Rabu, 02 April 2014
Hukum Suap Menyuap (Ar-Risywah) (1)
KEGIATAN suap-menyuap kendati telah diketahui keharamannya namun tetap saja gencar dilakukan orang-orang, entah itu untuk meraih pekerjaan, pemenangan hukum hingga untuk memasukan anak ke lembaga pendidikan pun tak lepas dari praktik suap-menyuap.
Lumrah kita mendengar sekarang ini, misalnya untuk memasukkan anak ke sekolah yang bonafid, tidak cukup hanya bermodal nilai UN yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang banyak untuk meloloskan sang anak. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Dan yang lebih menyedihkan lagi, mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang mengaku muslim.
Padahal jelas-jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan bagi seorang muslim sangat mengecam keras para pelaku suap-menyuap itu.
Islam sebagai agama yang sempurna (syamil) sangat mengharamkan praktik suap-menyuap bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutuk (melaknat) para pelaku hingga penghubung suap-menyuap sebagaimana hadits tersebut.
Suap-menyuap dalam Islam disebut juga ar-Risywah, Ibnu Atsir dalam an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar mendefiniskan; ar-Risywah adalah usaha memenuhi hajat (kepentingannya) dengan membujuk. Kata ar-Risywah sendiri berarti Tali yang menyampaikan timba ke air.
Jadi, ar-Risywah adalah pemberian apa saja (berupa uang atau yang lain) kepada penguasa, hakim atau pengurus suatu urusan agar memutuskan perkara atau menangguhkannya dengan cara yang bathil.
Dengan cara bathil inilah sebuah ketentuan berubah, sehingga menyakiti banyak orang dan wajarlah jika Rasulullah mengutuk/melaknat para pelaku suap-menyuap.
Dalil al-Quran tentang Keharamannya
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian memakan harta-harta diantara kalian dengan cara yang bathil,” [QS. Al-Baqarah: 188].
Imam al Qurthubi mengatakan, ”Makna ayat ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal dengan putusan hakim,” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711).
Diakui atau tidak, praktik suap-menyuap merupakan cara-cara bathil memakan harta kaum muslimin.
Allah Ta’ala juga berfirman,“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya,” [QS. al-Maidah: 32].
Praktik suap-menyuap jika kita pahami lebih mendalam akan dampak negatifnya, sebenarnya merupakan pembunuhan terhadap kesempatan orang lain dan artinya ia telah membunuh seluruh manusia. Karenanya pantas jika ayat tersebut diatas diarahkan kepada para pelaku suap-menyuap yang telah curang dalam suatu urusan sehingga menyebabkan orang lain kehilangan jiwanya dan kehilangan kesempatannya.
Dan firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” [QS. al-Baqarah: 172]
Ayat tersebut merupakan dalil umum yang memerintahkan orang-orang yang mengaku beriman untuk mencari rezki yang halal dengan cara-cara yang halal, bukan malah sebaliknya mencari yang halal dengan cara yang haram atau mencari haram dengan cara yang haram pula. Dan suap-menyuap -tidak diragukan lagi- adalah cara yang bathil dalam mencari rezki sehingga praktik tersebut diharamkan oleh Allah Ta’ala. [al atsar]
BERSAMBUNG
http://www.islampos.com/hukum-suap-menyuap-ar-risywah-1-57816/#
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar