Oleh: Hepi
Andi Bastoni, MA
(Ketua
Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
A.
Syariat Shalat Jumat
Para ulama
sepakat bahwa hukum melakasnakan shalat Jumat fardhu ain. Hal ini
berdasarkan firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru
untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui," (QS al-Jumuah: 9). Didukung
beberapa hadits berikut:
- "Hendaklah orang-orang itu berhenti dari
meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati
mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR.
Muslim)
- "Sungguh aku berniat menyuruh seseorang
(menjadi imam) shalat
bersama-sama yang lain, kemudian aku akan membakar rumah orang-orang yang
meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)
- "Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim,
dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba
sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HR. Abu Daud
dan Al-Hakim, hadits shahih)
B.
Mereka yang Wajib dan Tidak Wajib Shalat Jumat
Imam al-Qurthubi ketika menjelaskan kalimat “Hai
orang-orang beriman” dalam Surah al-Jumuah ayat 9, menyatakan bahwa ayat itu ditujukan
kepada orang-orang yang mukallaf menurut ijma’ ulama, sehingga tidak termasuk
orang sakit, musafir (sedang bepergian), budak, kaum wanita berdasarkan dalil
beberapa hadits, orang yang buta dan tua renta yang tidak mampu berjalan
kecuali dengan dituntun seseorang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah
saw bersabda,”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib
atasnya shalat Jum’at pada hari Jum’at kecuali orang sakit, musafir, wanita,
anak kecil, atau budak. Barangsiapa yang sedang mencari kekayaan dengan
berdagang cukuplah Allah baginya. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR.
Ad Daru Quthni) –(al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XVIII hal 346 – 347).
DR Wahbah az-Zuhaili menambahkan, shalat Jum’at
diwajibkan kepada seorang yang mukallaf (baligh dan berakal), merdeka,
laki-laki, orang yang mukim bukan musafir, tidak sedang sakit atau terkena
uzur-uzur lainnya serta mendengar suara adzan. Shalat jum’at tidaklah wajib
atas anak kecil, orang gila dan sejenisnya, budak, wanita, musafir, orang
sakit, takut, buta walaupun ada orang yang menuntunnya menurut Abu Hanifah,
tapi menurut para ulama Maliki dan Syafi’i wajib baginya jika ada orang yang
menuntunnya.
Beliau juga mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dari Nabi saw yang bersabda,”Shalat jum’at adalah kewajiban seorang
muslim yang dilakukan dengan berjama’ah kecuali terhadap empat golongan :
budak, wanita, anak kecil atau orang yang sakit.” (al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu juz II hal 1285).
C.
Shalat Jumat bagi Wanita
Para ulama sepakat tentang tidak wajibnya wanita untuk
shalat Jumat. Mereka berbeda pendapat tentang hukumnya.
Madzhab Hanafi berpendapat: lebih baik bagi
wanita melaksanakan Zhuhur di rumahnya, baik tua maupun muda. Sebab shalat
Jama'ah (termasuk Jumatan) tidak di syariatkan (wajibkan) kepada mereka.
Madzhab Maliki berpendapat: apabila seorang
wanita yang sudah tua dan tidak menarik perhatian laki laki, dibolehkan
melaksanakan shalat Jum'at. Kalau bukan demikian makruh hukumnya. Jika
seorang wanita muda dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah, baik di perjalanan
menuju masjid atau kehadirannya di masjid, maka haram
baginya demi menghindari hal hal yang tidak diingini.
Madzhab Syafi'i berpendapat: makruh hukumnya bagi
wanita menghadiri jama'ah secara mutlak, baik Jum'at maupun yang lain. Khususnya
jika ia seorang gadis yang sudah pantas menikah walaupun memakai pakaian usang
(tidak menarik perhatian), begitu juga bagi selain mereka bila berhias dan memakai
wangi wangian. Adapun bagi wanita yang sudah tua dan
keluar dengan pakaian usang juga tidak memakai wangi wangian, (pendeknya
sama sekali tidak menimbulkan perhatian laki laki), maka dibolehkan bagi mereka
menghadiri shalat Jum'at tanpa paksaan. Itupun dengan dua syarat: mendapat izin
dari walinya dan tidak dikhawatirkan fitnah.
Madzab Hambali berpendapat: dibolehkan bagi
wanita melaksanakan shalat Jum'at, (hukumnya mubah), dengan syarat tidak
berhias dan mempercantik diri. Namun jika berhias, hukumnya
makruh secara mutlak.
Secara umum bisa dipahami, tak ada larangan bagi kaum
wanita untuk menghadiri shalat Jumat jika mereka mau selama kehadirannya tidak
menimbulkan fitnah bagi orang-orang di dalam masjid, sebagaimana sabda
Rasulullah saw,”Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian dari mendatangi
masjid, dan (sesungguhnya) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR.
Ahmad dan al Hakim).
Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah Lil Ifta (Arab Saudi)
menegaskan, shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, tapi jika seorang
wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam, shalatnya sah. Jika ia
melaksanakan shalat seorang diri di rumah, ia harus melaksanakan shalat Zhuhur
sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu
shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang
wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri. [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148].
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum’at bersama
imam Jum’at, maka telah cukup shalat Jum’at itu untuk menggantikan pelaksanaan
shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada
hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya
untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya
melaksanakan shalat Jum’at. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212,
fatwa nomor 4147]. Pendapat ini disebutkan juga oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’
Syahrul Muhadzdzab (4/495) .
Pada zaman Rasulullah saw sebagian sahabat wanita mampu
menghafalkan surat Qaff dari lisan Rasulullah saw saat shalat Jum’at. Hal ini
menunjukkan bahwa pada masa itu kaum wanita ikut serta menghadiri shalat Jum’at
bersama kaum pria dan tidak ada larangan terhadap mereka dari beliau saw,
sebagaimana diriwayatkan dari putri Haritsah bin an Nu’man berkata,”Tidaklah
aku menghafal surat Qaff kecuali dari bibir Rasulullah saw saat beliau saw
berceramah dengannya setiap hari Jum’at.” (HR. Muslim).
D.
Waktu Shalat Jumat
Waktu shalat Jum’at sama dengan waktu Zhuhur, yaitu dari
tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya. Dalil
mengenai ketentuan waktu shalat Jum’at adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dalam kitab “Shahih Bukhari” dari Anas bin Malik, Nabi saw melaksanakan
shalat Jum’at ketika matahari condong (tergelincir).”
Imam Muslim meriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ia
berkata, “Kami melaksanakan shalat jum’at bersama Rasulullah saw ketika
matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan.”
E.
Hukum Shalat Qabliyah Jum’at
Tiga mazhab (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah)
menyatakan bahwa shalat qabliyah Jumat itu tidak ada dasar
pensyariatannya. Sedangkan satu mazhab lagi yaitu asy-Syafi'iyah menyatakan
sebaliknya. Inti perbedaan pendapat mereka terletak pada hadits-hadits
yang meriwayatkan praktik shalat qabliyah Jumat itu. Di mana mereka yang
menafikannya mengatakan bahwa tak ada satu pun hadits tentang itu yang shahih.
Yang ada hanyalah hadits-hadits lemah.
Namun asy-Syafi'iyah memang tidak melandaskan pendapatnya
pada hadits yang lemah sebagaimana dituduhkan. Ia mengambil jalan qiyas,
yaitu meng-qiyaskan shalat Jumat dengan shalat Zhuhur. Sehingga kalau
sebelum shalat Zhuhur disunnahkan melakukan shalat sunnah sebelumnya, maka
demikian juga dengan shalat Jumat, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah
sebelumnya.
F.
Adzan Dua Kali pada Shalat Jum’at
Pada zaman Rasulullah saw, adza shalat Jum'at hanya
sekali, yaitu ketika khatib naik mimbar dan duduk. Ketika zaman Utsman bin
Affan dan banyaknya umat Islam di Madinah, maka ia menganjurkan adzan pertama
untuk mengingatkan penduduk Madinah akan masuknya waktu shalat Jum'at, agar
mereka bergegas ke Masjid. (HR Bukhari, Baihaqi dll). Pendapat Utsman ternyata
tidak ditentang para sahabat lain yang ada saat itu, sehingga ini merupakan Ijma'
Sahabat.
G.
Jumlah Jamaah Shalat Jum’at yang Sah
Para
imam mazhab sepakat bahwa shalat Jum’at itu tidak sah kecuali dilaksanakan
dengan berjamaah. Namun mereka berselisih pendapat tentang jumlah jamaah yang
sah untuk shalat Jum’at. Sayyid sabiq dalam Fiqhus Sunnahnya menyebutkan, dalam
hal ini ada 15 pendapat sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam Fathul Bari-nya. Berikut pandangan dari beberapa madzhab- tersebut:
Hanafiyah:
Jamaah yang sah untuk shalat Jum’at disyaratkan tiga orang selain imam,
sekalipun mereka tidak menghadiri khutbah Jum’at.
Malikiyah: Batas minimal jumlah jamaah yang
sah untuk shalat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam.
Syafi’iyah dan Hanabilah: Jamaah yang sah
untuk shalat Jum’at jumlahnya empat puluh orang beserta imamnya. Maka shalat
Jum’at itu tidak sah dengan jumlah jamaah kurang dari itu.
Karena
tak ada hadits yang menyebutkan jumlah jamaah shalat Jumat, maka tak ada
ketentuan pasti. Bahkan, ada yang mengatakan dua orang sudah memenuhi syarat
shalat Jumat karena bisa dilaksanakan secara berjamaah. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar