan qurban. tentunya juga tidak ada 'jatah'
khusus yang menjadi hak para anggota panitia.
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw pernah meminta tolong
kepada Ali bin Abi Thalib dan beberapa shahabat untuk membantu menyembelihkan
hewan qurban. Kalau hal ini dianggap sebagai dasar dari kepanitiaan, silakan
saja.
Namun harus dicatat bahwa sebagai 'panitia', ternyata
Ali bin Abi Thalib dan para shahabat yang lain tidak pernah diberi 'jatah' atau
uang jasa atas pekerjaannya menjadi panitia. Yang ada justru sebalinya, mereka
malah nombok karena harus merogoh isi kantung sendiri guna membayar para jagal.
أَمَرَنِى رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ
بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا
قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah saw memerintahkanku untuk mengurusi
unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit
yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak
memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau
bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri.” (HR. Muslim).
Justru panitia qurban DIHARAMKAN mengutip, memotong
atau mengambil 'fee', kalau sumbernya berasal dari tubuh hewan yang telah
dijadikan sembelihan qurban.
3. Bolehkah Panitia Diberi Honor Atau Upah?
3. Bolehkah Panitia Diberi Honor Atau Upah?
Sejak awal harus ditegaskan, kenapa seseorang merasa
ingin menjadi bagian dari panitia penyembelihan hewan qurban? Kenapa
kepanitiaan itu harus dibentuk? Apa yang menjadi dasar motivasinya? Apakah
semata-mata ikhlas ingin membantu tanpa mengharapkan pamrih, ataukah memang
mengharapkan dapat bagian?
Motivasi itu pada dasarnya sah-sah
saja. Orang yang jadi panitia dan sama sekali tidak mengharapkan upah atau
bagian apapun, tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Karena walau
pun dia tidak menjalankan ibadah penyembelihan hewan qurban, namun karena ikut
membantu pihak yang menyembelih, tentu akan kebagian pahalanya juga, meski
nilainya tentu tidak sebesar pemilik hewan.
Mereka yang jadi panitia dengan
berharap agar dapat upah, pada dasarnya tidak bisa disalahkan juga. Sebab dia
tentu sudah mengeluarkan banyak tenaga, pikiran, dan waktu, demi suksesnya
kegiatan. Kalau untuk semua hal yang dilakukan itu dia berharap dapat upah,
tentu kita tidak bisa menafikan.
Sebab para muadzdzin, para imam shalat lima waktu di
masjid dan juga para guru mengaji, semua berhak mendapatkan upah dan gaji,
walaupun apa yang mereka lakukan itu pada hakikatnya adalah ibadah. Namun kalau
mereka mendapatkan imbalan atas jasa dan waktunya, syariat Islam tidak melarangnya.
Bahkan jasa mengajarkan Al-Quran bisa dijadikan sebagai mahar atau maskawin.
4. Kalau Boleh Diberi Upah, dari Masa Sumber Uangnya?
Upah buat panitia itu boleh, wajar dan manusiawi.
Tetapi yang harus dicatat dari masa sumber uangnya?
Jawabnya bahwa sumber uang buat upah itu boleh dari
mana saja asalkan halal dan asalkan TIDAK DIAMBIL DARI DAGING atau bagian tubuh
hewan qurban. Sebab kalau sumbernya dari hewan, maka hukumnya haram.
5. Sumber Keuangan Panitia yang Diharamkan
Kesalahan paling fatal yang selama ini dilakukan oleh
banyak kepanitiaan adalah bahwa upah dan honornya diambilkan dari daging atau
bagian tubuh hewan itu. Ada dua macam cara keliru yang terlanjur dilakukan.
a. Melebihkan Jatah Buat Panitia
Panitia diberi jatah khusus yang lebih banyak dari
pada jatah buat orang-orang. Misalnya, jatah buat masyarakat satu kantung 0,5
Kg, sedangkan jatah buat panitia sebanyak 2 Kg atau empat kali lipat jatah
masyarakat umum. Maka kelebihan jatah yang 1,5 Kg itu pada hakikatnya adalah
upah. Jatah buat panitia 2 kg daging ini kalau dijadikan sebagai
akad sejak awal, tentu hukumnya menjadi haram.
b. Menjual Bagian Tubuh dan Uangnya
Dibagikan untuk Paniti
Cara kedua adalah dengan cara menjual kepala, kaki dan
kulit hewan kepada pihak lain. Biasanya para jagal dan makelarnya memang datang
untuk membelinya. Lalu semua itu dijual dan uangnya dibagi-bagi sebagai upah
panitia. Alasannya, dari pada kepala, kulit dan kaki itu dibuang, mending
dijual dan uangnya buat honor dan upah panitia.
Cara ini pun pada dasarnya sama, yaitu menjual daging
dan bagian tubuh hewan qurban, padahal pemiliknya sudah mempersembahkannya
kepada Allah. Tentu saja hukumnya menjadi haram dari dua sisi. Pertama,
haram karena menjual apa yang sudah jadi milik Allah. Kedua, haram
karena menjual barang yang bukan miliknya.
6. Mengapa Diharamkan Menjual?
Lalu mengapa diharamkan buat panitia atau jagal
mendapat upah dari daging atau bagian tubuh hewan?
Jawabnya karena pada hakikatnya hewan yang telah
diqurbankan itu sudah bukan lagi milik siapa pun, tetapi menjadi milik Allah
SWT. Orang yang berqurban, ketika dia menyembelih sudah berikrar dan
mempersembahkan hewan itu kepada Allah SWT. Maka status daging dan seluruh
bagian tubuh lainnya sudah bukan lagi miliknya, tetapi menjadi milik Allah. Kalau sudah
milik Allah, tidak boleh lagi diperjual-belikan atau dijadikan upah pembayaran.
Sebagai perbandingan, hewan qurban ini mirip dengan
sebidang tanah yang diwakafkan dan bersertifikat. Dengan status wakaf itu, maka
tanah itu sudah bukan lagi milik orang yang berwakaf, tetapi sudah menjadi
milik Allah. Maka haram hukumnya menjual tanah wakaf. Baik pemilik tanah
aslinya sebagai orang yang berwakaf (waqif), ataupun pengelola tanah wakaf
(nadzir), keduanya sama-sama diharamkan memperjual-belikan tanah wakaf.
Demikian juga dengan panitia penyembelihan hewan
qurban, mereka diharamkan menjual daging dan bagian-bagian tubuh hewan qurban,
dan juga haram mengambil uangnya sebagai upah atau jasa.
Dalam hal ini para ulama sepakat
bahwa panitia jelas-jelas diharamkan menerima honor yang diambilkan dari bagian
tubuh hewan. Kalau pun panitia harus diberi honor dan uang lelah, sumbernya
tidak boleh dari bagian tubuh hewan yang sudah disembelih. Sumber dananya bisa
diambilkan dari pemilik hewan di luar harga hewan, atau dari keuntungan panitia
berjualan hewan, atau dari uang kas panitia lainnya.
Kalau panitia tidak boleh menerima upah yang sumbernya
dari hewan qurban, apakah dengan demikian maka panitia diharamkan ikut makan
daging yang telah disembelih?
Jawabnya tidak haram. Panitia tentu saja dibolehkan
ikut makan dan menikmati daging hewan. Syaratnya, apa yang dimakan oleh para
panitia itu bukan sebagai upah atau honor. Jadi panitia boleh ikut makan,
selama judulnya bukan upah atau honor.
Kalau orang lain yang tidak ikut
kerja boleh makan, masak panitia malah tidak boleh ikut makan? Bahkan orang
kafir sekalipun dibolehkan ikut menikmati daging hewan qurban, masak panita
yang justru beragama Islam malah haram memakannya?
Tentu tidak demikian cara kita memahaminya. Yang benar
adalah bahwa siapa saja, termasuk yang jadi panitia, boleh ikut makan daging
hewan qurban. Tidak peduli, apakah dia muslim atau bukan, panitia atau bukan,
semua orang boleh ikut menikmati dagingnya.
Yang tidak boleh adalah menjadikan daging atau bagian
tubuh hewan itu sebagai honor, alat pembayaran, upah, atau fee atas jasa-jasa
penyembelihan dan sejenisnya.
Lalu apakah panitia tidak boleh menerima sekedar uang
lelah atau honor?
Jawabnya panitia justru harus diberi uang lelah dan
honor. Sebab panitia itu memang sudah menghabiskan waktu dan tenaga, maka wajar
kalau mereka diberi upah secara profesional tapi bukan dari hewan qurban, baik
fisiknya atau dari hasil penjualannya.
7. Panitia Bukan Pemilik Hewan Qurban, Dia Hanya
Penerima Amanah
Kadang ada saja orang yang bikin-bikin alasan yang
tidak benar. Misalnya, hewan-hewan itu sudah jadi 'milik' panitia, dan pemilik
aslinya, yaitu orang yang berqurban, sejak awal sudah menyerahkan hewan-hewan
itu kepada panitia. Maka status hewan-hewan itu sudah menjadi hak milik
panitia. Dan sebagai pemilik yang sah, panitia dianggap berhak untuk
menjualnya.
Tentu saja logika ini keliru. Tidak benar kalau
dibilang bahwa panitia adalah pemilik hewan qurban. Sebab pemilik yang asli
tidak pernah menyerahkan hewan itu sebagai hadiah atau pemberian cuma-cuma.
Pemiliknya menyerahkan hewan kepada panita sebagai 'amanat' alias titipan. Dan
sebagai pihak yang diberikan titipan, tentu tidak tiba-tiba menjadi pemilik.
Ibaratnya, kita memarkir kendaraan di tempat parkir
valet. Meski kita serahkan kunci mobil kepada petugasnya, namun tidak berarti
kita memberinya hadiah mobil. Petugas itu cuma diberi amanah untuk memarkirkan
mobil kita di tempatnya. Itu saja dan tidak lebih. Petugas valet parking itu
tidak pernah tiba-tiba berubah menjadi pemilik mobil titipan. Oleh karena itu
dia tidak boleh menjual mobil itu kepada pihak lain, dan juga tidak boleh
mempreteli onderdil seenaknya.
7. Masalah Jual Kulit dan Upah Penjagal
Masalah menjual kulit hewan qurban terdapat hadits khusus yang
melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ
أُضْحِيَّةَ لَهُ
“Barangsiapa
menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya,”[1] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada
nilainya.
Jadi, menjual kulit hewan qurban terlarang.
Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang
lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual
hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-Hakim.
Namun, ada juga yang membolehkan asalkan
ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Imam Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah
karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy
Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil
sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”[2]
Imam Abu Tsaur bahkan membolehkan secara mutlak sebagaimana
disebutkan oleh Imam an-Nawawi.[3] Pendapat
ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang
menjual kulit.
Solusinya: Hendaklah kulit tersebut diserahkan
secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin
atau yayasan sosial. Setelah diserahkan, terserah mereka mau manfaatkan untuk
apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu
dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang yang menerima
kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban
atau panitia qurban (wakil shohibul
qurban).
Adapun mengenai upah bagi penjagal juga sudah
dijelaskan dalam hadits dari Ali bin Abi Thalib:
أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا
وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ
مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah
memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan
daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta
untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari
hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi
upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.”[4]
Dari
hadits ini, Imam an-Nawawi mengatakan, “Tidak boleh memberi
tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah
pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam
Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”[5]
Namun
sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan
kulit semacam Hasan Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan
kulit.” An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan
beliau ini telah membuang sunnah.”[6]
Sehingga yang tepat, upah
jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shahibul qurban hendaknya menyediakan
upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut bukan dari penjualan
kulit qurban
[1]
HR Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits
ini shahih. Adz-Dzahabi
mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didha’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh
al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih at-Targhib
wa at-Tarhib No. 1088.
[2]
Lihat pendapat Imam asy-Syafi’i ini dalam Tanwirul
‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373.
[4]
HR. Muslim no. 1317
Tidak ada komentar:
Posting Komentar