Oleh: Hepi Andi
Bastoni
Ketua Yayasan az-Zumar
Bogor
0817-1945-60
Semua Mazhab Berpeluang Benar
Ketika kita bicara tentang pendapat para ulama
yang mewakili mazhab tertentu, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa mazhab
itu sekadar kelompok yang tidak penting dan suka berseteru, rajin memecah-belah
persatuan umat, aktif menghidupkan fanatisme kelompok, gemar saling menjelekkan
dan saling mencemooh antara sesama elemen umat.
Cara pandang seperti itu jelas menunjukkan
ketidak-mengertian yang fatal, keawaman terhadap ilmu syariah, serta kerancuan
dalam memahami sejarah Islam.
Sayangnya, banyak ustadz dan tokoh agama yang
punya pemahaman error macam ini, lalu kemana-mana berdakwah sambil menyesatkan
umat dengan pemahamannya yang tidak punya sumber rujukan itu. Di situlah kadang kita
merasa sedih. Sebab yang menghancurkan pemahaman agama justru mereka yang
terlanjur dianggap tokoh agama.
Padahal hakikat dan jati diri mazhab fiqih itu
merupakan institusi resmi dan profesional yang menjadi pusat penelitian, riset
dan tahqiq (validasi) atas kesimpulan-kesimpulan hukum syariah. Tentu saja yang
diteliti itu tidak lain adalah sumber-sumber resmi agama Islam yang valid,
yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih.
Sungguh terlalu ketika ada orang yang mengatakan bahwa mazhab fiqih tidak pakai Al-Quran dan Sunnah. Ini logika yang
sungguh bikin sakit perut karena saking lucunya. Padahal mazhab itu justru
instrumen vital dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, dimana keduanya tidak boleh
dipahami secara sembrono, seenak udel dan semau-maunya sendiri. Harus ada tools
yang benar untuk merujuk kepada warisan Nabi SAW ini, dan tidak lain mazhab
fiqih itulah yang disepakati sepanjang sejarah untuk menjadi instrumen.
Jangan juga kita berpikir bahwa para ulama mazhab
itu sama seperti kita yang jahil dan awam. Apalagi sampai membayangkan bahwa
pendapat-pendapat itu lahir dari pikiran kosong orang-orang yang fanatik dengan
kelompoknya. Tuduhan seperti ini mustahil kalau datang dari umat Islam. Umat
Islam tidak mungkin sebodoh itu dalam memahami agama.
Tuduhan ini justru datang dari orang-orang kafir
jahat yang ingin menusukkan belati karatan ke jantung agama Islam. Namun
sayangnya, begitu banyak umat Islam yang awam dan tidak pernah belajar ilmu
syariah merasa terpesona dengan rayuan orang-orang kafir itu. Sehingga tanpa
sadar mereka justru ikut-ikutan mencela agama sendiri.
Sesungguhnya para ulama di dalam tiap-tiap mazhab
itu tidak lain adalah para peneliti, pakar dan begawan-begawan yang paling
tinggi derajatnya dalam bidang istimbat hukum. Mereka itu sudah hafal Al-Quran
luar kepala sejak balita, menghafal minimal setengah juga hadits, baik matan
atau sanadnya, sekaligus juga pakar dalam bidang penelitian keshahihan setiap
hadits itu.
Penting untuk diketahui
bahwa pendapat para ulama di tiap-tiap mazhab itu sudah terbentuk sejak lebih
dari 13 abad yang lalu, dan sampai hari ini tidak pernah tumbang atau runtuh.
Teori dan hasil ijtihadnya malah semakin berkembang, meski zaman sudah berubah.
Maka pikiran rendah kita yang berhayal bahwa
mazhab-mazhab itu bisa disalah-salahkan seenaknya oleh kita yang tidak punya
potongan sebagai peneliti adalah hal yang justru semakin menampakkan keawaman
dan sempitnya wawasan kita saja.
Kalau pakar dan peneliti yang paling ahli masih
kita salah-salahkan juga, lalu kita mau ikuti siapa lagi? Apakah kita berguru
kepada ustadz yang baru kemarin belajar IQRO' belajar mengeja Al-Quran? Ataukah
bertaqlid buta kepada ustadz yang baru belajar mengucap hadza hadzihi dalam
pelajaran Bahasa Arab? Jawabanya tentu saja tidak.
Dua Pendapat Berbeda Tapi Keduanya Benar
Barangkali banyak di antara kita yang masih
berpikir secara sederhana, yaitu kebenaran itu selalu hanya ada satu dan tidak
mungkin ada dua kebenaran. Teori ini memang ada benarnya, selama digunakan pada
tempatnya. Tetapi sayangnya, teori ini sering diterapkan bukan pada tempatnya,
sehingga bukan teorinya yang salah, tetapi penempatannya yang keliru.
Teori bahwa kebenaran itu hanya ada satu itu
tidak bisa main pasang seenaknya. Teori macam ini hanya bisa dipakai dalam
masalah-masalah yang fundamental, misalnya tentang kebenaran agama Islam
dibandingkan agama-agama samawi lainnya. Atau tentang adanya Tuhan dibandingkan
teori Atheisme yang masih meragukan keberadaan-Nya.
Namun teori ini tidak bisa dipakai untuk hal-hal
yang bersifat ijtihadi dan ruang lingkup wilayah furu'iyah agama. Alasanya
karena masalah furu'iyah agama itu sejak awal memang sudah diberikan ruang
untuk berbeda-beda. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits shahih sendiri
sudah memberi ruang yang luas untuk terjadinya perbedaan itu.
Para ulama sering menggunakan istilah muwassa'
(luas) ketika mengomentari masalah yang sangat dimungkinkan terjadinya
perbedaan. Dan biasanya yang jadi titik perbedaan pendapat adalah masalah-masalah
yang tidak ada dalilnya secara tegas, atau ada dalilnya tetapi satu dalil
dengan dalil lain saling bertentangan, meskipun sederajat dalam masalah
keshahihannya.
Misalnya:
hukum membaca bismillah di awal surat al-Fatihah. Ada tiga pendapat. 1). Bismillah
bagian dari al-Fatihah. Dalilnya, Abu Hurairah menjaharkan bacaan bismillah dan
mengatakan, inilah shalat yang mirip dengan shalat Nabi saw. (HR Nasai, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban).
2).
Bismillah terpisah dengan al-Fatihah. Membacanya sunnah tapi tidak harus
dijaharkan. Dalilnya: hadits Anas yang mengatakan bahwa khulafaur Rasyidin
tidak menjaharkannya (HR Nasai, Ibnu Hibban dan ath-Thahawi).
3).
Bismillah bukan bagian dari al-Fatihah dan tidak perlu dibaca. Ini pendapat
lemah.
Ibnul
Qayyim menyimpulkan, Nabi saw sesekali menjaharkan, kadang mensirkan bismillah,
tapi beliau lebih sering mensirkannya. (Fiqhus Sunnah I/149).
Pedoman Memilih Pendapat
Adapun terkait dengan pedoman dalam memilih
pendapat dari perbedaan pendapat para ulama, kriterianya bukan benar atau
salahnya. Sebab semuanya relatif benar, setidaknya menurut masing-masing mazhab
itu sendiri. Kita tidak berhak untuk menyalahkan apa-apa yang
sudah diijtihadkan oleh para pakar di bidangnya.
Jadi dasarnya bukan benar atau salah, melainkan
dasarnya bisa bermacam-macam. Misalnya kita lebih memilih dimana kita punya
akses informasinya secara lengkap. Atau misalnya pendapat yang paling mashlahat
untuk diterapkan. Atau boleh juga karena merupakan pendapat mayoritas atau
karena suatu pendapat itu kita anggap lebih berhati-hati.
a.
Pendapat yang Kita Kenal Secara
Benar
Pertimbangan pertama dalam memilih tentu kalau
kita sudah mengenalnya. Ibarat pilkada dan pemilihan umum, kita biasanya
memilih calon yang kita sudah kenal sebelumnya. Bukan berarti kita mengatakan
bahwa pilihan kita pasti benar, tetapi setidaknya kita kenal orangnya.
Sedangkan calon lain yang tidak kita pilih bukan berarti dipastikan jahat,
hanya saja kalau tidak kenal tentu kita agak ragu.
Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya kita
tinggal di Jakarta dan mau ke Bogor. Ada banyak rute alternatif yang bisa kita
lalui, misalnya lewat jalan TOL Jagorawi, atau lewat jalan biasa Cibinong, atau
lewat Depok Citayam, bahkan bisa juga lewat Parung. Dari semua rute itu, tidak
ada satupun rute yang sesat atau keliru, semua rute pasti benar.
Namun kenapa Saya pilih jalan TOL Jagorawi dan
bukan lewat Parung, karena yang saya tahu cuma lewat jalan TOL Jagorawi saja.
Sedangkan lewat Parung belum pernah saya lalui. Boleh jadi lewat Parung itu
malah lebih baik, namun karena saya tidak tahu, tentu tidak jadi pilihan saya.
Demikian pula ketika memilih pendapat yang
berbeda dari para ulama mazhab yang empat, boleh saja pertimbangannya adalah
karena pendapat itu sudah saya kenal sejak awal. Misalnya terkait dengan
najisnya kotoran hewan yang dalam mazhab Asy-Syafi'iyah dianggap najis
sedangkan dalam mazhab Al-Hanabilah dianggap bukan najis.
Sebagai orang Indonesia yang dibesarkan dengan
akar kultur mazhab Asy-Syafiiyah, sangat masuk akal kalau saya tidak mau shalat
manakala sejadah saya terkena kotoran ayam. Sebab yang saya tahu kotoran ayam
itu najis dan tidak sah shalat saya ini kalau tempat shalatnya ada najisnya.
Sikap seperti ini sangat manusiawi, masuk akal dan wajar sekali.
Dari sanalah kemudian muncul anjuran untuk
berpegang teguh hanya kepada satu mazhab saja. Sebenarnya alasannya karena
biasanya kita lebih mudah belajar satu mazhab ketimbang belajar sekaligus empat
mazhab. Penulis sendiri pun sejak kecil belajar satu mazhab dulu, baru kemudian
ketika kuliah terkena kewajiban belajar empat mazhab. Sebab jurusan di dalam
fakultas syariahnya adalah jurusan perbandingan mazhab.
Namun tidak semua orang berkesempatan belajar
fiqih dengan jalur empat mazhab sekaligus. Umumnya guru agama kita mengajarkan
hanya satu mazhab saja, karena memang hanya sampai disitu saja kemampuannya.
Adapun mazhab lainnya, kenapa tidak digunakan,
tentu alasannya sangat masuk akal, yaitu karena kita tidak tahu atau belum
pernah mempelajarinya dengan baik dan lengkap. Maka justru kita tidak boleh
mempraktekkan hal-hal yang kita belum pelajari dengan benar. Sebab nanti bisa
keliru dan salah jalan sendiri.
b. Pertimbangan Kemaslahatan
Pertimbangan lainnya dalam memilih suatu pendapat
adalah masalah kemaslahatan. Mana yang lebih maslahat bagi diri kita dan orang
lain, tentu saja lebih direkomendasikan kita jadikan pilihan kita.
Misalnya kita tinggal di daerah orang-orang yang
100% bermazhab Asy-syafi'iyah, yang mana mereka pasti melakukan qunut pada
rakaat terakhir shalat shubuh. Tentu menjadi sangat tidak bijak kalau kita
menjadi imam, lantas kita sengaja meninggalkan doa qunut pada saat shalat
shubuh. Meskipun kita tahu bahwa di dalam mazhab lainnya seperti mazhab
Al-Hanafiyah, qunut shubuh itu dianggap bid'ah atau terlarang.
Sebab hal itu akan menjadi masalah tersendiri
buat masyarakat itu. Kita telah membakar masalah 'panas' yang kurang ada unsur
maslahatnya. Ibaratnya kita membangunkan macan kelaparan yang sedang tidur.
c. Pertimbangan Pendapat Mayoritas
Selain kedua pertimbangan di atas, ada lagi yang
juga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pendapat, yaitu
pertimbangan faktor pendapat mayoritas ulama.
Contohnya masalah posisi membaca surat Al-Fatihah
di dalam tiap rakaat shalat. Jumhur ulama sepakat bahwa posisinya adalah rukun,
kalau tidak dibaca maka shalat kita tidak sah dan harus diulang. Di sisi lain,
ada pendapat yang menyendiri dari mazhab Al-Hanafiyah, dimana mazhab ini
mengatakan bahwa surat Al-Fatihah itu bukan rukun, sehingga shalat tetap sah
meski kita tidak membacanya. Dan sebagai gantinya dalam mazhab ini kita cukup
membaca ayat-ayat tertentu yang mudah bagi kita.
Tentu sangat logis dan masuk akal kalau kita
lebih memilih pendapat jumhur ulama yang mengharuskan kita membaca surat
Al-Fatihah pada tiap rakaat shalat. Waktu kita memakai pendapat jumhur ulama
ini, pertimbangannya karena nyaris mayoritas ulama mewajibkannya, hanya
segelintir saja yang tidak mewajibkannya.
Logika seperti ini juga wajar, manusiawi dan
sangat masuk akal. Kita boleh menjadikan hal-hal yang menjadi kesepakatan
jumhur ulama sebagai bahan pertimbangan dalam memilih suatu pendapat.
d. Pertimbangan Kehati-hatian
Pertimbangan lain yang juga direkomendasikan
untuk digunakan dalam memilih suatu pendapat adalah dari sisi kehati-hatian.
Kalau ada dua pendapat yang berbeda, satu bilang halal dan satu bilang haram,
maka sangat masuk akal kalau kita mengambil posisi berhati-hati.
Contohnya adalah masalah sentuhan kulit secara
langsung antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan. Ada
pendapat yang mengatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu dan ada pendapat yang
bilang tidak membatalkan wudhu'.
Sungguh sangat baik dan masuk akal serta amat wajar
kalau kita berhat-hati, meski pun ada pendapat yang bilang bahwa hal itu tidak
membatalkan wudhu', tetapi kita tetap berwudhu' demi kehati-hatian. Sebab
berhati-hati dalam masalah agama itu baik, selama tidak sampai berlebih-lebihan
atau ghuluw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar