Tak ada larangan bagi seorang Mukmin untuk hidup
berkecukupan. Bahkan, banyak hadits menjelaskan agar kita berlindung dari
kefakiran.
Mungkin ada yang “mengkomplain”, mengapa Imam Nawawi menulis Bab
Keutamaan Fakir dalam kitabnya Riyadhus Shalihin (halaman 171-180).
Bagaimana mungkin seorang fakir memiliki keutamaan sedangkan Nabi saw telah
berlindung kepada Allah dari kefakiran? Dalam sabdanya Nabi berkata, "Berlindunglah
kalian kepada Allah dari kefakiran, kekurangan, kehinaan dan dari berbuat zalim
atau dizalimi," (Silsilah Shahihah, no 1445).
Jika direnungi, ucapan Imam Nawawi tersebut ternyata
mempunyai makna begitu dalam. Imam Nawawi memang mengetahui bahwa Nabi saw
mengajarkan agar kita berlindung dari kefakiran. Ucapan Imam Nawawi itu untuk menekankan sekaligus mengingatkan kita
tentang besarnya pahala bagi orang yang lulus dari ujian kefakiran. Agar bisa
lulus dari ujian ini, seseorang harus mengantongi syaratnya. Di antara syarat
itu adalah selalu membiasakan diri berlindung kepada Allah SWT dari keburukan
kefakiran. Dan, Rasulullah saw telah memerintahkan kita agar berlindung dari
kefakiran ini.
Syarat lainnya adalah rela terhadap segala ketetapan Allah SWT.
Seorang Muslim yang tertimpa kemiskinan atau kekurangan harta, hendaklah
bersabar dan rela dengan takdir Allah. Allah SWT tidak menciptakan kefakiran
melainkan hanya untuk memilah dan menguji hamba-Nya. Allah SWT menjelaskan hal
itu dengan sangat gamblang dalam firman-Nya, “Dan sungguh akan Kami berikan
cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa
lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun,’" (QS al-Baqarah: 155-156).
Kita perhatikan bagaimana Allah SWT menjadikan kekurangan harta sebagai
bagian dari bala' yang dengannya Dia menguji manusia. Bagaimana pula
Allah SWT menisbatkan ujian tersebut dari diri-Nya dalam firman-Nya, "Sungguh
Kami berikan cobaan kepada kalian." Kemudian perlu kita renungkan pula
bagaimana Allah menyebut kekurangan harta sebagai musibah, bagaimana pula Dia
memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar menerima ujian kefakiran
dan kekurangan tersebut. Dia pun mengajarkan kepada mereka adab kesabaran
berupa istirja' (mengembali kan urusan kepada Allah dengan mengucap inna
lillahi wa inna ilaihi raaji'un) dan menjanjikan bagi mereka rahmat dan
kesejahteraan.
Kita diciptakan di muka bumi ini, namun kadang terhalang untuk mendapatkan
kelezatannya. Itu tidak lain untuk menguji kadar keimanan agar diketahui
bagaimana kita bersikap.
Semua yang ada di muka bumi ini sedang diuji. Orang
fakir diuji dengan kefakirannya. Orang kaya diuji dengan kekayaannya. Ketika
Allah SWT memuliakan Nabi Sulaiman dengan harta dan kerajaan maka beliau
berkata, "Ini adalah keutamaan dari Rabbku, untuk mengujiku apakah aku
bersyukur ataukah justru kafir." Maka selayaknya seorang fakir juga
berkata, "Ini adalah ketetapan Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersabar
ataukah ingkar." Bahkan Rasulullah saw menjelaskan bahwa ujian kefakiran
itu lebih ringan dibandingkan ujian kekayaan. Karena itu, Islam tidak melarang
pemeluknya untuk hidup berkecukupan. Sebaliknya, kemiskinan dan kefakiran bisa
menyebabkan lemahnya iman.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan lahirnya
kefakiran.
Pertama, lemah dan malas. Penyakit lemah dan malas
terkadang menjadi salah satu penyebab kefakiran. Padahal, Allah SWT menciptakan
manusia dalam keadan memiliki potensi untuk berusaha dan bekerja di muka bumi,
serta diberi kemampuan untuk berjuang mencari rezeki. Allah berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah,” (QS al-Balad: 4).
Kita benar-benar dilahirkan dalam
keadaan “miskin”. Bahkan, sekadar pakaian yang melekat pun kita tak punya. Kita
dilahirkan dalam kondisi tak punya apa-apa. Kondisi susah payah ini
mengharuskan seseorang untuk berusaha, bekerja keras dan berjuang untuk
memperoleh rezeki dan keberkahan. Karenanya, Rasulullah saw mengajarkan kepada
kita agar berlindung dari sikap malas dan lemah. Beliau bersabda, "Ya
Allah aku berlindung kepadamu dari kegelisahan dan kesedihan, dari sifat lemah
dan malas, dari sikap pengecut dan kikir, dari belitan hutang dan tekanan orang,"
(HR Bukhari).
Kedua, dosa dan maksiat. Kefakiran dan kemelaratan merupakan
bagian dari musibah yang kadang disebabkan oleh kemaksiatan. Hal ini tercermin
dari firman Allah SWT, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar
(dari kesalahan-kesalahanmu),” (QS asy-Syura: 30).
Lebih tegas lagi Rasulullah saw mengingatkan, "Sesungguhnya seorang
hamba terhalang dari rezeki dengan sebab dosa yang dia kerjakan," (HR
Ahmad dan Ibnu Majah).
Ibu Abbas menambahkan, "Sesungguhnya kebaikan itu sinar di wajah,
cahaya di dalam hati, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, kecintaan di
dalam hati setiap orang. Sedangkan keburukan adalah kemuraman di wajah,
kegelapan di hati, kelemahan di badan, mengurangi rezeki, dan penyebab
kebencian di hati orang.”
Karena itu selayaknya masing-masing kita melihat seberapa banyak telah
melakukan dosa, menyia-nyiakan shalat, kurang takut kepada Allah SWT, tidak mau
bersilaturahim dengan kerabat, buruk pergaulan dengan sesama Muslim dan
lain-lain. Kalau kita menyadari, maka sungguh tidak ada seorang pun di antara
kita yang lepas dari berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi saw, "Seluruh
bani Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertaubat," (HR Tirmidzi).
Ketiga, merupakan bentuk kasih sayang Allah. Allah SWT Maha
Tahu. Boleh jadi jika seorang hamba diberi kekayaan, justru akan menjadikannya
celaka di dunia dan di akhirat, atau akan menjadi kan dia sombong dan besar kepala
yang berakibat pada turunnya siksa dan bencana. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya
Allah Ta'ala menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia ini, padahal Dia
mencintainya. Sebagaimana kalian semua berhati-hati (menjaga) orang sakit dalam
memberi makan dan minum, karena khawatir terhadapnya," (HR Ahmad).
Keempat, ditetapkan memperoleh kedudukan di sisi Allah SWT. Di
antara kemuliaan dan kemurahan Allah SWT adalah Dia memuliakan hamba-Nya
sebelum hamba itu melakukan suatu prestasi, dan Dia telah menulis untuk seorang
hamba satu kedudukan yang tidak mungkin hamba tersebut mencapainya hanya dengan
amal perbuatannya. Sehingga dia memberikan kebaikan dengan cara mengujinya,
baik itu dalam harta, anak, atau badannya. Nabi saw bersabda,
"Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditulis baginya satu kedudukan yang
tidak mampu dia capai dengan amalnya, maka Allah mengujinya di dalam harta atau
badan atau anaknya," (HR Abu Daud).
Dengan merenungi keempat hal tersebut, insya Allah kita bisa berlindung
dari kemiskinan. Dan, tak ada dalil yang melarang seorang Mukmin untuk hidup
berkecukupan. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk berlindung dari kefakiran.
FB : Hepi Andi II/twitter : @andibastoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar