Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
Para
ulama fiqih menyepakati bahwa umur bayi yang berada di dalam kandungan ibunya
minimal enam bulan, batasan ini disandarkan kepada sebuah atsar (perkataan
sahabat) bahwa dulunya ada seorang laki-laki yang menikah, lalu dalam kurun
waktu enam bulan dari pernikahannya mereka sudah memperoleh anak. Melihat
kenyataan seperti ini, Utsman bin Affan kaget, dan terdetik di dalam hatinya
untuk menghukum mereka dengan sangkaan zina, lalu datanglah Ibnu Abbas,
kemudian memberikan penjelasan.
Mula-mula,
Ibnu Abbas membacakan potongan sebuah sebuah ayat berikut:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا
“...mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(QS. Al-Ahqaf: 15)
Lalu
Ibnu Abbas melanjutkan penjelasannya dengan membaca ayat lainnya:
وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ
كَامِلَيْنِ
“Para
ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS. Al-Baqarah:
233).
Ibnu
Abbas mengatakan bahwa ayat yang pertama memberikan penjelasan kepada kita
tentang rentang waktu kehamilan hingga
menyapih anak dari susuan ibunya selama tiga puluh bulan, sedang ayat kedua
menjelaskan kepada kita tentang waktu menyusui yaitu selama dua tahun (atau
sama dengan dua puluh empat bulan).
Jika
waktu hamil sampai menyapih dikurangi waktu menyusui maka hasilnya adalah enam
bulan, dan itulah sekurang-kurangnya umur kehamilan.
Waktu
tersebut dihitung dari aqad nikah dan kemungkinan berkumpulnya suami dan istri,
begitu menurut mayoritas ulama. Sedangkan dalam madzhab Hanafi waktu tersebut
terhitung dari mulai adanya aqad.
Sedangkan
untuk umur kehamilan paling lama, para ulama fiqih berbeda pendapat, ada yang
berpendapat umurnya sembilan bulan, ada juga yang berpendapat umurnya dua tahun,
pendapat lainnya menyebutkan empat tahun, dan ada lagi yang berpendapat bahwa
usia kehamilan paling lama itu adalah lima tahun. Semua pendapat itu
berdasarkan data-data riwayat kehamilan yang didapat, baik melalui riwayat atau
juga lewat data usia kehamilan yang ada pada masyarakat dimana mereka hidup.[1]
Usia Kehamilan
Versi Kedokteran
Dalam
dunia kedokteran, normalnya usia kandungan itu berkisar antara 32 sampai 42
minggu. Jika kurang dari umur 32 minggu itu disebut dengan prematur, dan jika
lebih dari 42 minggu disebut dengan posmatur.
Biasanya
bayi prematur itu umurnya tidak kurang dari 28 minggu. Memang ada bayi yang
terlahir di bawah usia 28 minggu, akan tetapi kelahiran seperti ini sangat
memprihatinkan, berat bayi biasanya kurang dari 1000 gr (1 kg), untuk itu
kemungkinan hidup sangat sulit.
Dunia
kedokteran juga mengenal istilah abortus, untuk kelahiran dalam usia kandungan
kurang dari 20 minggu, dan biasanya berat cabang bayi juga kurang dari 500 gr
(0,5 kg). Kelahiran dalam katagori ini lebih sangat tidak mungkin, karena yang
seperti ini dianggap keguguran, dan memang istilah abortus itu sendiri artinya
adalah keguguran.
Hanya
bayi prematur sajalah yang kemungkinan bisa diselamatkan, dan pastinya bayi
prematur itu terlahir dari usia kandungan diatas 20 minggu dan dibawah 32
minggu.
Jadi,
dari penjelasan ini setidaknya kita akan mendapat titik temu antara pendapat
fiqih dan pendapat kedokteran, dimana hanya bayi yang lahir prematur sajalah
yang memungkinkan untuk hidup, rentang waktunya berkisar antara usia di atas 20
minggu (di atas 5 bulan) hingga usia 32 minggu (8 bulan).
Jika
kurang dari itu, dalam fiqih maupun kedokteran yang seperti ini sangat sulit
terjadi (mustahil), karena kelahiran abortus dengan usia kehamilan di bawah 20
minggu, dan biasanya juga dengan berat badan kurang dari 500gr sulit untuk
selamat.
Status Anak yang
Lahir
Rasulullah saw
bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya:
“Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan
(firasy) dan bagi pezina adalah batu
(dihukum)“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata
al-Firasy pada hadits di atas difahami dengan makna hubungan pernikahan
(az-zaujiyyah), artinya anak itu bisa dinasabkan jika orang tuanya memiliki
hubungan pernikahan dengan ibunya. Namun di sini ada sedikit perbedaan antara
mayoritas ulama dengan mazdhab Hanafi:
a. Mayoritas Ulama
Jumhur
ulama berpendapat bahwa hubungan pernikahan yang dimaksud dalam kata al-firasy
pada hadits di atas, harus memenuhi dua unsur sekaligus. Yakni: adanya aqad
yang sah dan memungkin dari aqad yang sah itu terjadinya kehamilan.
Jika sang suami dari aqad yang sah
tadi ternyata mempunyai penyakit impoten, maka anak yang dihasilkan dari
pernikahan tersebut dipertanyakan. Atau jika ternyata istri melahirkan dalam
usia kehamilan kurang dari enam bulan setelah aqad, maka yang demikian juga
dipertanyakan. Atau jika seandainya terjadi aqad nikah jarak jauh, dimana tidak
memungkinakna bagi suami istri ini bertemu dalam rentang enam bulan setelah
aqad, maka jika dalam keadaan seperti ini ternyata istrinya melahirkan, maka
anak ini dipertanyakan.
Lebih
tegasnya tidak hanya dipertanyakan, namun menurut jumhur (mayoritas) ulama
kasus seperti ini tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibu tersebut.
Mungkin secara biologis kita bisa menasabkan anak tersebut dengan ayahnya,
namun secara syariat itu tidak boleh dilakukan.
b. Mazdhab Hanafi
Berbeda
dengan pendapat mazdhab Hanafi. Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i’ Ash-Shana’i',
juga Ibnu Abdin dalam kitabnya menyebutkan bahwa sebatas adanya aqad nikah yang
sah, maka cukup sudah alasan kita untuk menasabkan anak yang terlahir setelah
aqad tersebut walaupun mungkin dalam anggapan kita mereka tidak bertemu, dengan
syarat bahwa kelahiran tersebut minimal setelah enam bulan usia kehamilan
setelah aqad.
Jadi
akhirnya semua ulama tetap berpatokan kepada usia minimal kehamilan, dan sejauh
yang penulis ketahui tidak ada pendapat yang berbeda perihal batasan minimal
usia kehamilan. Enam bulan itu adalah satu-satunya angka yang disepakati oleh
para ulama fiqih.
Jadi
jika ada anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan usia pernikahan, maka
indikasi kuatnya bahwa sudah terjadi pembuahan sebelum aqad, yang semestinya
itu tidak boleh terjadi, karena yang demikian adalah perbuatan yang sangat keji
dalam Islam, walaupun dalam hal ini hakim yang berwenang juga harus hati-hati
dalam memutuskan perkara ini.
Perwalian Nikah
Mayoritas
ulama menjadikan wali itu sebagai rukun nikah, artinya tidak sah suatu
pernikahan jika tidak ada walinya. Keharusan adanya wali menurut jumhur ulama
didasarkan pada banyak dalil, baik dari Al-Quran maupun dari Sunnah, antara
lain firman Allah SWT :
وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواَ
“Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
hingga mereka beriman”.. (QS. Al-Baqarah : 221)
Ayat
ini mengisyaratkan bahwa dalam sebuah pernikahan itu harus ada wali yang
tugasnya menikahkan seorang wanita dan bukan wanita itu yang menikahkan dirinya
sendiri.
Di
samping itu Rasulullah saw yang
menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan
pelakunya bisa dianggap berzina.
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ
وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ
دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Dari
Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan
nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar
mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar,
maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu
Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)
Dari
Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ
"Tidak
ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)
Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :
لاَ تُزَوِّجُ المَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ
الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا
Dari
Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,"Janganlah seorang wanita
menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan
dirinya sendiri”. (HR. Ad-Daruquthny)
Abdullah
bin Abbas juga memberikan fatwanya terkait masalah perwalian ini, dimana beliau
mengatakan :
كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ
فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ
Semua pernikahan yang tidak dihadiri empat
pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.
Urutan Wali dan
Wali Hakim
Ulama-ulama
mazhab yang empat sedikit berbeda pendapat terkait masalah tertib wali, namun
di negri kita pendapat mazdhab Syafi’i lebih masyur dipakai. Imam Nawawi dalam
kitabnya Raudhah At-Thalibin menuliskan bahwa tertib wali dalam madzhab Syafi’i
itu adalah sebagai berikut:
Ayah
kandung, ayahnya ayah (kakek), saudara kandung, saudara seayah, anak laki-laki
dari saudara kandung, anak lak-laki dari saudara seayah, paman kandung, paman
seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman
seayah, kemudian hakim.
Kaidah
perwalian itu adalah mereka yang masuk dalam katagori ashabah, yaitu keluarga
laki-laki dari pihak ayah, bukan dari pihak ibunya.
Sedang wali hakim itu berguna untuk
menikahkan siapa saja yang tidak mendapati wali yang akan menikahkannya.
Rasulullah SAW bersabda:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Sulthan
(hakim) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmizi dan Ibnu Majah.)
Fatwa MUI
Dalam
fatwa MUI nomor: 11 Tahun 2012 tentang
kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya berisikan penjelasan
berikut:
1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki
yang menyebabkan kelahirannya.
2. Anak hasil zina
hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan
keluarga ibunya.
3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang
dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang
berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki
pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut; memberikan harta setelah ia meninggal melalui
wasiat wajibah.
6. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi
anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki
yang mengakibatkan kelahirannya.
Kompilasi Hukum
Islam
Dalam
pasal 99 KHI berbunyi bahwa anak yang sah adalah:
·
Anak yang
dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
·
Hasil pembuahan
suami istri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal
100 KHI berbunyi: “ Anak yang lahir diluar perkawin hanya mempunyai hubungn
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Hal
yang senada juga ada dalam pasal 42 UU Perkawinan, bab IX no 1 Tahun 1974.
Dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai
akibat perkawinan yang sah, yang masuk dalam katagori ini adalah:
·
Anak yang
dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
·
Anak yang dilahirkan
oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam)
bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
·
Anak yang
dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari
kebiasaan kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
Kesimpulan:
Ada
tiga tipe anak hasil zina atau yang lahir dari hubungan seks di luar nikah.
1.
Kedua orang tua biologis anak tidak menikah selama anak hamil. Maka anak ini
statusnya disebut anak zina. Kalau perempuan, yang jadi wali nikahnya adalah
wali hakim (KUA untuk Indonesia).
2.
Kedua orang tua biologis si anak menikah saat anak dalam kandungan. Maka, ayah
biologisnya sah menjadi ayah si anak dan berhak menjadi wali nikah. Meskipun
dalam hal ini terdapat banyak perbedaan, termasuk hukum menikahi wanita yang
sedang hamil.[2]
Jika
kita mengambil pendapat ulama yang membolehkan menikahkan wanita hamil dengan
laki-laki yang berzina dengannya, maka ada dua ketentuan:
-
Jika sang anak lahir enam bulan setelah akad nikah, maka si anak secara
otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
-
Jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnya
dipandang perlu melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak
memang benar-benar dari darah dagingnya.
3.
Ibu biologis anak menikah dengan pria lain (bukan dengan ayah biologis anak).
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.[3]
Status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Karena itu dinasabkan pada
ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya karena faktanya ia bukan ayah
biologisnya. Apabila anak tadi terlahir perempuan, maka yang menjadi walinya
adalah wali hakim atau pejabat KUA (Kantor Urusan Agama).
[1] Penjelasan tentang umur kehamiln
ini bisa kita temukan dibanyak kitab-kitab fiqih, seperti pada kitab Bidayah
Al-Mujtahid, Juz 2, hal. 352, Al-Bada’i' wa As-Shana’i', juz 3, hal 211, Mughni
Al-Muhtaj¸ juz 3, hal. 373, dan kitab Al-Mughni¸ juz 7, hal. 477-480, serta
kitab-kitab lainnya.
[2] Madzhab Syafi'i dan Hanafi
menganggap sah pernikahan ini tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan
alasan tidak ada keharaman pada anak zina karena tidak ada nasab (keturunan).
Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab
VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari
BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di luar
nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut
pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat
wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.
Kalangan sahabat Nabi saw yang
membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas.
Namun, beberapa sahabat Nabi saw
seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, al-Barra' dan Ibnu Mas'ud termasuk yang
mengharamkan pria menikahi wanita yang dizinainya. Karena itu, mereka tidak
menganggap sah pernikahan semacam ini. Ulama madzhab Maliki dan Hanbali juga
mengharamkan.
[3]
Menurut Madzhab Hanafi, boleh menikah tapi tidak boleh ada hubungan badan
sampai anak zina tadi lahir. لا توطأ حامل حتى تضع (HR Abu Daud dan al-Hakim). Sedangkan menurut
madzhab Syafi'i boleh menikah dan boleh berhubungan suami-istri. يجوز
نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. (Bughiyatul Mustarsyidin 1/419 karya Abdurrahman
bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar