Kamis, 04 Desember 2014

Berlindung dari Kemiskinan

Tak ada larangan bagi seorang Mukmin untuk hidup berkecukupan. Bahkan, banyak hadits menjelaskan agar kita berlindung dari kefakiran.


Mungkin ada yang “mengkomplain”, mengapa Imam Nawawi menulis Bab Keutamaan Fakir dalam kitabnya Riyadhus Shalihin (halaman 171-180). Bagaimana mungkin seorang fakir memiliki keutamaan sedangkan Nabi saw telah berlindung kepada Allah dari kefakiran? Dalam sabdanya Nabi berkata, "Berlindunglah kalian kepada Allah dari kefakiran, kekurangan, kehinaan dan dari berbuat zalim atau dizalimi," (Silsilah Shahihah, no 1445).

Jika direnungi, ucapan Imam Nawawi tersebut ternyata mempunyai makna begitu dalam. Imam Nawawi memang mengetahui bahwa Nabi saw mengajarkan agar kita berlindung dari kefakiran. Ucapan Imam Nawawi itu untuk menekankan sekaligus mengingatkan kita tentang besarnya pahala bagi orang yang lulus dari ujian kefakiran. Agar bisa lulus dari ujian ini, seseorang harus mengantongi syaratnya. Di antara syarat itu adalah selalu membiasakan diri berlindung kepada Allah SWT dari keburukan kefakiran. Dan, Rasulullah saw telah memerintahkan kita agar berlindung dari kefakiran ini.
Syarat lainnya adalah rela terhadap segala ketetapan Allah SWT. Seorang Muslim yang tertimpa kemiskinan atau kekurangan harta, hendaklah bersabar dan rela dengan takdir Allah. Allah SWT tidak menciptakan kefakiran melainkan hanya untuk memilah dan menguji hamba-Nya. Allah SWT menjelaskan hal itu dengan sangat gamblang dalam firman-Nya, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, ‘Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun,’" (QS al-Baqarah: 155-156).
Kita perhatikan bagaimana Allah SWT menjadikan kekurangan harta sebagai bagian dari bala' yang dengannya Dia menguji manusia. Bagaimana pula Allah SWT menisbatkan ujian tersebut dari diri-Nya dalam firman-Nya, "Sungguh Kami berikan cobaan kepada kalian." Kemudian perlu kita renungkan pula bagaimana Allah menyebut kekurangan harta sebagai musibah, bagaimana pula Dia memberikan kabar gembira bagi orang-orang yang sabar menerima ujian kefakiran dan kekurangan tersebut. Dia pun mengajarkan kepada mereka adab kesabaran berupa istirja' (mengembali kan urusan kepada Allah dengan mengucap inna lillahi wa inna ilaihi raaji'un) dan menjanjikan bagi mereka rahmat dan kesejahteraan.
Kita diciptakan di muka bumi ini, namun kadang terhalang untuk mendapatkan kelezatannya. Itu tidak lain untuk menguji kadar keimanan agar diketahui bagaimana kita bersikap.
Semua yang ada di muka bumi ini sedang diuji. Orang fakir diuji dengan kefakirannya. Orang kaya diuji dengan kekayaannya. Ketika Allah SWT memuliakan Nabi Sulaiman dengan harta dan kerajaan maka beliau berkata, "Ini adalah keutamaan dari Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersyukur ataukah justru kafir." Maka selayaknya seorang fakir juga berkata, "Ini adalah ketetapan Rabbku, untuk mengujiku apakah aku bersabar ataukah ingkar." Bahkan Rasulullah saw menjelaskan bahwa ujian kefakiran itu lebih ringan dibandingkan ujian kekayaan. Karena itu, Islam tidak melarang pemeluknya untuk hidup berkecukupan. Sebaliknya, kemiskinan dan kefakiran bisa menyebabkan lemahnya iman.
Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan lahirnya kefakiran.
            Pertama, lemah dan malas. Penyakit lemah dan malas terkadang menjadi salah satu penyebab kefakiran. Padahal, Allah SWT menciptakan manusia dalam keadan memiliki potensi untuk berusaha dan bekerja di muka bumi, serta diberi kemampuan untuk berjuang mencari rezeki. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah,” (QS al-Balad: 4).
            Kita benar-benar dilahirkan dalam keadaan “miskin”. Bahkan, sekadar pakaian yang melekat pun kita tak punya. Kita dilahirkan dalam kondisi tak punya apa-apa. Kondisi susah payah ini mengharuskan seseorang untuk berusaha, bekerja keras dan berjuang untuk memperoleh rezeki dan keberkahan. Karenanya, Rasulullah saw mengajarkan kepada kita agar berlindung dari sikap malas dan lemah. Beliau bersabda, "Ya Allah aku berlindung kepadamu dari kegelisahan dan kesedihan, dari sifat lemah dan malas, dari sikap pengecut dan kikir, dari belitan hutang dan tekanan orang," (HR Bukhari).
Kedua, dosa dan maksiat. Kefakiran dan kemelaratan merupakan bagian dari musibah yang kadang disebabkan oleh kemaksiatan. Hal ini tercermin dari firman Allah SWT, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu),” (QS asy-Syura: 30).
Lebih tegas lagi Rasulullah saw mengingatkan, "Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rezeki dengan sebab dosa yang dia kerjakan," (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Ibu Abbas menambahkan, "Sesungguhnya kebaikan itu sinar di wajah, cahaya di dalam hati, kekuatan di badan, keluasan dalam rezeki, kecintaan di dalam hati setiap orang. Sedangkan keburukan adalah kemuraman di wajah, kegelapan di hati, kelemahan di badan, mengurangi rezeki, dan penyebab kebencian di hati orang.”
Karena itu selayaknya masing-masing kita melihat seberapa banyak telah melakukan dosa, menyia-nyiakan shalat, kurang takut kepada Allah SWT, tidak mau bersilaturahim dengan kerabat, buruk pergaulan dengan sesama Muslim dan lain-lain. Kalau kita menyadari, maka sungguh tidak ada seorang pun di antara kita yang lepas dari berbuat dosa, sebagaimana sabda Nabi saw, "Seluruh bani Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat," (HR Tirmidzi).
Ketiga, merupakan bentuk kasih sayang Allah. Allah SWT Maha Tahu. Boleh jadi jika seorang hamba diberi kekayaan, justru akan menjadikannya celaka di dunia dan di akhirat, atau akan menjadi kan dia sombong dan besar kepala yang berakibat pada turunnya siksa dan bencana. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah Ta'ala menjaga hamba-Nya yang beriman dari dunia ini, padahal Dia mencintainya. Sebagaimana kalian semua berhati-hati (menjaga) orang sakit dalam memberi makan dan minum, karena khawatir terhadapnya," (HR Ahmad).
Keempat, ditetapkan memperoleh kedudukan di sisi Allah SWT. Di antara kemuliaan dan kemurahan Allah SWT adalah Dia memuliakan hamba-Nya sebelum hamba itu melakukan suatu prestasi, dan Dia telah menulis untuk seorang hamba satu kedudukan yang tidak mungkin hamba tersebut mencapainya hanya dengan amal perbuatannya. Sehingga dia memberikan kebaikan dengan cara mengujinya, baik itu dalam harta, anak, atau badannya. Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya jika seorang hamba telah ditulis baginya satu kedudukan yang tidak mampu dia capai dengan amalnya, maka Allah mengujinya di dalam harta atau badan atau anaknya," (HR Abu Daud).
Dengan merenungi keempat hal tersebut, insya Allah kita bisa berlindung dari kemiskinan. Dan, tak ada dalil yang melarang seorang Mukmin untuk hidup berkecukupan. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk berlindung dari kefakiran.

Hepi Andi Bastoni
FB : Hepi Andi II/twitter : @andibastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar