Sepuluh hari berlalu dari Ramadhan 8 H. Sepuluh ribu
pasukan kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah. Langkah mereka pasti,
menuju Makkah. Di Marru Zhahran, Rasulullah saw dan pasukannya berhenti untuk
melaksanakan shalat Isya. Rasulullah saw memerintahkan seluruh pasukannya untuk
menyalakan obor. Dalam sekejap lembah itu terang benderang.
Ini salah satu taktik Rasulullah saw untuk menggetarkan hati musuh.
Ketika Abu Sufyan bin Harb dan beberapa tokoh Quraisy sedang
berkeliling di sekitar Makkah mencari berita, langsung terkejut melihat
banyaknya nyala obor. Dalam keterkejutan itu, mereka tidak bisa memperkirakan
berapa jumlah kaum Muslimin. Yang ada dalam pikiran mereka hanya satu: kekuatan musuh sangat besar!
Ketika mereka sedang diselimuti ketakutan, Abbas bin Abdul Muthalib datang memergoki.
Setelah terjadi perbincangan, akhirnya Abu Sufyan bertanya dengan suara
bergetar. “Sebaiknya apa yang saya lakukan?”
“Naiklah ke punggung hewan
tungganganku ini. Aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah saw dan meminta
jaminan untukmu,” jawab Abbas.
Abu Sufyan segera menuruti perintah Abbas. Abbas tidak sulit membawa Abu Sufyan ke hadapan
Rasulullah saw. Sebab, setiap
kali melewati pasukan kaum Muslimin, mereka dibiarkan berlalu. Pasukan itu
mengenal siapa Abbas. Apalagi ia mengendarai hewan tunggangan Rasulullah saw.
Hanya saja ketika melewati Umar
bin Khathab, Abbas dan Abu Sufyan sempat berhenti. Begitu melihat Abu Sufyan,
Umar buru-buru mendatang Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, ini adalah Abu
Sufyan. Biarkan saya memenggal kepalanya,” ujar Umar.
“Saya telah memberikan
perlindungan atasnya, wahai Rasulullah,” ujar Abbas buru-buru sambil
menggandeng Abu Sufyan.
Sempat terjadi perdebatan kecil
antara Umar dan Abbas. Rasulullah saw segera melerai dan memerintahkan Abbas
untuk membawa Abu Sufyan pergi. Beliau meminta untuk membawanya menghadap
kembali besok pagi.
Keesokan harinya, Abu Sufyan
dihadapkan lagi kepada Rasulullah saw. “Wahai Abu Sufyan, bukankah sudah tiba
saatnya bagimu untuk menyatakan tiada Tuhan selain Allah?” tanya Rasulullah
saw.
“Engkau begitu santun dan selalu
menjaga hubungan kekeluargaan. Kalau memang ada Tuhan selain Allah, tentu aku
akan dibelanya,” jawab Abu Sufyan.
“Bukankah tiba saatnya engkau
mengakui, aku adalah Rasulullah?” tanya Nabi lagi.
“Sungguh engkau begitu santun
dan selalu menjaga hubungan kekeluargaan. Namun, masih ada yang mengganjal di
hatiku,” jawab Abu Sufyan.
Melihat Abu Sufyan belum juga
menyatakan keislamannya, Abbas membentak, “Celakalah engkau! Bersaksilah, tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya sebelum kepalamu dipenggal!”
Abu Sufyan pun mengucapkan
syahadat. Abbas segera mendekati Rasulullah saw seraya berkata, “ Ya
Rasulullah, Abu Sufyan menyukai kebanggaan. Berilah sesuatu kebanggaan
baginya.”
“Ya, siapa yang masuk ke rumah
Abu Sufyan, dia aman. Siapa yang masuk ke Masjidil Haram, ia
selamat,” ujar Rasulullah saw.
Selanjutnya,
Rasulullah saw menyuruh pasukannya untuk bergerak menuju Makkah. Abu Sufyan
diperintahkan berangkat lebih dulu untuk menemui keluarga dan orang-orang kafir
Quraisy. Tanpa perlawan berarti, Makkah berhasil dikuasai.
Sosok seperti Abu Sufyan dalam kisah di atas tak sedikit jumlahnya.
Merekalah para tokoh yang sebenarnya mengetahui kebenaran Islam, tapi tak mau
mengakuinya. Bisa jadi karena gengsi, tak mau dirinya dipimpin orang lain atau
menjaga wibawanya. Sosok seperti
ini sangat sulit ditaklukkan dengan metode “dakwah biasa”. Ia hanya bisa
ditundukkan dengan kekuasaan, dengan kekuatan. Di sinilah peranan jabatan dan
kekuasaan sangat menentukan.
Kekuasaan itu penting. Sama
pentingnya dengan kepemimpinan. Bahkan, kekuasaan adalah nama lain dari
kepemimpinan. Dengan kekuasaan orang memimpin. Dan kepemimpinan, tak bisa
berjalan maksimal tanpa wewenang berkuasa. Jadi, kekuasaan dan kepemimpin
adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan.
Seorang pemimpin memegang peran
penting dalam menentukan kebijakan. Karenanya, di antara strategi penting yang
dijalankan Rasulullah saw dalam berdakwah adalah mengirimkan surat kepada para
raja agar mereka masuk Islam. Rasulullah saw juga sering memfokuskan dakwahnya
kepada para pimpinan kabilah. Sebut saja sahabat beliau Thufail bin Amr. Ia
adalah pemimpin suku Daus. Di tangannyalah hampir seluruh penduduk Daus masuk Islam.
Pemimpin memegang peranan
penting. Di tangannya beragam ketentuan ditelurkan. Karena begitu besar peranan
pemimpin, al-Qur’an merasa harus “turut campur” memberikan arah kepada kaum
Muslimin untuk menentukan pemimpin.
Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri (pemimpin)
di antara kamu,” (QS an-Nisa’: 59).
Dalam ayat tersebut kata ulil
amri digandeng dengan kata minkum (di antara kamu). Ini mengisyarakatkan
bahwa pemimpin umat Islam harus dari kalangan mereka sendiri. Lebih tegas lagi
Allah SWT nyatakan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang Mukmin…”(QS an-Nisa’: 144).
Ketentuan memilih pemimpin ini
bersifat umum. Bukan hanya dalam memimpin negara, tapi juga provinsi, kabupaten
bahkan lingkup yang sangat kecil bernama keluarga. Yang menjadi pemimpin harus umat Islam dan mengerti
syariat Islam serta mau mengamalkannya.
Pemimpin umat Islam memang harus Muslim. Tapi, Muslim
yang bagaimana? Melalui beberapa haditsnya Rasulullah saw memberikan gambaran
tentang hal ini. Para sahabat beliau pun memberikan isyarat bagaimana memilih
pemimpin di antara kaum Muslimin sendiri. Di antara syarat—selain Muslim—yang
harus dipilih menjadi pemimpin adalah:
Pertama, didukung
mayoritas orang-orang baik. Orang baik akan memilih pemimpin yang terbaik di
antara mereka. Sebaliknya, orang jahat akan memilih orang yang jahat di antara
mereka. Orang-orang shalih akan memilih yang tershalih di antara mereka.
Orang-orang preman akan memilih preman di antara mereka. Jarang ditemui
orang-orang jahat yang mau memilih orang baik.
Sistem
demokrasi yang sekarang masih dianut di negeri ini, memberikan kebebasan kepada
kita untuk memilih. Tugas kita adalah memilih di antara yang dicalonkan, mana
di antara mereka yang didukung oleh mayoritas orang baik-baik. Itu yang kita
pilih. Bukan didukung oleh mayoritas orang-orang jahat. Rasulullah saw
bersabda, “Para pemimpin terbaik ialah yang kamu senangi dan menyenangi kamu,” (HR
Muslim).
Kedua, tidak
berambisi terhadap jabatan. Orang yang terlalu berambisi terhadap jabatan
cenderung melakukan segala cara agar cita-citanya terwujud. Ia tak peduli
caranya itu melanggar syariat, menzalimi orang atau melakukan tindak kejahatan
lainya. Orang yang berambisi terhadap jabatan biasa melakukan money politic,
suap, intimidasi, dan rekayasa jahat lainnya. Mereka tak segan-segan
mengeluarkan uang sebanyak mungkin. Yang ada di kepalanya, bagaimana agar
jabatan bisa ia dapatkan. Ia beranggapan, kalau dirinya terpilih, ia akan mudah
mendapatkan uang.
Kalau ada
di antara calon pemimpin yang biasa membagi-bagikan uang, justru harus
diwaspadai. Ia tidak sedang memberi cuma-cuma, tapi memberi pinjaman yang akan
ditagih selama ia memimpin. Dengan demikian, target utamanya kalau terpilih
adalah mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk mengganti uangnya yang ia
keluarkan.
Rasulullah
saw pernah menasihati Abdurahman bin Samurah, “Kamu jangan meminta-minta
jabatan di pemerintahan. Jika kamu diberi jabatan tanpa kamu minta, pasti kamu
akan dibantu dalam melaksanakan tugas. Jika kamu mendaparkan jabatan dengan
ambisi, maka tugas itu akan membebani kamu,” (HR Bukhari Muslim).
Ketiga, tidak berbuat
zalim. Jika pemimpin adalah orang yang biasa melakukan kezaliman, maka kita
tidak akan bisa berharap banyak untuk mendapatkan kebaikan. Yang ada dalam
benak orang yang biasa berbuat zalim adalah berbuat semena-mena untuk
kepentingan diri dan kekuasaannya. Hukum tak mungkin bisa ditegakkan di bawah
pemerintahan yang zalim. Kesejahteraan masyarakat, tak mungkin terwujud di
tengah kezaliman. Sebab kezaliman adalah musuh keadilan.
Begitu
pentingnya keadilan seorang pemimpin sehingga Rasulullah saw memasukkan
pemimpin adil ke dalam kelompok tujuh orang yang mendapatkan naungan di hari
kiamat nanti. (HR Bukhari I/234).
Selain ketiga syarat
tersebut, seorang pemimpin harus mempunyai track record baik, berakhlak
mulia dan mampu mengangkat orang-orang profesional untuk membantunya mengurus
pemerintahan. Jadi, kalau di depan mata kita sekarang terpampang beberapa
pilihan, kita harus memilih yang terbaik, didukung orang baik-baik, adil, dan
tidak berambisi terhadap jabatan. Merekalah yang kita pilih.by Hepi Andi Bastoni / @andibastoni
sumber : http://mujtamaonline.com/peran-pemimpin-dan-kekuasaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar